BAB I: PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perubahan iklim global yang menjadi
perhatian masyarakat dunia adalah gejala global warming
yang diketahui terjadi sebagai akibat dari penipisan lapisan ozon di lapisan stratosfir. Lapisan ozon berfungsi menyerap radiasi
surya terutama sinar ultraviolet sebelum mencapai
permukaan bumi, sehingga penipisannya berakibat
meningkatnya suhu udara di permukaan bumi, dan menimbulkan
gejala global warming. Sementara itu, penggundulan hutan yang terus terjadi (terutama di negara berkembang), juga dituding sebagai
penyebab terjadinya gejala rumah kaca yang juga
meningkatkan suhu udara. Sebabnya adalah bahwa
penggundulan itu menurunkan penyerapan CO2 oleh pepohonan yang ditebang.
Pengaruh global warming yang
lebih relevan bagi Indonesia
adalah timbulnya gejala El
Nino/ENSO, yang berhubungan erat dengan kenaikan suhu laut
kawasan tropis Samudra Pasifik dan turunnya suhu samudra Pasifik yang disebut La Nina. Sementara itu ada pendapat (Winarso, 2002) bahwa
walaupun telah terlihat adanya kecederungan iklim untuk
berubah dalam kurun waktu satu abad, maka perlu dibedakan
dengan terjadinya variabilitas/fluktuasi iklim jangka tahunan
hingga dasawarsa.
Akibat peristiwa El Nino dan La Nina dengan variasi dan dampak yang muncul di Indonesia, antara lain:
- El Nino makin sering terjadi dan tidak memiliki periodisitas yang jelas, dan dampak yang terlihat di Indonesia umumnya kemarau kering.
- La Nina sebagai lawan balik gejala El Nino secara umum tidak pasti meningkatkan curah hujan, khususnya yang terjadi di tahun 1999 dan 2000 di mana justru curah hujan menurun.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa
di samping perubahan iklim global terhadap iklim Indonesia,
terdapat pula penyimpanan iklim lokal dan regional. Selain
hal itu, intensitas banjir dan kekeringan sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan lokal.
1.2. Perumusan Masalah
Tim penulis merumuskan masalah pada beberapa hal sebagai
berikut :
- Identifikasi mengenai penyebab pemanasan global,
- Dampak yang diakibatkan oleh pemanasan global,
- Solusi untuk meminimalisir terjadinya pemanasan global.
1.3. Tujuan Penulisan
Karya tulis ini dibuat dengan tujuan :
- Mengenal lebih jauh mengenai pemanasan global yang terjadi akhir- akhir ini,
- Membuka wawasan penulis dan pembaca tentang penyebab serta dampak dari pemanasan global,
- Memenuhi tugas Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi Semester Gasal 2007/2008.
BAB II: PEMBAHASAN
2.1. Pemanasan Global
Pemanasan Global adalah kejadian meningkatnya
temperatur rata-rata atmosfir,
laut dan daratan bumi. Planet bumi telah menghangat(dan juga mendingin) berkali-kali selama 4,65 miliyar tahun sejarahnya. Pada
saat ini, bumi menghadapi pemanasan yang cepat, karena
disebabkan aktifitas manusia. Penyebab utama pemanasan ini
adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara,
inyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya
yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer
semakin kaya akan gas-gas rumah kaca ini, ia semakin
menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari
matahari yang dipancarkan ke bumi.
2.1.1. Efek Rumah Kaca
Efek Rumah Kaca (EFK) disebut juga greenhouse effect. Efek rumah kaca, pertama kali ditemukan
oleh Joseph Fourier pada 1864, merupakan
sebuah proses di mana atmosfer memanaskan sebuah planet.
Efek rumah kaca dapat digunakan untuk
menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara
alami di bumi, dan efek rumah kaca ditingkatkan yang terjadi akibat aktifitas
manusia. Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi
gas karbondioksida dan gas-gas lainnya di atmosfer.
Kenaikan konsentrasi gas karbondioksida ini disebabkan
oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara, dan bahan bakar organik
lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk
mengabsorbsinya.
