2BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Penanganan
yang tidak optimal selama penyimpanan, transportasi atau pada saat penjualan
menyebabkan buah yang sampai ke konsumen tidak sesegar buah aslinya dan sudah
mengalami penurunan bobot dan nilai gizi bahkan kadang-kadang telah terjadi
pembusukan. Penanganan yang tidak optimal selain disebabkan oleh fasilitas yang
kurang memadai, juga karena pengetahuan pelaku sangat kurang dalam melakukan
penanganan yang baik.
Kehilangan
hasil pada buah setelah panen dan sebelum pengolahan umumnya disebabkan oleh 2
faktor, yaitu kehilangan quantitatif dan kehilangan kualitatif. Kehilangan
kuantitatif seperti: kehilangan kandungan air, kerusakan fisik, kerusakan
fisiologi, dan luka. Sedangkan kehilangan secara kualitatif berupa kehilangan
tingkat keasaman, flavor, warna, serta nilai nutrisi pada buah.
Beberapa hal
yang menyebabkan kehilangan hasil pada buah dapat terjadi di kebun buah,
transportasi setelah panen, dan keseluruhan sistem penanganan buah mulai dari
sortasi, pengelompokan ukuran buah, pematangan buah, proses penyimpanan dingin,
sampai pada penyimpanan buah. Jarak waktu antara panen dan pengolahan buah juga
menjadi faktor penting untuk menjaga kesegaran dan kualitas dari buah tersebut.
Sehingga meminimisasi kelambatan dalam penanganan buah akan menurunkan
kehilangan hasil (loss) terutama pada buah yang mempunyai tingkat respirasi
yang tinggi.
Permasalahan
ini sangat penting karena pemahaman yang berbeda-beda antar pelaku pemasaran.
Sebagian berpendapat sesekali buah perlu difluktuasikan suhunya, dari suhu
dingin ke suhu ruang untuk dapat mempertahankan mutunya dan memperpanjang masa
simpannya. Jenis komoditi buah secara individual berbeda ketahanannya terhadap
penurunan kualitas dan kerusakan. Rantai pemasaran yang panjang dengan
penanganan yang salah juga ikut menyebabkan buah yang sampai pada konsumen
akhir tidak sesegar
buah asli.
B. Tujuan
Mempelajari perubahan yang terjadi
setelah panen pada tanaman :
1. Pangan
2. Hortikultura
3. Perkebunan
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
Menurut
Muchtadi (1992) Kualitas dari produk buah olahan tergantung pada kualitas buah
tersebut sebelum dilakukan pengolahan. Oleh sebab itu sangat penting diketahui
beberapa hal penting seperti waktu panen yang tepat, cara pemanenan yang baik,
penanganan setelah panen, serta cara mempertahankan mutu buah segar setelah
panen.
Buah
memiliki masa simpan yang relatif rendah sehingga buah dikenal sebagai bahan
pangan yang cepat rusak dan hal ini sangat berpengaruh terhadap kualitas masa
simpan buah. Mutu simpan buah sangat erat kaitannya dengan proses respirasi dan
transpirasi selama penanganan dan penyimpanan di mana akan menyebabkan susut
pasca panen seperti susut fisik yang diukur dengan berat; susut kualitas karena
perubahan wujud (kenampakan), cita rasa, warna atau tekstur yang menyebabkan
bahan pangan kurang disukai konsumen; susut nilai gizi yang berpengaruh
terhadap kualitas buah.
Mutu simpan
buah akan lebih bertahan lama jika laju respirasi rendah dan transpirasi dapat
dicegah dengan meningkatkan kelembaban relatif, menurunkan suhu udara. Pada
umumnya komoditas yang mempunyai umur simpan pendek mempunyai laju respirasi
tinggi atau peka terhadap suhu rendah (Tranggono dan Sutardi, 1990).
Dengan
menggunakan sistem dan penanganan yang tepat, diharapkan akan meningkatkan
kualitas buah segar tersebut. Beberapa bentuk kualitas yang perlu diperhatikan
pada buah segar yaitu: penampilan buah (kondisi luar buah), tekstur (firmness,
crispness, dan juiceness), flavor, serta kandungan nutrisi lainnya.
Dari segi
penampilan termasuk didalamnya ukuran, bentuk, warna, dan ada tidaknya
kerusakan dan luka pada buah. Sedangkan yang dimaksud dengan flavor adalah
pengukuran tingkat kemanisan (sweetness), keasaman (acidity), astringency, rasa
pahit (bitterness), aroma, dan off-flavor. Kandungan nutrisi pada buah dapat
berupa vitamin A dan C, kandungan mineral, dietari fiber, karbohidrat, protein,
antioxidan phytochemical (carotenoid, flavonoid, dan senyawa fenol lainnya).
Faktor-faktor keamanan yang juga mempengaruhi kualitas buah segar adalah residu
dari pestisida, keberadaan logam berat, mikotoxin yang diproduksi oleh berbagai
spesies fungi dan kontaminasi dari mikroba. (Winarno, 2004)
Pengaturan
suhu merupakan faktor yang sangat penting untuk memperpanjang umur simpan dan
mempertahankan kesegaran dari buah. Sedangkan kelembaban (relative humidity)
mempengaruhi kehilangan air, peningkatan kerusakan, beberapa insiden kerusakan
phisiologi, dan ketidakseragaman buah pada saat masak (ripening). Pengaturan
kelembaban yang optimal pada penyimpanan buah antara 85 sampai dengan 90%.
Kemudian komposisi atmosfir dalam hal ini terdiri dari oksigen, karbondioksida,
dan gas etilen dapat menyebabkan pengaruh yang besar terhadap respirasi dan
umur simpan buah. (AAK, 2000)
Mutu simpan
buah akan lebih bertahan lama jika laju respirasi rendah dan transpirasi dapat
dicegah dengan meningkatkan kelembaban relatif, menurunkan suhu udara. Pada
umumnya komoditas yang mempunyai umur simpan pendek mempunyai laju respirasi
tinggi atau peka terhadap suhu rendah (Tranggono dan Sutardi, 1990).
