LAPORAN PRAKTIKUM
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN
“Sistem
Pertanian Padi SRI dengan Memanfaatkan Potensi Lokal”
KELOMPOK 7
ANDRE
FERNANDO D1A009063
LIA RAHMI D1A009124
HERLAMBANG SOLEH D1A009049
M. ISMI PIRDAUS D1A009145
AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JAMBI
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem budidaya pertanian di Indonesia
semakin menurun, terutama untuk budidaya pangan baik dalam produktivitas maupun
dalam kualitas. Sedangkan kebutuhan konsumen akan pangan semakin meningkat. Dengan
meningkatnya kebutuhan masyarakat, para petani dituntut agar dapat memenuhi
kebutuhan tersebut.
Selain kebutuhan konsumen yang
meningkat, permasalahan lingkungan turut menyertai dalam pengelolaan system
pertanian. Agar memperoleh keuntungan dan produktivitas yang tinggi, sering
dijumpai petani yang mengaplikasikan input luar yang tinggi seperti pupuk,
pestisida, dan bahan kimia lainnya, tanpa memperhatikan dampak yang akan
terjadi pada lingkungan sekitar serta konsumen yang mengonsumsinya. Pola pikir
petani telah berhasil dirombak semenjak terjadi revolusi hijau dimana akan
menggunakan input luar secara besar-besaran yang mungkin tidak disadari oleh
petani bahwa dengan system tanam yang demikian mampu menurunkan kualitas lahan
yang nantinya akan merugikan petani itu sendiri.
Dengan penggunaan pestisida dan bahan
anorganik lainnya yang berlebihan akan menyebabkan keseimbangan alam menjadi
terganggu, musuh alami hama akan punah sehingga hama dan penyakit tanaman
berkembang dengan pesat. Selain itu juga menyebabkan adanya residu dari bahan
kimia tersebut pada hasil panen yang bila dikonsumsi oleh manusia akan
menimbulkan penyakit.
Dalam hal pengelolaan air, usaha tani
sawah umumnya dilakukan penggenangan secara terus-menerus, sedangkan
ketersediaan air semakin terbatas. Maka dari itu perlu dilakukan peningkatan
efisiensi penggunaan air melalui usaha tani yang hemat air.
Salah satu usaha yang sangat potensial
adalah dengan menanam padi dengan system SRI yang mana dapat menghemat air,
biaya, dan waktu, selain itu juga dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan
juga bersifat ramah lingkungan. System SRI ini yang paling baik di terapkan
untuk menjaga keberlangsungan ekosistem.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dilaksanakannya praktikum ini adalah :
·
Agar
mahasiswa mengenal system budidaya padi SRI
·
Agar
mahasiswa mengetahui bagaimana cara bertanam padi SRI, serta dapat
mengaplikasikannya pada kehidupan sehari-hari
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pola tanam padi model SRI adalah cara
bertanam padi kembali ke alam. Artinya, petani
tidak lagi menggunakan pupuk kimia, tapi memanfaatkan jerami, limbah geraji,
sekam, pohon pisang, pupuk kandang yang diolah untuk pupuk tanahnya.
SRI atau System of Rice
Intensification tertumpu pada 4 hal pokok yaitu :
1. Menanam bibit muda (5 – 15 hari
setelah semai)
2. Menanam 1 bibit pertitik tanam
3. Mengatur jarak tanam lebih lebar (30
x 30 cm sampai 50 x 50 cm ; di Indonesia, jarak tanam ideal untuk SRI adalah 35
x 35 cm atau 35 x 35 cm)
4. Manajemen pengairan yang super hemat
dengan cara intermitten (terputus ; berselang seling antara pemberian air
maksimal 2 cm dan pengeringan tanah sampai retak).
Selain keempat hal tersebut, sangat
dianjurkan untuk menggunakan pupuk organik. Pupuk organik selain menyediakan
unsur hara yang lengkap (makro dan mikro) juga memperbaiki struktur tanah
sehingga meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman, udara yang cukup bagi
perakaran, dan meningkatkan daya ikat air tanah.
1.
Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah dilakukan sesuai
anjuran pada sistem konvensional. Sangat dianjurkan untuk memberikan pupuk
kandang/kompos/pupuk hijau saat pembajakan tanah. Di sekeliling petakan dibuat
parit sedalam 30 – 50 cm untuk membantu saat periode pengeringan.
2.
Pembibitan
Pembibitan dalam SRI sangat
dianjurkan dilakukan dalam kontainer plastik, kayu, anyaman bambu yang dilapisi
daun pisang, atau apa saja yang dapat digunakan. Hal ini untuk mempermudah saat
pindah tanam. Media tanah untuk pembibitan sebaiknya mengandung kompos atau
pupuk organik yang baik dengan ketebalan 4-5 cm. Benih diberi perlakuaan khusus
agar didapatkan benih yang paling baik.