Energi yang masuk ke bumi mengalami: 25% dipantulkan
oleh awan atau partikel lain di
atmosfer 25% diserap awan 45% diadsorpsi permukaan bumi 5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi. Energi
yang diadsoprsi dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra merah oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar infra merah
yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas
karbondioksida untuk dikembalikan ke permukaan bumi.
Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan adanya
efek rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh berbeda.
2.2. Penyebab Pemanasan Global
2.2.1. Gas-gas
Rumah Kaca (GRK)
Yang termasuk ke dalam gas-gas rumah kaca adalah: Karbon
Dioksida (CO2),
Karbon Monoksida (CO), Oksida Belerang (SO2 dan SO3), Oksida
Nitrogen (NO dan NO2), Ozon atau Asap Kabut Fotokimiawi, Hidrokarbon, Benda
Partikulat.
2.2.2. Dari mana GRK berasal ?
Gas rumah kaca (GRK) adalah gas yang diemisikan dari
berbagi kegiatan manusia, yang
memiliki kemampuan meneruskan gelombang pendek dan mengubahnya
menjadi gelombang panjang. Selain itu, GRK juga memiliki kemampuan
meneruskan sebagian gelombang panjang dan memantulkan gelombang
panjang lainnya.
Gas rumah kaca telah ada dahulu kala. Pada waktu bumi
mulai terbentuk, GRK sangat
diperlukan untuk menaikan suhu bumi yang masih sangat dingin hingga hanya beberapa spesies makhluk hidup yang dapat menghuni bumi.
Masa tinggal GRK di atmosfer juga mempengaruhi
efektifitasnya dalam meningkatkan
suhu muka bumi ini. Semakin panjang masa tinggal gas di atmosfer, semakin efektif pengaruhnya terhadap kenaikan suhu muka bumi.
GRK sebahagian besar dihasilkan dari pembakaran bahan
bakar fosil(batubara, minyak
bumi, gas alam) untuk rumah tangga, industri, dan transportasi.
GRK yang dihasilkan terutama Carbon dioksida, Metana, Nitrat oksida, dan Ozon.
2.3 Akibat
Pemanasan Global
Pemanasan Global pada tahun 2050 mengakibatkan
temperatur udara naik sekitar 2-3
derajat celcius. Hal ini menimbulkan dampak yang sangat besar dalam bebagai sisi kehidupan di bumi. Dampak yang ditimbulkan penipisan
lapisan ozon, perubahan iklim, kekeringan yang
berkepanjangan, kepunahan spesies, dan tingginya
frekuensi dan intensitas bencana alam.
2.3.1. Perubahan Iklim
Pemanasan Global menyebabkan perubahan iklim. Menurut
laporan Intergovermental Panel on
Climate Change (IPCC) Ke-3 yang dipublikasikan pada tahun
2001, terjadi peningkatan konsentrasi CO2 dalam kurun waktu 200 tahun terakhir dari 280 ke 368 parts per million. Diperkirakan pada
tahun 2100 terjadi peningkatan antara 540 hingga 970
parts per million. Diprediksikan imbas dari peningkatan
konsentrasi CO2 ini adalah dari tahun 1900-2050 terjadi peningkatan
suhu bumi sebesar 0,8 hingga 2,6 derajat celcius.
Sedangkan pada tahun 2100 diperkirakan sudah mencapai 1,4 hingga 5,8 derajat celcius. Bahkan
dalam laporan terbarunya, dalam rentang waktu 1990-2005, telah terjadi peningkatan suhu secara merata di seluruh permukaan bumi sebesar 0,15- 0,30
derajat celcius1. Hal ini menyebakan dampak positif di
negara-negara beriklim dingin. Kenaikan suhu udara ini
akan mengurangi kebutuhan konsumsi energi sebagai
penghangat udara. Diperkirakan akan terjadi juga
peningkatan hasil produksi agrikultur pada negara-negara beriklim dingin.