Pertumbuhan
organisme perusak dapat diperlambat pada suhu penyimpanan rendah, namun
komuditas segar berangsur-angsur kehilangan resistensi alaminya terhadap
pertumbuhan organism perusak. Oleh karena itu lamanya umur simpan ditentukan
oleh interaksi oleh senensensi alami (kehilangan kualitas), pertumbuhan
organisme perubahan dan kepekaan terhadap cacat suhu dingin (Tranggono dan
Sutardi, 1990).
BAB III
PEMBAHASAN
1.
Perubahan
yang terjadi dalam produk pangan setelah panen
Masalah
Pascapanen
Masalah
utama dalam penanganan pascapanen padi yang dihadapi petani adalah masih
tingginya kehilangan hasil selama penanganan pascapanen yang besarnya sekitar
21% (BPS,1996) dan rendahnya mutu gabah dan beras yang dihasilkan. Rendahnya
mutu gabah disebabkan oleh tingginya kadar kotoran dan gabah hampa serta butir
mengapur mengakibatkan rendahnya rendemen beras giling yang diperoleh (Setyono
dkk. 2000). Butir mengapur selain dipengaruhi oleh faktor genetika, juga
dipengaruhi oleh teknik pemupukan dan pengairan, sedangkan kadar kotoran
dipengaruhi oleh faktor teknis, yaitu cara perontokan. Oleh karena sebagian
besar pemanen merontok padinya dengan cara dibanting atau dengan menggunakan
pedal thresher, maka gabah yang diperoleh mengandung kotoran dan gabah hampa
cukup tinggi.
Kehilangan
hasil panen dan rendahnya mutu gabah terjadi pada tahapan pemanenan dan
perontokan sehingga sasaran utama penelitian pascapanen padi saat itu
dititikberatkan kepada penelitian komponen teknologi pemanenan, perontokan
sampai kepada rekayasa sistem pemanenan padi.
Agroindustri
padi belum berkembang seperti yang diharapkan, seperti yang terlihat dalam
penggilingan padi. Pengusaha penggilingan padi umumnya hanya mengutamakan beras
hasil giling, belum memperhatikan secara serius produk samping dan limbahnya.
Pemanenan
padi merupakan kegiatan akhir dari pra panen dan awal dari pasca panen. Usaha
tani padi tidak akan menguntungkan atau tidak akan memberikan hasil yang
memuaskan apabila proses pemanenan dilakukan pada umur panen yang tidak tepat
dan dengan cara yang kurang benar. Umur panen padi yang tepat akan menghasilkan
gabah dan beras bermutu baik, sedang cara panen yang baik secara kuantitatif
dapat menekan kehilangan hasil. Oleh karena itu komponen teknologi pemanenan
padi perlu disiapkan.
Umur panen
Ada beberapa
cara untuk menentukan umur panen padi, yaitu berdasarkan: (1) Umur tanaman
menurut diskripsi varietas, (2) Kadar air gabah, (3) Metode optimalisasi yaitu
hari setelah berbunga rata, dan (4) Kenampakan malai (Setyono dan Hasanuddin
1997).
Waktu (umur)
panen berdasarkan umur tanaman sesuai dengan diskripsi varietas dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya varietas, iklim, dan tinggi tempat, sehingga
umur panennya berbeda berkisar antara 5-10 hari. Berdasarkan kadar air, padi
yang dipanen pada kadar air 21-26% memberikan hasil produksi optimum dan
menghasilkan beras bermutu baik (Damardjati,1979; Damardjati dkk.,1981). Cara
lain dalam penentuan umur panen yang cukup mudah dilaksanakan adalah metode
optimalisasi.Dengan metode optimalisasi, padi dipanen pada saat malai berumur
30 – 35 hari setelah berbunga rata (HSB) sehingga dihasilkan gabah dan beras
bermutu tinggi (Rumiati dan Soemadi,1982) Penentuan saat panen yang umum dilaksanakan
petani adalah didasarkan kenampakan malai, yaitu 90 – 95 % gabah dari malai tampak
kuning (Rumiati, 1982).
Penyimpanan
Penyimpanan
merupakan tindakan untuk mempertahankan gabah/beras agar tetap dalam keadaan
baik dalam jangka waktu tertentu. Kesalahan dalam melakukan penyimpanan gabah/
beras dapat mengakibatkan terjadinya respirasi, tumbuhnya jamur, dan serangan
serangga, binatang mengerat dan kutu beras yang dapat menurunkan mutu
gabah/beras. Cara penyimpanan gabah/beras dapat dilakukan dengan.
(1) sistem curah, yaitu
gabah yangsudah kering dicurahkan pada suatutempat yang dianggap aman
darigangguan hama maupun cuaca, dan (2) cara penyimpanan menggunakan
kemasan/wadah seperti
karung plastik, karung goni, dan lain-lain.
1) Penyimpanan Gabah dengan
Sistem Curah
Penyimpanan gabah
dengansistem curah dapat dilakukan dengan menggunakan silo. Silo
merupakan tempat
menyimpan gabah/beras dengan kapasitas yang sangat besar. Bentuk dan bagian
komponen silo adalah sebagai berikut :
A.
Silo biasanya berbentuk silinder atau
kotak segi-empat yang terbuat dari plat lembaran atau papan.
B.
Silo dilengkapi dengan sistem aerasi,
pengering dan elevator.
C.
Sistem aerasi terdiri dari kipaskipas
angin aksial dengan lubang saluran pemasukan dan pengeluaran pada dinding silo.
D.
Pengering terdiri sumber pemanas/kompor
dan kipas penghembus.
E.