3.
Pindah Tanam
Sebelum pindah tanam sebaiknya lahan
telah betul-betul rata dan kemudian dibuat garis tanam dengan menggunakan
caplak agar pertanaman teratur dengan jarak tanam seragam. Jarak tanam yang
dianjurkan adalah 30 x 30 cm, 35 x 35 cm, atau pada tanah yang subur dapat
diperjarang sampai 50 x 50 cm.
Bibit dapat dipindahtanamkan pada umur
5 – 15 hari setelah semai (berdaun 2) dengan jumlah 1 bibit perlubang.
Pembenaman bibit sekitar 1 – 1,5 cm dengan posisi akar membentuk huruf L.
Caranya adalah dengan membenamkan bibit pada jarak sekitar 10 cm di belakang
titik tanam, kemudian digeser menuju titik tanam, sehingga posisi akar seperti
huruf L.
4.
Pemupukan.
Pemupukan dilakukan sesuai anjuran
setempat, baik dosis maupun teknis pemberian. Hal ini disebabkan karakteristik
kesuburan tanah yang berbeda-beda di setiap lokasi. Apabila menggunakan pupuk
kandang, dosis pupuk kimia dapat dikurangi (mengenai hal ini sebaiknya
berkonsultasi dengan pihak Cabang Dinas Pertanian setempat).
5.
Penyiangan / Pengendalian Gulma.
Pengendalian gulma sebaiknya
dilakukan sebanyak sekurangnya 3 kali selama masa tanam sesuai dengan kondisi
di lapangan. Pengendalian gulma yang baik sebaiknya menggunakan alat weeder
(lalandak) yang lebarnya disesuaikan dengan jarak tanam. Gulma yang tercabut
dapat dibenamkan atau disisihkan (dalam hal ini bila dominansi jenis gulma yang
berumbi seperti teki).
6.
Pengairan
Pengairan atau pemberian air
dilakukan secara intermitten atau terputus-putus. Pada awal penanaman,
pemberian air dilakukan sampai kondisi minimal macak-macak atau maksimal
sekitar 2 cm. Kemudian dibiarkan mengering sampai kondisi tanah mulai
terbelah-belah dan mulai lagi dengan pemberian air maksimal, begitu seterusnya.
Kondisi tanah yang kering terbelah memberikan kesempatan oksigen lebih banyak
masuk dalam pori-pori tanah sehingga akan memperbaiki proses respirasi
(pernapasan) perakaran. Kondisi ini tentu akan meningkatkan pertumbuhan
perakaran dan perkembangan anakan. Seperti juga pada sistem konvensional,
pemberian air dihentikan saat periode pemasakan bulir padi.
7.
Pengendalian Hama dan Penyakit.
Dalam metode SRI, pengendalian hama
dilakukan dengan sistim PHT. Dengan system ini, petani diajak untuk bisa
mengelola unsur-unsur dalam agroekosistem (seperti matahari, tanaman,
mikroorganisme, air, oksigen, dan musuh alami) sebagai alat pengendali hama dan
penyakit tanaman. Cara yang dilakukan petani misalnya dengan menempatkan
bilah-bilah _isban/ajir di petakan sawah sebagai “terminal” capung atau burung
kapinis Selain itu petani juga menggunakan pestisida berupa ramuan yang diolah
dari bahan-bahan alami untuk menghalau hama.
Untuk pengendalian gulma, metode SRI
mengandalkan tenaga manusia dan sama sekali tidak memakai herbisida. Biasanya
digunakan alat bantu yang disebut “susruk”. .Ini adalah semacam garu yang
berfungsi sebagai alat pencabut gulma. Dengan alat ini, gulma yang sudah
tercabut sekaligus akan dibenamkan ke dalam tanah untuk menambah bahan didalam
tanah. Perlu diingat, bahwa dalam aplikasi metode SRI, gulma yang tumbuh akan
_isbandi banyak karena sawah tidak selalu ada dalam kondisi tergenang air.
8.
Panen
Panen dilakukan setelah tanaman
menua dengan ditandai dengan menguningnya semua bulir secara merata. Bila bulir
digigit tidak sampai mengeluarkan air. Dari pengalaman di lapangan, dengan
pemasakan bulir pada SRI lebih cepat terjadi sehingga umur panen lebih cepat
dan bulir padi lebih banyak dan lebih padat.
Demonstrasi area yang dilakukan
selama ini membuktikan bahwa SRI mampu memberikan kelebihan hasil panen seperti
:
·
Tinggi tanaman lebih tinggi mulai umur tanaman 60 hari
·
Jumlah anakan 2 kali lebih banyak sejak umur 40 hari
·
Jumlah anakan produktif meningkat 2 kali
·
Jumlah bulir permalai lebih banyak
·
Jumlah bulir bernas lebih banyak
·
Berat bulir per 100 butir gabah lebih tinggi
·
Kadar air saat panen lebih rendah
Dengan sejumlah peningkatan tersebut
di atas, sudah pasti SRI memberikan nilai produktivitas yang jauh lebih tinggi
dibanding dengan metode konvensional.