Angka kematian akibat suhu udara dingin yang banyak terjadi di negara-negara belahan bumi utara saat winter juga akan berkurang. Akan tetapi,
dampak negatifnya jauh lebih besar dibandingkan dampak
positifnya. Misalnya di negara- negara dingin itu
misalnya kandungan tanah yang selama ini membeku di daratan Rusia dan Kanada bisa mencair dan merusak jaringan infrastruktur
seperti jalan dan jembatan yang ada.
Glaciers dan lapisan es di gunung-gunung tinggi akan
mencair sehingga kelangsungan
water supply bisa terganggu. Jika Lapisan es dan glacier yang ada di belahan utara dan selatan bumi meleleh Air dari mencairnya lapisan
es itu akan memenuhi tempat yang rendah letaknya sehingga
sedikit demi sedikit akan meningkatkan muka air laut di
seluruh dunia. Akibatnya, garis
pantai pada daratan yang rendah akan tergenangi air laut, bukan karena abrasi
melainkan karena air lautnya yang meninggi. Ini artinya
negara-negara dengan daratan yang rendah atau bahkan
lebih rendah dari muka air laut saat ini menjadi sangat terancam.
Kehidupan flora dan fauna secara global juga
sangat mungkin terpengaruh. Pola migrasi
burung, ikan, dan mamalia darat dapat berubah dikarenakan pengaruh berubahnya musim. Sedikit perubahan pada pola migrasi ini bisa
berakibat fatal pada kelangsungan hidup beberapa spesies
fauna karena berubahnya pola pakan dan pola reproduksi.
Kenaikan suhu udara 2-3 derajat akan memaksa
bertambah intensifnya penggunaan
alat pengatur suhu udara (ac, blower) pada tempat tinggal, tempat bekerja, dan alat transportasi. Jika dulu upaya pertama pengaturan
udara bisa dilakukan dengan merancang arsitektur rumah
dan tempat tinggal agar bisa terjadi pertukaran panas
dengan baik, banyak tempat yang mau tidak mau terpaksa menggunakan
ac secara maksimal. Ini akan menggenjot penggunaan energi yang sayangnya secara tidak langsung akan
menghasilkan pengeluaran emisi karbon ke udara
yang pada gilirannya akan menambah efek rumah kaca bumi ini.
Meningkatnya suhu udara secara garis besar akan
menurunkan tingkat produktifitas
hasil pertanian. Deforestasi dan desertifikasi akan semakin meluas dikarenakan semakin tidak mampunya beberapa jenis tumbuhan untuk
bertahan menghadapi suhu udara yang makin panas dan
supply air yang berkurang.
Di bidang perikanan dan kelautan, berubahnya suhu
rata-rata bumi akan menimbulkan
perubahan suhu lautan pula, yang pada gilirannya akan menimbulkan
dampak pada perbedaan arus air laut serta kemampuan hidup tumbuhan dan hewan yang ada di dalamnya. Berubahnya pola arus air
antar benua akan mengakibatkan berubahnya pola kehidupan
plankton dan jasad renik yang menjadi panganan ikan-ikan
pada mata rantai makanan yang lebih tinggi. Perubahan
rata-rata suhu bumi dan suhu air laut juga akan mengubah peta tumbuhan karang laut di dunia. Pada daerah yang semula merupakan
daerah ideal koral hidup, kemungkinan daerah tersebut
akan menjadi terlalu panas untuk karang untuk bisa
bertahan. Dampak selanjutnya adalah berubahnya ketersediaan ikan dan aneka ragam jenis produksi laut akibat perubahan suhu
rata-rata bumi.