Elevator biasanya berbentukmangkuk yang
berjalan terbuatdari sabuk karet atau kulit sertaplat lembaran.Penyimpanan
gabah/beras dengansilo dilakukan dengan cara sebagai berkut :
a)
Gabah yang disimpan dialirkanmelalui
bagian atas silo dengan menggunakan elevator, dan dicurahkan ke dalam silo.
b)
Ke dalam tumpukan gabah tersebut
dialirkan udara panas yang dihasilkan oleh kompor
c)
pemanas dan kipas yang terletak di
bagian bawah silo.
d)
Kondisi gabah dipertahankan dengan
mengatur suhu udara panas dan aerasi.
2) Penyimpanan Gabah
dengan Kemasan/Wadah
Penyimpanan gabah
dengan kemasan dapat dilakukan dengan menggunakan karung. Beberapa
aspek penting yang
perlu diperhatikan dalam penyimpanan gabah dengan karung adalah :
(a) Karung harus dapat
melindungi produk dari kerusakan dalam pengangkutan dan atau penyim-panan.
(b) Karung tidak boleh
mengakibatkan kerusakan atau pencemaran oleh bahan kemasan dan tidak membawa
OPT.
(c) Karung
harus kuat, dapatmenahan beban tumpukan danmelindungi fisik dan tahan terhadap
goncangan sertadapat mempertahankan keseragaman.Karung harus diberi label
berupa tulisan yang dapat menjelaskan tentang produk yang dikemas.
Perumusan masalah penanganan
pascapanen padi
Perumusan masalah penanganan
pascapanen padi dimulai dengan analisis kebutuhan dari setiap komponen di dalam
sistem, sekaligus mengungkapkan masalah-masalah yeng mungkin timbul akibat
pertentangan kepentingan dari setiap komponen yang ada di dalam sistem
penanganan pascapanen. Secara umum tujuan perbaikan penanganan pascapanen padi
adalah :
a)
Menekan kehilangan hasil, mulai dari tahap pemanenan
sampai dengan penggilingan.
b)
Meningkatkan rendemen dan mutu beras giling
c)
Menekan biaya penanganan pascapanen dari pemanenan
sampai dengan penggilingan.
d)
Meningkatkan pendapatan petani pemilik dan buruh
panan/penderep.
e)
Meningkatkan kelayakan ekonomi dan finansial jasa
alsintan pascapanen mulai panen sampai dengan penggilingan.
f)
Merekayasa sistem kelembagaan jasa pemanen dan
pascapanen yang efektif dan efisien.
Adapun
masalah yang mungkin timbul dalam rangka mencapai tujuan perbaikan pascapanen
antara lain :
·
Berkurangnya kesempatan kerja buruh panen (terjadi
pengangguran).
·
Keterlambatan waktu pemanenan.
·
Hasil kerja alsintan yang rendah
·
Biaya operasi alsintan pascapanen yang tinggi dan
kurang layak secara ekonomi.
2. Perubahan yang terjadi dalam produk
hortikultura setelah panen
Produk Hortikultura seperti sayur-sayuran dan
buah-buahan yang telah dipanen masih merupakan benda hidup, seperti kalau belum
dipanen atau masih di pohon. Benda hidup disini dalam pengertian masih
mengalami proses-proses yang menunjukkan kehidupanya yaitu proses metablisme.
Karena masih terjadi proses metabolisme tersebut maka produk buah-buahan dan
sayur-sayuran yang telah dipanen akan mengalami prubahan-perubahan yang akan
menyebabkan terjadinya perubahan komposisi kimiawinya serta mutu dari roduk
tersebut.
Perubahan tersebut disebabkan oleh beberapa hal
seperti terjadinya respirasi yang berhubungan dengan pengambilan unsur oksigen dan
pengeluaran carbon dioksida, serta penguapan uap air dari dalam produk
tersebut, yang petama kita kenal dengan istilah respirai sedangkan yang kedua
dikenal sebagai transpirasi.
Kehilangan air dari produk hortikultura kalau masih di
pohon tidak masalah karena masih dapat digantikan atau diimbangi oleh laju
pengambilan air oleh tanaman. Berbeda dengan produk yang telah dipanen kehilangan
air tersebut tidak dapat digantikan, karena produk tidak dapat mengambil air
dari lingkungnnya. Demikian juga kehilangan substrat juga tidak dapat
digantikan sehinga menyebabkan perubahan kualitas dari produk yang telah
dipanen atau dikenal sebagai kemunduran kualitas dari produk, tetapi pada suatu
keadaan perubahan tersebut justru meningkatkan kualitas produk tersebut.
Kemunduran kualitas dari suatu produk hortikultura
yang telah dipanen biasanya diikuti dengan meningkatnya kepekaan produk tersebut
terhadap infeksi mikroorganisme sehingga akan semakin mempercepat kerusakan
atau menjadi busuk, sehingga mutu serta nilai jualnya menjadi rendah bahkan
tidak bernilai sama sekali.
Pada dasarnya mutu suatu produk
hortikultura setelah panen tidak dapat diperbaiki, tetapi yang dapat dilakukan
adalah hanya usaha untuk mencegah laju kemundurannya atau mencegah proses
kerusakan tersebut berjalan lambat. Berarti bahwa mutu yang baik dari suatu
produk hortikultura yang telah dipanen hanya dapat dicapai apabila produk
tersebut dipanen pada kondisi tepat mencapai kemasakan fisiologis sesuai dengan
yang dibutuhkan oleh penggunanya. Produk yang dipanen sebelum atau kelewat
tingkat kemasakannya maka produk tersebut mempunyai nilai atau mutu yang tidak
sesuai dengan keinginan pengguna/SNI (Standart Nasional
Indonesia).