BAB III
PEMBAHASAN
Sistem
pertanian padi SRI merupakan sistem pertanian yang menggunakan prinsip LEISA (Low
External Input Sustainable Agriculture), yaitu meminimalkan input produksi
(padi) dari luar seperti pupuk organik, pestisida, dan bahan bahan tambahan
lain dan mengoptimalkan input dari dalam dengan prinsip memutar hara.
Budidaya
padi organik metode SRI mengutamakan potensi lokal dan disebut pertanian ramah
lingkungan, akan sangat mendukung terhadap pemulihan kesehatan tanah dan
kesehatan pengguna produknya. Metode SRI ini pada dasarnya adalah turunan dari
Pertanian organik pada prinsipnya menitik beratkan prinsip daur ulang hara
melalui panen dengan cara mengembalikan sebagian biomasa ke dalam tanah, dan
konservasi air, mampu memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan
metode konvensional. SRI adalah teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan
produktifitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan
unsur hara.
Metode
SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode yang biasa
dipakai petani. Hanya saja diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima
metode baru dan kemauan untuk bereksperimen. Dalam SRI tanaman diperlakukan
sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, bukan diperlakukan seperti mesin
yang dapat dimanipulasi.
Adapun
keunggulan dari metode SRI ini adalah sebagai berikut :
1. Tanaman
hemat air, Selama pertumbuhan dari mulai tanam sampai panen memberikan air max
2 cm, paling baik macak-macak sekitar 5 mm dan ada periode pengeringan sampai
tanah retak (Irigasi terputus).
2. Hemat
biaya, hanya menanam 1 bibit per lobang. Tidak memerlukan biaya pencabutan
bibit, tidak memerlukan biaya pindah bibit, tenaga tanam kurang dll.
3. Hemat
waktu, ditanam bibit muda 5 - 12 hss, dan waktu panen akan lebih awal
4. Produksi
meningkat, di beberapa tempat mencapai 11 ton/ha
5. Ramah
lingkungan, tidak menggunakan bahan kimia dan digantikan dengan mempergunakan
pupuk organik (kompos, kandang dan Mikro-oragisme Lokal), begitu juga
penggunaan pestisida.
Dari
praktikum yang telah dilaksanakan, kita ketahui bahwa kelompok tani Tigo Alua
Seiyo ini telah menerapkan sistem pertanian SRI atau disebut juga PTS (Padi
tanam sebatang), dimana dengan menanam satu batang padi mampu menghasilkan ± 80
batang padi. Hal ini sangat menguntungkan petani yang mana petani tidak perlu
mengeluarkan biaya yang besar guna untuk pemupukan dikarenakan unsure hara yang
dibutuhkan oleh tanaman tersebut berupa bahan kimia maupun pestisida dapat
digantikan dengan bahan organic dan pestisida nabati yang diperoleh dari
potensi local yang ada di daerah tersebut. Potensi local yang kemungkinan dapat
digunakan untuk menggantikan unsure hara tersebut diolah sedemikian rupa
sehingga dapat digunakan.
Unsure hara yang digunakan
diantaranya ekstrak kompos jerami, ekstrak tunas, ekstrak titonia, mol bongkol
pisang, ramuan nabati, KCl nabati, rumen kambing, bubur cikam, dan urin
kambing. Bahan-bahan yang digunakan cukup mudah didapat dan tidak memerlukan
biaya yang besar. Unsure hara tersebut mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh
tanaman yang mana dapat diukur kandungan nutrisinya dengan menggunakan alat
penguji nutrisi.
BAB
IV
KESIMPULAN
Dari
praktikum yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa kelompok tani Tigo
Alua Seiyo ini menerapkan sistem pertanian SRI yang mana para petani ini
memanfaatkan sumberdaya local daerah mereka sebagai unsure haranya. Dengan
memanfaatkan sumberdaya local, petani dapat menghemat biaya dalam proses
memproduksi hasil usaha taninya. Dengan menerapkan sistem pertanian SRI ini,
selain dapat menghemat biaya, juga dapat menghemat air, waktu dan dapat
meningkatkan produktivitas padi itu sendiri serta bersifat ramah lingkungan dan
berkelanjutan.
Hanya
saja, permasalahan sosial yang dihadapi dalam penerapan sistem budidaya padi
SRI ini adalah sulit merubah pola tanam masyarakat yang bergantung pada bahan
kimia untuk beralih ke sistem pertanian yang ramah lingkungan.
Masukkan Komentar di bawah