Proposal Skripsi Kultur Jaringan Perlakuan IAA dan Kinetin



I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dipterocarpaceae adalah suku yang mendominasi hutan tropis Indonesia, yang memiliki nilai ekologis sekaligus ekonomis yang tinggi. Kelompok jenis ini selain menghasilkan kualitas kayu yang baik, juga menghasilkan produk bukan kayu seperti getah dan buah tengkawang sebagai bahan baku industri kosmetik, bahan subtitusi lemak coklat, dan bahan baku lemak nabati. Selain itu, kayunya bernilai tinggi yang dapat digunakan sebagai bahan baku panel, lantai, alat musik, plywood, papan partikel, furniture. Terdapat sekitar 13 jenis pohon penghasil tengkawang yang tersebar di Kalimantan dan sebagian kecil di Sumatera. Jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang antara lain Shorea stenoptera, S, macrophylla, S. compressa, S. palembanica, S. amplexicaulis, S. pinanga, S. gysbertsiana, S. lepidota, S. seminis, S. Scaberrima, S.beccariana, S. singkawang, S. sumatrana. Berdasarkan Redlist International Union Conservation Of Natural Resources (IUCN) tahun 2010 beberapa jenis sudah masuk dalam katagori Critically Endengered and Vunarable species. Terkait dengan hal tersebut Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan SK Menhut No. 261/Kpts-IV/1990 tentang perlindungan pohon tengkawang sebagai tanaman langka. Ancaman kerusakannya habitatnya disebabkan karena kebakaran hutan, perambahan hutan, dan penebangan liar. Konservasi untuk upaya penyelamatan maupun mendukung program pemuliaan jenis-jenis shorea penghasil tengkawang menjadi hal yang sangat mendesak untuk dilakukan ( Hakim, 2010).