PERUBAHAN FISIOLOGIS PRODUK
HORTIKULTURA SETELAH PANEN
Kalau produk
hortikultura masih di pohon maka produk tersebut masih medapatkan pasokan /
suplai apa saja yang diperlukan dari dalam tanah seperti air, udara serta unsur
hara dan mineral-mineral yang diperlukan untuk sintesis maupun perombak tetapi
kalau produk tersebut sudah lepas dengan tanamannya/dipanen maka pasokan
tersebut sudah tidak terjadi lagi/tidak berlangsung lagi. Kegiatan sintesis
yang utama dalam organ yang masih melekat pada tanaman adalah pada aktifitas
proses fotosintesis tetapi kalau sudah lepas proses fotosintesis ini sudah
tidak terjadi lagi, tetapi proses metabolisme tetap berlangsung baik sintesis
maupun perombakan. Proses metabolisme pada buah-buahan maupun sayur-sayuran yang
telah lepas dari pohonnya pada dasarnya adalah transpormasi metabolis pada
bahan-bahan organis yang telah ada atau telah dibentuk selama bagian tersebut
masih dalam pohon yang bersumber dari aktifitas proses fotosintesis. Selain itu
juga terjadi pegurangan kadar air dari dalam produk hortikultura tersebut baik
karena proses pengeluaran lewat permukaan produk maupun oleh proses metabolisme
oksidatif termasuk proses respirasi dari produk yang tetap terus berlangsung.
RESPIRASI
Laju dari
proses respirasi dalam produk hortikultura akan menentukan daya tahan dari
produk tersebut baik buah-buahan maupun sayur-sayuran yang telah dipanen,
sehingga sering dijumpai ada produk yang tahan disimpan lama setelah dipanen
seperti pada biji-bijian, umbi-umbian tetapi banyak pula setelah produk
tersebut dipanen tidak tahan lama untuk disimpan, seperti pada produk
buah-buahan yang berdaging maupun produk hortikultura yang lunak-lunak seperti
sayur-sayuran daun.
Agar proses
metabolisme dalam suatu material hidup tersebut dapat belangsung terus maka
diperlukan persediaan energi yang cukup atau terus menerus pula, dimana suplai
energi tersebut diperoleh dari proses respirasi. Respirasi terjadi pada setiap
makhluk hidup termasuk buah-buahan dan sayur-sayuran yang telah dipanen, yang
merupakan proses konversi exothermis dari energi potensial menjadi energi
konetis.
Secara umum proses respirasi dalam produk dapat dibedakan menjadi tiga
tingkat yaitu: pertama pemecahan polisakarida menjadi gula sederhana; kedua
oksidasi gula menjadi asam piruvat; serta yang ketiga adalah transformasi
piruvat dan asam-asam organik lainnya menjadi CO2 , air, dan
energi yang berlangsung secara aerobik. Masing-masing proses tersebut dapat
dilihat kembali pada Fisiologi Tumbuhan apa namanya ? Substrat dalam
proses respirasi tidak hanya berasal dari polisakarida dan asam-asam organis
tetapi juga dapat dari protein maupun lemak walaupun dari kedua terakhir
sebagai sumber energi kurang dominan, kalau kita lihat berbagai interaksi antara
substrat dengan hasil-hasil antara respirasi dan antara hasil antara yang satu
dengan lainnya.
PENGUKURAN RESPIRASI
Secara umum dapat dikatakan bahwa laju proses respirasi merupakan penanda atau
sebagai ciri dari cepat tidaknya perubahan komposisi kimiawi dalam produk, dan
hal tersebut behubungan dengan daya simpan produk hortikultura setelah panen.
Laju atau
besar kecilnya respirasi yang terjadi dalam produk hortikultura dapat diukur
karena seperti kita ketahui bahwa respirasi secara umum terjadi kalau ada
oksigen dengan hasil dikeluakannya carbon doiksida dari produk yang mengalami
respirasi maka respirasi dapat diketahui dengan mengukur atau menentukan jumlah
substrat yang hilang, O2 yang diserap, CO2 yang
dikeluarkan, panas yang dihasilkan, serta energi yang ditimbulkannya. Respirasi
juga menghasilkan air (H2O) tetapi dalam hal ini tidak diamati dalam
prakteknya karena reaksi berlangsung dalam air sebagai medium, dan jumlah air
yang dihasilkan reaksi yang sedikit tersebut “seperti setetes dalam air satu
ember”. Energi yang dikeluarkan juga tidak ditenukan oleh karena berbagai
bentuk energi yang dihasilkan tidak dapat diukur dengan hanya satu alat saja.
Proses oksidasi biologis juga diikuti dengan terjadinya kenaikan suhu dan hal
ini sebenarnya juga dapat dipergunakan sebagai penanda seberapa besar laju
respirasi yang terjadi/bejalan. Tetapi karena antara keduanya tidak ada
hubungan stoikiometrik maka perubahan suhu tidak dipergunakan sebagai penanda
laju respirasi dalam produk hortikultura. Pengukuran kehilangan substrat,
seperti yang terjadi adanya respirasi akan menyebabkan penurunan berat kering
dari produk, tetapi ini mungkin sulit untuk dilakukan pengukuran karena adanya
variasi dalam perubahan berat kering secara absolut; untuk itu diperlukan analisis
kimia secara langsung.
Ternyata
laju respirasi dari produk hortikultura yang telah dipanen mempunyai pola yang
berbeda-beda dan dari variasi pola laju respirasi ersebut dapat dikelompokkan
menjadi dua bentuk laju respirasi yaitu kelompok yang mempunyai pola laju
respirasi yang teratur, dan kelompok lain kebanyakan produk hortikultura yang
berdaging memperlihatkan penyimpangan dari pola respirasi yang terdahulu.
Kecepatan
respirasi dari suatu produk hortikultura ternyata tidak selalu tetap tetapi
bervariasi, dan variasi tersebut dapat dsebabkan oleh banyak faktor diantaranya
adalah:
a.
Faktor dalam
Tingkat Perkembangan,
Susunan
Kimiawi Jaringan,
Besar-kecilnya Komoditas.,
Kulit
Penutup Alamiah / Pelapis Alami.