2.3.2. Kekeringan Berkepanjangan
Kekeringan terjadi dipengaruhi oleh kondisi alam
seperti penyimpangan iklim global
(El Nino), perubahan iklim global, dapat juga disebabkan oleh perilaku manusia yang serakah dalam mengeksploatasi sumberdaya alam
atau gabungan di antaranya (Stigter, 1997). Perubahan
iklim yang semakin panas dengan temperatur rata-rata
tahunan naik sekitar 0,3O C sejak 1900, dan tahun 1998
merupakan tahun terpanas, hampir 1O C di atas rata-rata tempetatur di tahun
1961–1990. Curah hujan rata-rata tahunan turun sekitar 2
hingga 3 % pada periode abad 20 ini, penurunan ini
sebagian besar terjadi pada periode bulan Desember hingga
Februari, yang merupakan musin terdingin pada setiap tahunnya (Kompas, 26 Agustus 2003). Meningkatnya suhu menyebabkan Kekeringan
yang berdampak pada masalah kualitas air yang menjadi
sebuah ancaman besar dunia. Laporan PBB tahun 2000
memperkirakan peperangan antar manusia akibat krisis air
akan terjadi di tahun 2025. Diperkirakan sekitar 1,2 milliar penduduk dunia
saat ini hidup dengan air yang tidak layak minum. Keadaan ini
diperburuk lagi dengan kenyataan 70% air dunia digunakan
untuk konsumsi ternak dan aktivitas pencucian di rumah
jagal (dibutuhkan 3.500 galon air untuk memproduksi 1 pon daging, 60 galon air untuk memproduksi gandum dan 24 galon air untuk
memproduksi 1 pon tomat)
2.3.3. Kepunahan Spesies
Pemanasan global menyebabkan spesies yang masih
bertahan tidak akan lagi memiliki
habitat yang nyaman, sementara sebagian lainnya harus bermigrasi cukup jauh untuk memperoleh tempat hidup yang sesuai guna mendukung
kehidupannya. Simulasi ini diperkirakan cukup akurat mengingat
penelitian di California melaporkan bahwa kupu-kupu jenis Edith Checkerspot telah mulai
menghilang seiring naiknya suhu udara di kawasan tersebut6 .
Sementara itu populasi penguin jenis Adeline di Antartika
berkurang 33% dalam kurun 25 tahun terakhir akibat
surutnya permukaan lautan es. Tim peneliti dari Kanada melaporkan
bahwa jumlah rusa kutub Peary menurun drastis jumlahnya dari 24.000 pada 1961 menjadi hanya sekitar 1.000 pada 1997 akibat
perubahan iklim yang cukup ekstrim7. Perubahan iklim
membuat berbagai spesies hewan harus dapat beradaptasi
dengan perubahan itu, tetapi diperkirakan lebih banyak yang tidak mampu beradaptasi dan terseleksi oleh alam.
2.3.4. Tingginya Frekuensi dan Intensitas
Bencana Alam
Pemanasan global menyebabkan terjadinya anomali iklim
berupa kemarau yang
berkepanjangan. Kemarau yang berkepanjangan mengakibatkan meningkatnya intensitas badai, terjadinya banjir dibanyak tempat,
kekurangan air bersih, semakin panasnya suhu bumi,
naiknya permukaan air laut, berkurangnya luas daratan dan
tenggelamnya pulau-pulau. Bahkan salju abadi di puncak Jayawijaya
dan Kutub Utara saja sudah tidak lagi abadi oleh karena pemanasan
global. Menurut peneliti dari Queen’s University, Kanada, pada bulan Juni-Juli 2007 terjadi rekor dunia baru di mana
suhu di kutub Utara mencapai 22 derajat celcius melebihi
suhu normal yang berkisar 2 - 4 derajat di atas 0 derajat celcius. Dalam catatan The US Snow and Ice Data Center di Colorado, peningkatan
suhu yang ekstrim tersebut telah mengakibatkan pencairan es hingga 4.28
million square kilometer.
Adapun fakta lain yang memperjelas fenomena alam ini,
dan hasilnya cukup mengejutkan
seperti di Tibet iklim mulai tidak stabil sejak Juni 1998 karena terjadi gelombang udara panas, temperatur berkisar 25 derajat celcius
selama 23 hari, kejadian ini belum pernah terjadi
sebelumnya. Kawasan Siberia, Eropa Timur dan Amerika Utara
yang terkenal dengan udara sangat dingin kini mulai menghangat. Di Kairo
pada Agustus 1998 tercatat suhu udara menembus angka 41 derajat
celcius. Pada Agustus 1998 di Sidney Australia terjadi
badai besar disertai hujan dengan curah hujan mencapai
tiga kali ukuran normal. Sementara di Indonesia, Meksiko, Spanyol dan negara-negara lain di berbagai belahan dunia telah terjadi musim
kering berkepanjangan sebagai akibat badai tropis yang
berujung pada terbakarnya hutan jutaan hektar serta
presipitasi hujan yang tinggi mengakibatkan bencana banjir dan kegagalan panen.