Menurut Sumarhani (2007), Shorea stenoptera Burck adalah salah satu jenis anggota Dipterocarpaceae penghasil biji tengkawang terbaik. Shorea stenoptera Burck  menghasilkan lemak dari biji tengkawang. Biji tengkawang yang menghasilkan lemak merupakan komoditi ekspor yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan coklat, margarin, sabun, lilin, dan bahan kosmetik. Kayunya juga cukup dikenal dalam perdagangan internasional. Shorea ini juga memiliki pertumbuhan yang sangat cepat diantara jenis tengkawang lainya. Sehingga Shorea stenoptera dianggap sebagai salah satu jenis yang paling dominan dan menguntungkan untuk dikembangkan.
Salah satu alternatif untuk mengatasi budidaya tengkawang tersebut adalah melalui teknik kultur jaringan atau teknik in vitro.  Manfaat utama teknik kultur jaringan dapat menghasilkan jutaan klon dari tanaman yang sifat genetiknya identik satu sama lain dalam waktu yang cukup singkat hanya dari sejumlah kecil materi awal, dan tidak tergantung musim (Zulkarnain, 2009). Sehingga teknik ini memiliki prospek untuk pengembangan tanaman tengkawang.
Menurut Giri et al., (2004), perbanyakan in vitro untuk tanaman pohon lebih sulit dilakukan. Hanya beberapa spesies tanaman pohon yang berhasil dipropagasi melalui kultur jaringan dengan eksplan yang berasal dari tanaman dewasa atau pohon induk. Komposisi media yang digunakan untuk kultur jaringan sangat penting untuk diketahui. Kesulitan yang sering muncul pada kultur jaringan tanaman pohon adalah pengeluaran senyawa fenol yang banyak, kecenderungan untuk membentuk kalus, vitrifikasi dan kematian pucuk. Kemampuan untuk membentuk akar juga masih menjadi masalah dalam kultur jaringan pohon. Secara umum terdapat tiga metode perbanyakan in vitro untuk tanaman pohon yaitu organogenesis, embriogenesis dan proliferasi dari tunas aksilar. Kaljadi (2007) menyatakan jalur embriogenesis somatik di masa mendatang lebih mendapat perhatian karena bibit dapat berasal dari satu sel somatik sehingga bibit yang dihasilkan dapat lebih banyak dibandingkan melalui jalur organogenesis. Di samping itu, sifat perakarannya sama dengan bibit yang berasal dari biji.
Salah satu teknik kultur jaringan adalah dengan memacu embriogenesis somatik. Embriogenesis somatik merupakan suatu proses yang terjadi pada sel somatik (baik haploid maupun diploid) untuk berkembang membentuk tanaman baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet (Purnamaningsih, 2002). Sehingga diharapkan tanaman baru yang dihasilkan memiliki sifat yang identik dengan induknya. Kecepatan proses embriogenesis somatik dipengaruhi oleh dua faktor pembatas yaitu inisiasi embrio somatik dan regenerasi tanaman. Keduanya membutuhkan kondisi yang tepat termasuk komposisi media dan zat pengatur tumbuh (Rianawati et al., 2009).
Zat pengatur tumbuh sangat dibutuhkan dalam teknik kultur jaringan. Bahkan Mulyono (2010) menyatakan guna memperoleh hasil yang memuaskan dalam pelaksanaan kultur jaringan maka digunakanlah zat pengatur tumbuh. Pada umumnya zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah campuran antara auksin dan sitokinin.
Auksin berperan merangsang pemanjangan sel, inisiasi akar, dan pembentukan kalus (Harjadi, 2009).  Sedangkan sitokinin adalah senyawa yang dapat meningkatkan pembelahan sel pada jaringan tanaman serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sama halnya dengan kinetin (6- furfurylaminopurine). Peranan auksin dan sitokinin sangat nyata dalam  pengaturan pembelahan sel, pemanjangan sel, diferensiasi sel, dan pembentukan organ (Zulkarnain, 2009). Bekti et al., (2002) juga menyatakan bahwa zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin yang diberikan pada perbandingan yang tepat dapat menginisiasi pembelahan sel dan meningkatkan pertumbuhan sel.
Hasil penelitian menunjukkan, perlakuan terbaik untuk eksplantat daun padi IR4 setelah 21 hari adalah perlakuan air laut 47,5 % dengan kombinasi hormon 1,5 mgL-1 IAA dengan 1,0 mgL-1 kinetin atau 2,0 mgL-1 IAA dengan 0,5 mgL-1 kinetin dapat menghasilkan kalus dan tunas (Suryowinoto, 1996).  Regenerasi kalus keladi tikus (Typonium flagelliforme Lodd) terbaik diperoleh pada medium 2,4D 1,0 mgL-1 + kinetin 0,3 mgL-1 mengandung BA 0,3 mgL-1 dengan rata-rata tunas dan daun yang dihasilkan sebanyak 13,2 tunas dan 4,4 daun (Syahid, 2007). Kombinasi 7,5 mgL-1 kinetin + 0,75 mgL-1  IAA merupakan kombinasi terbaik untuk proses inisiasi mikro buah naga, dengan hasil tingkat inisiasi tunas mikro sebesar 50% dan jumlah tunas mikro per eksplan sebanyak 3,9 tunas (Priyono, 2005). Respon yang terjadi dari pemberian ZPT (Zat Pengatur Tumbuh) IAA dan kinetin terhadap eksplan berupa biji A. malaccensis adalah terbentuknya tunas. ZPT yang diberikan berupa IAA dengan konsentrasi yang berbeda sedangkan kinetin dengan konsentrasi yang sama pada tiap perlakuan yaitu 2 ppm (Sari et al., 2012). Pada komposisi media MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh Kinetin, IAA dan GA3 dalam keadaan seimbang pertumbuhan plantlet Granola lebih baik dari komposisi media lainnya (Kaljadi, 2007).
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis mencoba melakukan penelitian dengan judul “ Regenerasi Kalus Embriogenik Tengkawang (Shorea Stenoptera Burck) Secara In vitro dengan Perlakuan Zat Pengatur Tumbuh IAA dan Kinetin”.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1.      Mengetahui pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh IAA dan kinetin terhadap regenerasi kalus embriogenik tengkawang.
2.      Mendapatkan kombinasi IAA dan kinetin yang terbaik untuk meregenerasi kalus embriogenik tengkawang

1.3 Kegunaan
            Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan penelitian dalam perbanyakan tengkawang secara kultur in vitro serta dapat dijadikan sumber informasi bagi pihak yang memerlukan.