Type / Jenis
dari Jaringan.
b.
Faktor Luar.
Laju respirasi selain dipengaruhi
oleh faktor dari dalam juga sangat dipengaruhi oleh faktor yang ada di luar
produk tersebut dimana kedua faktor tesebut saling berineraksi apakah saling
mendukung atau sebaliknya. Faktor-faktor dari luar tersebut adalah meliputi:
Suhu.
Konsentrasi 02 dan C0 2
.
Zat Pengatur Pertumbuhan.
Kerusakan Produk.
Perubahan pada Masa Pasca Panen
Proses metabolisme yang ditandai
dengan adanya respirasi akan mendorong terjadinya perubahan fisiologis, fisik
dan kimia pada bahan. Senyawa-senyawa di dalam bahan dapat berubah jenis dan
jumlahnya seiring dengan proses metabolisme. Perubahan itu pada akhirnya menuju
kepada kerusakan pada bahan.
1.Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Masa Pasca Panen
Berbagai faktor internal dan
eksternal dapat berpengaruh terhadap hasil hortikultura pada masa pasca panen.
Faktor internal adalah proses metabolisme yang terjadi pada sel dan jaringan
bahan. Sedangkan faktor eksternal adalah lingkungan biotik seperti serangga,
tikus dan mikroba, serta lingkungan abiotik seperti suhu, kelembaban dan
komposisi gas pada udara ruang penyimpanan.
Faktor abiotik seperti kondisi udara di ruang penyimpanan dapat mempengaruhi proses metabolisme. Misalnya pada suhu yang lebih tinggi, laju metabolisme akan lebih tinggi pula. Faktor biotik, seperti serangga dan mikroba akan mengkonsumsi jaringan bahan untuk pertumbuhannya. Populasi mikroba dan serangga pada bahan biasanya seiring dengan peningkatan kerusakan pada bahan. Faktor biotik juga dapat dipengaruhi oleh faktor abiotik, misalnya pada suhu rendah kebanyakan mikroba menjadi turun aktivitasnya.
a) Metabolisme pada Sayur dan Buah
Cara yang paling mudah untuk
mempelajari metabolisme hasil hortikultura adalah dengan mengamati produksi
karbondioksida dan gas etilen; perubahan warna dan komposisi bahan; pertambahan
ukuran bahan dan perkecambahan.
Produksi Karbondioksida
Pada masa pasca panen, jaringan
sayur dan buah masih terus melangsungkan metabolisme, di antaranya adalah
respirasi yang memerlukan oksigen dan menghasilkan gas karbondioksida.
Respirasi dapat menyebabkan berkurangnya kandungan zat gizi, perubahan flavor
dan rasa; dan berkurangnya berat bahan. Berdasarkan laju produksi
karbondioksida, beberapa jenis sayur dan buah dapat dikelompokkan seperti Tabel
1 di bawah ini.
Tabel 1. Pengelompokan hasil hortikultura berdasarkan laju produksi karbondioksida
Kelompok Respirasi Laju Produksi CO2 pada 5oC (mg.kg-1.jam-1) Komoditi
Sangat rendah <5 10-20="" 20-40="" 40-60="" 5-10="" alpokat="" bawang="" brokoli="" buah="" bunga="" dan="" daun="" jeruk="" kacang="" kembang="" kentang="" kering="" ketimun="" kol="" kubis="" kurma="" mangga="" merah="" nenas="" pepaya="" pisang="" potong="" putih="" rendah="" sangat="" sayur="" sedang="" sekali="" selada="" seledri="" semangka="" tanpa="" tinggi="" tomat="" ubijalar="" wortel="">60 Jamur, bayam, jagung manis5>
Tabel 1. Pengelompokan hasil hortikultura berdasarkan laju produksi karbondioksida
Kelompok Respirasi Laju Produksi CO2 pada 5oC (mg.kg-1.jam-1) Komoditi
Sangat rendah <5 10-20="" 20-40="" 40-60="" 5-10="" alpokat="" bawang="" brokoli="" buah="" bunga="" dan="" daun="" jeruk="" kacang="" kembang="" kentang="" kering="" ketimun="" kol="" kubis="" kurma="" mangga="" merah="" nenas="" pepaya="" pisang="" potong="" putih="" rendah="" sangat="" sayur="" sedang="" sekali="" selada="" seledri="" semangka="" tanpa="" tinggi="" tomat="" ubijalar="" wortel="">60 Jamur, bayam, jagung manis5>
Produksi Etilen
Etilen adalah sejenis hormon bagi
tanaman yang mempengaruhi proses metabolisme tanaman. Senyawa ini diproduksi
oleh jaringan tanaman. Pada buah tertentu, jumlah gas etilen yang diproduksi
meningkat tajam pada saat pematangan. Buah seperti ini digolongkan sebagai buah
klimaterik. Buah yang produksi etilennya tidak menunjukan peningkatan yang
besar pada saat pematangan digolongkan sebagai buah non klimaterik.
Proses metabolisme dapat menyebabkan perubahan pada warna sayur dan buah sebagai berikut:
1. Kerusakan khlorofil. Kerusakan khlorofil menyebabkan bahan kehilangan warna hijau yang dikehendaki pada buah dan tidak dikehendaki pada sayur.
2. Pembentukan karotenoid.
Pembentukan karotenoid ditandai dengan munculnya warna kuning dan orange yang
seringkali dikehendaki seperti pada pisang, jeruk, pepaya, markisa, nenas dan
tomat.
3. Pembentukan antosianin.
Pembentukan antosianin ditandai dengan munculnya warna merah dan biru seperti
yang terjadi pada terung pirus, dan apel.
4. Perubahan antosianin dan senyawa
fenolik. Perubahan ini menyebabkan terjadinya pencoklatan pada sayur dan buah.
Perubahan Komposisi
Komposisi kimia bahan juga berubah
pada masa pasca panen, seperti pati berubah menjadi gula atau sebaliknya,
kerusakan pektin dan asam organik.