2.4. Upaya Pemerintah untuk Mereduksi Pemanasan Global
2.4.1. Protokol Kyoto
Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan
internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara
yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk
mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca
lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah
dikaitkan dengan pemanasan global.
Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto
diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02
°C dan 0,28
°C pada tahun 2050. Nama resmi persetujuan ini
adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka
Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). Ia dinegosiasikan di Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk penanda tanganan pada 16 Maret 1998
dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku
pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang
dilakukan Rusia pada 18
November 2004.
2.4.2. Penggunaan Laut untuk Menyerap Karbon
Pemanfaatan sumber daya hayati perairan ini melalui riset
bioteknologi molekuler bukan
hanya memberikan konstribusi pada pemenuhan kebutuhan bahan
pangan karena kandungan nutrisinya yang lengkap seperti kandungan asam amino, vitamin, mikronutrien lainnya, asam-asam lemak, DHA dan EPA
yang sangat berguna, tetapi lebih jauh dapat mencakup
area kegunaan yang sangat luas. Di samping itu mikrolagae
ternyata dapat berperan seperti layaknya mesin-mesin mikroskopis
yang mampu menyerap karbondioksida (CO2), di mana hampir 90% dari jumlah karbon organik di laut yang diperkirakan sekitar 4,2 x 1011 ton ada dalam
bentuk terlarut yang dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk proses
pertumbuhan dalam suatu “microbial loop” (Jannasch, H.W
and Wirsen, C.O.,1995).
Kemampuan mikroalgae dalam menyerap karbon organik ini
menjadi landasan bagi ahli Jepang untuk mempelajari kemanfaatan mikroalgae bagi
kegiatan lainnya. Melalui Japan Times, kantor berita Kyodo, Jepang, menginformasikan
hasil temuan riset di sekitar Juni tahun 1997, yang menyatakan bahwa kelompok peneliti Jepang dan dari pusat penelitian perusahaan
Idemitsu Kosan yang bekerjasama dengan perusahaan
penyulingan minyak Okinawa telah berhasil sukses dalam
mengekstrak minyak dari jenis mikroalgae air tawar yang dikenal
sebagai Botryococcus bravnii.
Rekayasa genetik telah mampu meningkatkan kemampuan
produktivitas mikroalgae ini dari awal penanaman sejumlah
2 gram
dihasilkan 10 gram
dalam tempo waktu 10 hari di mana 50% dari berat tersebut
(5 gram)
merupakan berat minyak yang dapat dihasilkan. Riset juga
melaporkan bahwa kualitas minyak yang dihasilkan memiliki kapasitas panas yang ekuivalen dengan rade C dari heavy fuel oil
yang biasa digunakan oleh kapal motor (boat). Hasil temuan ini memberikan optimisme
bahwa jika mikroalgae ini dibudi-dayakan pada area seluas
60% Pulau Hokaido, maka akan mampu menyerap seluruh
karbondioksida (CO2) yang ada sebagai bahan polutan di
seluruh Jepang yang diserap oleh mikroalgae ini sebagai sumber karbon dalam
proses fotosintesisnya dan sekaligus memberikan harapan bagi
kemungkinan produksi minyak, yang berarti akan mereduksi
ketergantungan Jepang terhadap minyak sebagai sumber
energi strategis bagi sebagian besar kegiatan industri dan kehidupan di Jepang.
Sebagai negara yang kaya akan sumberdaya
hayati, maka temuan ini sekaligus
memberikan harapan, bahwa di Indonesia juga memiliki peluang untuk dikembangkan, namun kemampuan sumberdaya manusia dalam menguasai ilmu
dan teknologi menjadi hal yang mutlak harus dipenuhi sehingga
kita tidak terus harus terjebak pada ketidak-berdayaan
sebagaimana gambaran kami terhadap pemanfaatan Chlo rella sebagai sumber bahan pangan, pakan
dan obat-obatan yang potensial yang ternyata belum mampu
kita manfaatkan.