1.4 Hipotesis
1.      Pemberian berbagai komposisi IAA dan kinetin memberikan pengaruh terhadap regenerasi dan perkembangan kalus embriogenik tengkawang.
2.      Diperolehnya satu komposisi IAA dan kinetin terbaik dalam meregenerasi kalus embriogenik tengkawang.





II. TINJAUAN PUSTAKA

Regenerasi Kalus Embriogenik Tengkawang (Shorea Stenoptera Burck.) Secara In vitro dengan Perlakuan Zat Pengatur Tumbuh IAA dan Kinetin

2.1  Pendahuluan
Shorea stenoptera Burck adalah salah satu jenis anggota Dipterocarpaceae penghasil biji tengkawang terbaik. Shorea stenoptera Burck  menghasilkan lemak dari biji tengkawang. Biji tengkawang yang menghasilkan lemak merupakan komoditi ekspor yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan coklat, margarin, sabun, lilin, dan bahan kosmetik. Kayunya juga cukup dikenal dalam perdagangan internasional. Shorea ini juga memiliki pertumbuhan yang sangat cepat diantara jenis tengkawang lainya (Sumarhani, 2007). Sehingga Shorea stenoptera dianggap sebagai salah satu jenis yang paling dominan dan menguntungkan untuk dikembangkan.
Akan tetapi, rusaknya populasi Shorea stenoptera Burck. yang disebabkan oleh kebakaran hutan, perambahan hutan dan penebangan liar mengakibatkan Shorea stenoptera Burck menjadi langka sehingga diperlukan upaya konservasi untuk menyelamatkannya. Heriyanto dan Nina (2008) juga menyebutkan bahwa keberadaan pohon penghasil tengkawang saat ini di hutan alam sudah sangat sedikit. Kondisi ini disebabkan salah satunya oleh pembalakan liar yang semakin marak serta eksploitasi oleh sebagian besar pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang dilakukan tanpa mengindahkan aspek kelestarian jenis penghasil tengkawang. Namun demikian, masyarakat sudah mulai paham arti buah tengkawang bagi kehidupan mereka. Masyarakat sudah mulai membudidayakan jenis tengkawang di pekarangan maupun kebun, tetapi masih secara tradisional dalam arti belum mem-perhitungkan aspek teknologi, sehingga hasilnya belum memuaskan.
Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan budidaya tanaman Shorea stenoptera Burck. melalui kultur jaringan atau teknik in vitro. Menurut Zulkarnain (2009), teknik kultur jaringan dapat menghasilkan jutaan klon dari tanaman yang sifat genetiknya identik satu sama lain dalam waktu yang cukup singkat hanya dari sejumlah kecil materi awal dan tidak tergantung dengan musim. Sehingga teknik ini memiliki prospek yang baik untuk pengembangan tanaman penghasil biji tengkawang ini.
Salah satu teknik kultur jaringan adalah dengan memacu embriogenesis somatik. Embriogenesis somatik merupakan suatu proses yang terjadi pada sel somatik (baik haploid maupun diploid) untuk berkembang membentuk tanaman baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet (Purnamaningsih, 2002). Sehingga diharapkan tanaman baru yang dihasilkan memiliki sifat yang identik dengan induknya. Kecepatan proses embriogenesis somatik dipengaruhi oleh dua faktor pembatas yaitu inisiasi embrio somatik dan regenerasi tanaman. Keduanya membutuhkan kondisi yang tepat termasuk komposisi media dan zat pengatur tumbuh (Rianawati et al., 2009).
Zat pengatur tumbuh sangat dibutuhkan dalam teknik kultur jaringan. Pada umumnya zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah campuran antara auksin dan sitokinin. IAA merupakan auksin yang disintetis secara alamiah di dalam tubuh tanaman, namun senyawa ini mudah mengalami degradasi akibat pengaruh cahaya dan oksidasi enzimatik. Hal inilah yang menyebabkan IAA biasa diberikan dengan jumlah konsentrasi yang relatif tinggi yakni sekitar 1 – 30 mgL-1 dan sitokinin yang digunakan adalah kinetin (6- furfurylaminopurine) yakni senyawa yang dapat meningkatkan pembelahan sel pada jaringan tanaman serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Zulkarnain, 2009). 
Hasil penelitian menunjukkan bahwa regenerasi kalus keladi tikus (Typonium flagelliforme Lodd) terbaik diperoleh pada medium 2,4-D 1,0 mgL-1 + kinetin 0,3 mgL-1 mengandung BA 0,3 mgL-1 dengan rata-rata tunas dan daun yang dihasilkan sebanyak 13,2 tunas dan 4,4 daun (Syahid, 2007). Kombinasi 7,5 mgL-1 kinetin + 0,75 mgL-1  IAA merupakan kombinasi terbaik untuk proses inisiasi mikro buah naga, dengan hasil tingkat inisiasi tunas mikro sebesar 50% dan jumlah tunas mikro per eksplan sebanyak 3,9 tunas (Priyono, 2005). Pada komposisi media MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh Kinetin, IAA dan GA3 dalam keadaan seimbang pertumbuhan plantlet Granola lebih baik dari komposisi media lainnya (Kaljadi, 2007). Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, maka pada penelitian ini mencoba modifikasi konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan.