Pertumbuhan dan Perkecambahan
Berbagai hasil hortikultura tetap
menunjukkan pertumbuhan atau bertunas pada masa pasca panen. Kentang, bawang
merah, bawang putih dan komoditi umbi lainnya dapat bertunas dan akhirnya
membusuk. Beberapa sayur seperti asparagus, bayam, dan kangkung dapat terus
tumbuh sehingga bentuknya berubah, menjadi lebih alot dan rasa kurang enak.
Bunga potong, misalnya gladiol yang diletakkan secara horizontal menunjukkan
gejala geotropik sehingga tampak bengkok.
b) Pengaruh Lingkungan
Suhu, kelembaban, komposisi gas, dan kandungan etilen pada ruang penyimpanan, serta cahaya dapat berpengaruh terhadap komoditi hortikultura yang sedang disimpan. Bahan-bahan kimia tertentu juga dapat ditambahkan untuk memperpanjang masa simpan atau meningkatkan ketahanan terhadap serangga dan mikroba.
Suhu
Untuk mendapatkan masa simpan yang relatif panjang, komoditi hortikultura harus disimpan pada suhu optimum tertentu. Jika penyimpanan tidak dilakukan pada suhu optimum, maka berbagai kerusakan dapat terjadi. Penyimpanan di atas suhu optimum, akan mempercepat kerusakan bahan. C di atas suhu optimum,°Biasanya, setiap kenaikan 10 maka kerusakan terjadi dua kali lebih cepat. Kerusakan tersebut dapat berupa kerusakan fisiologis dan kerusakan patologis.
Untuk mendapatkan masa simpan yang relatif panjang, komoditi hortikultura harus disimpan pada suhu optimum tertentu. Jika penyimpanan tidak dilakukan pada suhu optimum, maka berbagai kerusakan dapat terjadi. Penyimpanan di atas suhu optimum, akan mempercepat kerusakan bahan. C di atas suhu optimum,°Biasanya, setiap kenaikan 10 maka kerusakan terjadi dua kali lebih cepat. Kerusakan tersebut dapat berupa kerusakan fisiologis dan kerusakan patologis.
Kelembaban
Laju transpirasi tergantung kepada kelembaban relatif udara pada ruang penyimpanan bahan. Pada ruang dengan kelembaban relatif yang rendah, laju transpirasi akan tinggi sehingga bahan akan kehilangan berat dengan cepat. Sedangkan pada ruang dengan kelembaban relatif yang tinggi, kerusakan patologis oleh mikroba dapat berlangsung lebih cepat.
Komposisi Udara
Komposisi oksigen dan karbondioksida
udara pada ruang penyimpanan dapat mempengaruhi laju kerusakan pada bahan.
Walaupun pengaruh komposisi udara berbeda terhadap jenis komoditi yang berbeda,
pada umumnya laju metabolisme dan kerusakan patologis dapat dikurangi dengan
menyimpan bahan pada ruang dengan kadar karbondioksida yang lebih tinggi dan
oksigen yang lebih rendah.
Etilen
Etilen dapat memberikan pengaruh yang diharapkan atau yang tidak diharapkan. Pemberian etilen dapat mempercepat pematangan buah dengan warna yang lebih seragam. Sebaliknya, pemberian etilen yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan fisiologis pada buah dan sayur.
Cahaya
Cahaya pada intensitas tertentu atau cahaya matahari langsung dapat menyebabkan kulit kentang menjadi hijau karena terbentuknya khlorofil; dan juga beracun karena terbentuknya solanin. Sayur-sayuran yang dipanen bersama akarnya akan menunjukkan gejala liototropik dimana bagian tanaman membengkok ke arah cahaya.
2. Kerusakan Pasca Panen
Kerusakan pada masa pasca panen dapat dibagi atas tiga golongan, yaitu kerusakan fisiologis, kerusakan fisik dan kerusakan patologis. Kerusakan fisiologis terjadi jika bahan berada pada suhu penyimpanan yang tidak cocok.
a) Kerusakan Fisiologis
Bahan yang disimpan pada suhu
terlalu dingin dimana air bahan membeku, maka di dalam jaringan bahan akan
terbentuk kristal es yang cukup tajam untuk merusak sel dan jaringan bahan.
Kerusakan ini disebut kerusakan beku. C atau°Bahan yang disimpan dingin (di atas
suhu beku) dan di bawah 5 pada suhu yang tergantung kepada jenis bahan dapat
mengalami kerusakan dingin. Kerusakan ini akan berupa perubahan warna, bercak
lunak pada permukaan, tidak bisa matang, penyimpangan flavor, dan meningkatnya
pertumbuhan kapang yang secara normal tidak terdapat pada bahan. Kerusakan ini
akan lebih besar jika suhu penyimpanan turun naik, atau bahan dikeluarmasukkan
dari ruang pendingin.
Kerusakan panas terjadi jika bahan langsung terkena cahaya matahari yang cukup lama atau suhu relatif tinggi. Kerusakan ini berupa perubahan warna (biasanya warna semakin pucat).
b) Kerusakan Fisik
Kerusakan panas terjadi jika bahan langsung terkena cahaya matahari yang cukup lama atau suhu relatif tinggi. Kerusakan ini berupa perubahan warna (biasanya warna semakin pucat).
b) Kerusakan Fisik
Berbagai kerusakan fisik yang dapat
terjadi berupa luka, goresan, memar, retak dan pecah akibat benda tajam,
gesekan, dan benturan. Jaringan yang mengalami kerusakan fisik akan mengalami
pencoklatan, lebih rentan terhadap serangan mikroba, dan mempercepat laju
metabolisme.