2.5. Apa Yang Dapat Kita Lakukan ?
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah kenaikan
suhu permukaan muka
bumi (global warming):
- Mengganti bola lampu model tahun 1878 dengan bola lampu fosfor CLF yang berbentuk seperti es krim, karena bola lampu ini jauh lebih menghemat 75% energi dan mempunyai daya hidup sepuluh kali lebih lama dibanding bola lampu fluoroscen.
- Lakukan pengomposan. Cacing-cacing kecil dapat membantu mengubah sisa makanan dan sampah dapur menjadi pupuk organik. Proses pengomposan organik juga menghasilkan CO2, tetapi 23 kali lebih sedikit dibandingkan proses sekomposing di tempat pembuangan sampah umum.
- Jangan gunakan styrofoam, karena styrofoam terbuat dari bahan bakar fosil (3,2 gram untuk membuat satu cangkir kopi styrofoam) dan membutuhkan waktu lama untuk terurai.
- Membawa tas belanja pribadi yang dapat dipakai berulang kali, yang terbuat dari bahan tahan lama seperti katun. Hindari tas plastik, yang membutuhkan waktu seribu tahun agar dapat terurai. Sementara satu ton kantong kertas dibuat dari sekitar 17 batang pohon dewasa.
- Mematikan semua peralatan listrik yang tidak digunakan dan jangan biarkan dalam posisi stand by. Jika satu juta rumah tangga melakukan hal ini, sekitar 150.000 ton CO2 tidak terbuang sia-sia ke atmosfer.
- Dukung sistem pertanian organik. Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang berpotensi untuk menyerap karbon (carbon sinks). Penelitian terbaru menunjukkan 100.000 pertanian organik akan menyerap pengeluaran CO2 dari 12 juta mobil. Sementara pertanian berskala industri tidak sedikit pun menyerap CO2.
- Membeli produk lokal yang dihasilkan petani lokal. Selain emisi yang dikeluarkan dari transportasi lebih kecil, hal ini dapat mendukung ekonomi pedesaan, melindungi keanekaragaman hayati dan menjaga kelangsungan hidup bumi.
- Menanam pohon dan berbagai bunga. Tanaman menyerap CO2 melalui akar dan cabang-cabangnya. Tanaman bambu dapat lebih banyak menyerap CO2 dan menghasilkan oksigen 35% lebih besar dari pohon lainnya.
- Menggunakan angkutan publik untuk perjalanan jauh. Pilih jalan kaki atau sepeda untuk menempuh jarak dekat.
- Aktif dalam menyebarkan kesadaran tentang dampak perubahan iklim dan pastikan kepedulian ini juga didengar oleh para pembuat kebijakan.
BAB III: KESIMPULAN
Global Warming berdampak pada perubahan iklim yang
mempengaruhi manusia dan
lingkungannya, seperti kenaikan permukaan air laut, dan kenaikan intensitas serta frekuensi dari air hujan, badai tropis, serta
kekeringan. Indonesia
sendiri sudah merasakan hal ini. Ancaman kehilangan pulau akibat
kenaikan permukaan air laut, bencana alam yang semakin
sering terjadi, juga musim yang semakin tidak menentu,
menjadi bukti nyata dari akibat global warming di Indonesia.
Tantangan untuk Indonesia sekarang adalah memiliki
mekanisme yang responsif untuk
mengatasi masalah perubahan iklim ini secara tepat dan efektif. Tindakan pencegahan di level nasional dan lokal pun perlu dilaksanakan
segera bersama dengan inisiatif internasional. Saat ini, Indonesia telah
menunjukkan perhatiannya dalam mengatasi masalah ini.
Salah satunya adalah dengan mengadakan UNCCC (United
Nations Conference Climate Change) di Nusa Dua Bali, Desember 2007.
Masukkan Komentar di bawah