2.2  Tinjauan Umum Tanaman Tengkawang
Shorea stenoptera Burck. merupakan anggota famili Dipterocarpaceae yang umumnya tumbuh subur pada tanah aluvial dataran rendah daerah tropik (Ashton, 1982). Pohon berukuran sedang hingga sangat besar, tinggi dapat mencapai 60-70 meter dengan diameter mencapai 2 meter lebih. Batang lurus silindris, dengan batang bebas cabang bisa mencapai 10-42 meter dan diameter 70- 180 cm. Kulit batang berserat kadang beralur dangkal dan mengelupas kecil-kecil seperti sisik, berwarna kelabu atau coklat. Kulit bagian dalam kemerah-merahan dan menghasilkan resin. Kayu jenis ini berwarna coklat kemerahan dengan urat kayu bertautan dan bergelombang dengan tekstur agak kasar. Lingkaran pertumbuhannya tidak jelas, bahkan umumnya tidak ada.
Daun tengkawang tersusun berseling sederhana. Tulang daun menyirip dengan urat daun sejajar seperti anak tangga. Permukaan bawah daun seringkali terdapat lapisan lilin tipis berwarna putih yang mudah terhapus. Daun penumpu/tambahan dan braktea biasanya besar, bertahan lama atau kadang-kadang cepat lepas. Bunga tumbuh pada ujung ranting, muncul dari ketiak daun dalam karangan bunga/malai tidak beraturan. Bunga berkelamin dua, perhiasan bunga (calic dan corolla) berkelipatan lima dengan cuping kelopak bebas. Bunga berbau harum wangi. Buah agak bulat dengan ujung yang meruncing, bertangkai pendek dengan tiga cuping kelopak bagian luar yang memanjang (Winarni et al., 2004).
Di Hutan Penelitian Haurbentes, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Bogor, tanaman muda Shorea stenoptera Burck dapat menghasilkan buah pada umur 10 tahun. Masa pembungaan Shorea stenoptera Burck lebih sering berlangsung hampir setiap tahun dibanding dengan jenis tengkawang lainnya. Periode pembungaan raya (mass fruiting seasson) sekitar 4-5 tahun sekali. Berdasarkan sifat bunganya, jenis Shorea stenoptera Burck. ini dikelompokkan sebagai bunga berkelamin dua. Penyerbukannya dibantu oleh serangga kecil, kutu, dan binatang penyerbuk lainnya. Ini terbukti dari banyaknya lebah dan serangga-serangga lain yang mengunjungi bunga tengkawang pada saat mekar. Masa pembungaan dimulai ketika tajuk pohon mencapai strata utama kanopi hutan (Apanah dan Manaf, 1994). Buah tengkawang berbentuk bulat telur seperti nut, memiliki lima sayap, dengan kulit buah dan kulit biji tidak menyatu. Dalam setiap buah terdapat satu biji yang terbelah menjadi dua keping biji. Sayap yang terdapat pada semua jenis Shorea dapat membantu pemencaran biji yang lebih jauh. Buah tengkawang terdiri atas kelopak (calyx), kulit (shell), dan biji (kernel). Bagian buah tengkawang yang mengandung lemak adalah bijinya terutama keping biji (cotyledon). Buah tengkawang yang sudah masak akan jatuh atau bahkan jatuh lebih awal jika diterpa angin kencang. Sumadiwangsa (1977), menyebutkan bahwa masa gugur buah tengkawang dapat berlangsung selama 15 hari dengan masa dormansi biji yang relatif singkat yaitu hanya 12 hari.
Menurut Sumarhani (2007), Shorea stenoptera Burck adalah salah satu jenis anggota Dipterocarpaceae penghasil biji tengkawang terbaik. Shorea stenoptera Burck. menghasilkan lemak dari biji tengkawang. Biji tengkawang yang menghasilkan lemak merupakan komoditi ekspor yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan coklat, margarin, sabun, lilin, dan bahan kosmetik. Kayunya juga cukup dikenal dalam perdagangan internasional. Kualitas biji tengkawang ditentukan oleh kandungan asam lemak bebas (free fat acid/FFA). Semakin rendah kandungan asam lemak bebas maka semakin tinggi mutunya. Winarni et al., (2004) menyebutkan kandungan asam lemak bebas biji tengkawang lebih rendah dari minyak kelapa sehingga mengandung kolesterol rendah sehingga Shorea stenoptera Burck. dianggap sebagai salah satu jenis yang paling dominan dan menguntungkan untuk dikembangkan.