Kerusakan fisik yang lain adalah berkurangnya berat bahan yang disebabkan oleh transpirasi atau penguapan air yang dapat terjadi selama pasca panen. Perubahan berat juga akan diikuti dengan terjadinya kerut, layu, dan kehilangan kerenyahan. Transpirasi dipengaruhi oleh faktor internal bahan seperti morfologi, luas permukaan, adanya luka dan tingkat kematangan; serta faktor eksternal berupa suhu, kelembaban dan aliran udara dimana bahan disimpan.
c) Kerusakan Patologis
Kerusakan fisik yang lain adalah berkurangnya berat bahan yang disebabkan oleh transpirasi atau penguapan air yang dapat terjadi selama pasca panen. Perubahan berat juga akan diikuti dengan terjadinya kerut, layu, dan kehilangan kerenyahan. Transpirasi dipengaruhi oleh faktor internal bahan seperti morfologi, luas permukaan, adanya luka dan tingkat kematangan; serta faktor eksternal berupa suhu, kelembaban dan aliran udara dimana bahan disimpan.
c) Kerusakan Patologis
Berbagai mikroba dapat menyerang
bahan pada masa pasca panen. Serangan ini akan merusak bahan sehingga dapat
menyebabkan kerusakan fisiologis dan fisik. Bahan yang masih segar dan sehat
mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap serangan mikroba. Semakin lama
sejalan dengan peningkatan kematangan, bahan semakin rentan terhadap mikroba.
Pada saat bahan berada pada masa senescen, bahan paling rentan dengan serangan
mikroba.
Kerusakan Selama Penyimpanan. Selama
penyimpanan, laju kerusakan dapat diperlambat tapi kerusakan itu pasti tetap
berlangsung. Contoh kerusakan pada beberapa buah dan sayur adalah sebagai berikut:
a. Adpokat
Kerusakan Pencegahan
Antraknose: Bercak hitam yang
menutup jaringan busuk yang keras, yang dapat dihilangkan dengan mudah dari
daging di sekitarnya. Pada bercak terbentuk massa spora merah jambu dalam
kondisi lembab Bahan ditangani hati-hati sehingga tidak ada goresan, luka dan
memar
Daging buah menjadi gelap: Warna daging buah biasanya kusam atau abu-abu terutama di sekitar dasar biji. Juga adanya penggelapan dari serabut-serabut sepanjang daging buah. Penggelapan seringkali menjadi karakteristik suatu varietas. Pada waktu lain hal ini merupakan hasil dari penyimpanan pada suhu yang terlalu rendah Buah yang keras dan kekar F atau di atasnya.°disimpan pada suhu 42 Untuk buah yang matang dapat F.°disimpan dengan aman pada suhu 32
Daging buah menjadi gelap: Warna daging buah biasanya kusam atau abu-abu terutama di sekitar dasar biji. Juga adanya penggelapan dari serabut-serabut sepanjang daging buah. Penggelapan seringkali menjadi karakteristik suatu varietas. Pada waktu lain hal ini merupakan hasil dari penyimpanan pada suhu yang terlalu rendah Buah yang keras dan kekar F atau di atasnya.°disimpan pada suhu 42 Untuk buah yang matang dapat F.°disimpan dengan aman pada suhu 32
b. Pisang
Kerusakan Pencegahan
Antraknose: Bercak sempit berwarna
hitam pada tangkai dan di bagian mana saja pada buah yang matang. Dalam kondisi
lembab terbentuk massa spora merah jambu menutupi pusat bercak. Bahan ditangani
dengan hati-hati sehingga tidak ada goresan, luka dan memar. Kebersihan ruang
untuk pematangan harus dijaga.
Kerusakan pendinginan: Warna kusam
abu-abu di dalam kulit dan cenderung hitam bila mengalami memar ringan. Adanya
lendir pada kulit hijau dan berair. Buah matang lebih peka dari buah hijau.
Hindari suhu di bawah F, atau hanya untuk waktu yang sangat pendek.°56
c. Jeruk
c. Jeruk
Kerusakan Pencegahan
Busuk alternaria: Biasanya pada
ujung tangkai sebagai busuk berwarna hitam yang menembus ke dalam. Pada lemon
terlihat sebagai busuk dalam penyimpanan yang berlendir, coklat hitam seperti
timah dari hati buah dimulai pada tungkai Hindari kulit pecah-pecah. Simpan
hanya untuk waktu pendek.
Antrakhnose. Bercak-bercak kecil
seperti kulit coklat tua yang tenggelam. Jaringan dalam yang terserang berwarna
abu-abu tua, mengarah kepada warna normal setelah melalui warna merah muda
Hindari kulit pecah-pecah, cuci dengan antiseptik. F°Simpan pada suhu mendekati 32.
3.
Perubahan
yang terjadi dalam produk perkebunan (sawit) setelah panen
Dalam pemanenan sawit, Mengirim
TBS ke pabrik dalam waktu 24 jam setelah panen. Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi kandungan asam lemak bebas di dalam minyak sawit
mentah.
Karena jika pengiriman
terlambat maka akan meningkatkan asam lemak bebas pada TBS meningkat tinggi.
Variabel Yang Sangat Berpengaruh Terhadap Asam Lemak Bebas
Beberapa variabel proses yang sangat berpengaruh
terhadap perolehan asam lemak seperti pengaruh suhu, kematangan buah, kadar
pelukaan buah, pengadukan, penambahan air, penambahan CPO dan lama penyimpanan.
1.Pengaruh Temperatur
Dari hasil penelitian, diperoleh bahwa kadar asam
lemak yang paling tinggi didapat pada suhu kamar (25oC – 27oC).
Enzim lipase pada buah kelapa sawit sudah tidak aktif pada suhu pendinginan 8oC
dan pada pemanasan pada suhu 50oC.
Secara umum temperatur sangat berpengaruh pada reaksi
kimia, dimana kenaikan temperatur akan menaikkan kecepatan reaksi. Sifat
enzim yaitu inaktif pada suhu tinggi, maka pada proses enzimatis ada batasan
suhu agar enzim dapat bekerja secara optimal. Penurunan aktifitas enzim pada
suhu tinggi diduga diakibatkan oleh denaturasi protein. Pada suhu rendah,
aktifitas enzim juga menurun yang diakibatkan oleh denaturasi enzim.
2. Pengaruh Penambahan Air
Air mempunyai pengaruh pada reaksi yang terjadi, dan
pengaruh ini pada dasarnya adalah membantu terjadinya kontak antara substrat
dengan enzim. Enzim lipase aktif pada permukaan (interface) antara lapisan
minyak dan air, sehingga dengan melakukan pengadukan, maka kandungan air pada
buah akan mampu untuk membantu terjadinya kontak ini.
Pada proses hidrolisa ini, secara stokiometri air pada
buah sudah berlebih untuk menghasilkan asam lemak (kadar air pada buah adalah
sekitar 28%), tetapi karena air ini berada pada padatan maka perlu dilakukan
pelumatan buah dan selanjutnya dilakukan pengadukan. Disamping itu, untuk
mengatasi/mencegah kekurangan air. Pengaruh kadar air pada produk yang dicapai
sangat besar, dimana kandungan air yang sangat besar ini mengakibatkan reaksi
antara asam lemak dan gliserol tidak dapat terjadi dengan baik.
3. Pengaruh Pelukaan dan Pengadukan Buah
Enzim lipase tidak berada dalam minyak, tetapi berada
dalam serat. Tingkat pelukaan buah dan pengadukan sangat berpengaruh terhadap
proses hidrolisa karena akan membantu terjadinya kontak antara enzim dan minyak
(substrat). Hal ini karena posisi enzim lipase pada buah sawit belum diketahui
secara pasti, sehingga untuk mengatasi hal ini maka buah harus dilumat sampai
halus, kemudian minyak dan seratnya dicampur kembali. Dengan proses seperti ini
terbukti bahwa kadar asam lemak yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan jika
buah tidak dilumat sampai halus (hanya dimemarkan/dilukai).
Pengaturan kecepatan pengadukan pada reaksi ini perlu
dilakukan, karena pada proses ini pengadukan berpengaruh kepada waktu kontak
antara air, substrat dan enzim. Disamping itu, karena yang diaduk adalah
campuran serat dan minyak, maka pemilihan rancangan pengaduk sangat perlu untuk
diperhatikan.
4. Pengaruh Kematangan Buah
Buah yang terdapat pada satu tandan buah kelapa sawit
tidak akan matang secara serempak. Buah yang berada pada lapisan luar biasanya
lebih matang jika dibandingkan dengan buah yang berada pada bagian yang lebih
dalam. Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan persentase minyak yang terdapat
pada setiap buah yang berada dalam satu tandan.
Pada buah kelapa sawit, semakin matang buah maka kadar
minyaknya akan semakin tinggi. Dengan semakin tingginya kadar minyak pada buah
maka proses hidrolisa secara enzimatis akan semakin cepat terjadi, sehingga
perolehan asam lemak akan lebih tinggi.
5. Pengaruh Lama Penyimpanan
Secara alami asam lemak bebas akan terbentuk seiring
dengan berjalannya waktu, baik karena aktifitas mikroba maupun karena hidrolisa
dengan bantuan katalis enzim lipase. Namun demikian asam lemak bebas yang
terbentuk dianggap sebagai hasil hidrolisa dengan menggunakan enzim lipase yang
terdapat pada buah sawit.
6. Pengaruh Penambahan CPO
Pada proses ini, kecepatan reaksi lebih rendah jika
penambahan kadar CPO terhadap campuran antara serat dan minyak semakin
meningkat. Hal ini dapat terjadi karena enzim lipase yang berada pada buah
sudah jenuh atau jumlahnya terbatas, sementara jumlah substrat sudah sangat
berlebih. Kecepatan reaksi bergantung kepada konsentrasi enzim lipase,
bukan pada konsentrasi substrat.
BAB IV
KESIMPULAN
-
Setelah pemanenan masih dapat terjadi kerusakan pada
hasil panen yang jika dibiarkan dapat merusak hasil dan mengurangi jumlah
produksi.
-
Setiap pemanenan dilakukan haruslah tepat waktu agar
saat penyimpanan tidak terjadi kerusakan.
-
Dengan penanganan terlebih dahulu akan membantu
mengurangi kerusakan hasil pada panen
TINJAUAN
PUSTAKA
Aksi Agraris Kanisius (AAK). 2000. Petunjuk Praktik Bertanam Buah dan Sayur.
Kanisius. Jakarta
Muchtadi,
Deddy. 1992. Fisiologi Pasca Panen
Sayuran dan Buah-Buahan (Petunjuk Laboratorium). PAU Pangan dan Gizi IPB.
Bogor.
Sjaifullah, 1997. Petunjuk Memilih Buah Segar. PT Penebar
Swadaya, Jakarta
Tranggono dan Sutardi, 1990. Biokimia dan Teknologi Pasca Panen.
Pusat Antar Universitas Pangan Dan Gizi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Winarno,
F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia. Jakarta
Naibaho,P.M., “Diversifikasi Minyak Sawit dan Inti
Sawit dalam Upaya Meningkatkan Daya Saing dengan Minyak Nabati Lainnya dan
Hewani”, Sasaran, No.27,Th,V,1991.
Tim Laboratirium Kimia Analisis Dasar,Jobsheet”Penentuan Asam Lemak
Bebas
Pada Minyak
Goreng (ALB)” Palembang, Politeknik
Negeri Sriwijaya Jurusan Teknik Kimia.
Bagian
Tanaman PT Perkebunan VI, 1980, Kelapa Sawit, Pabatu, Tebing Tinggi, Deli
Bonar,H. dan
H.A. Koasih, “Konsumsi Minyak Sawit”, Sasaran, No.12,Th.II, 1987
Masukkan Komentar di bawah