2.3     Proliferasi Kalus Embriogenik Pada Teknik In vitro
Banyak tanaman yang memiliki kemampuan untuk membentuk embrio aseksual dari jaringan ovular tanpa terjadinya fusi sel atau inti, yang dikenal dengan apomiksis atau embrio somatik ( Wattimena et al., 1992). Embriogenesis somatik adalah proses perkembangan embrio lengkap dari sel-sel vegetatif atau sel –sel somatik yang diperoleh dari berbagai sumber eksplan. Inisiasi dan diferensiasi embrio somatik tidak melibatkan proses seksual (Zulkarnain, 2009).
Nugrahani et al., (2011) menyatakan regenerasi melalui proses embriogenesis somatik memberikan banyak keuntungan, antara lain: (1) waktu perbanyakan lebih cepat, (2) pencapaian hasil dalam mendukung program perbaikan tanaman lebih cepat, dan (3) jumlah bibit yang dihasilkan tidak terbatas jumlahnya. Embrio somatik dapat terbentuk melalui dua jalur, yaitu secara langsung maupun tidak langsung (melewati fase kalus). Keberhasilan akan dicapai apabila kalus atau sel yang digunakan bersifat embriogenik yang dicirikan oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil-kecil dan mengandung butir pati (Purnamaningsih, 2002).
Purnamaningsih (2002) juga menyatakan bahwa cara embriogenesis somatik banyak mendapat perhatian karena jumlah propagula yang dihasilkan tidak terbatas dan dapat diperoleh dalam waktu yang lebih singkat. Suatu keuntungan yang nyata dari embriogenesis somatik adalah  embrio - embrio somatik yang dihasilkan bersifat biopolar, yakni memiliki ujung – ujung akar dan pucuk yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman lengkap. Di samping itu, kultur–kultur yang bersifat embriogenik dapat menghasilkan embrio dalam jumlah besar dalam satu wadah kultur (Zulkarnain, 2009).
Planlet normal dari embrio somatik diperoleh melalui tahap yang panjang. Konsentrasi zat pengatur tumbuh yang tinggi dapat berupa sitokinin diperlukan pada saat inisiasi media kalus embriogenik, selanjutnya kalus yang terbentuk disubkultur ke media yang mengandung konsentrasi zat pengatur tumbuh lebih rendah untuk perkembangan kalus embriogenik membentuk embrio somatik (Maulida, 2010).

2.4 Peranan Zat Pengatur Tumbuh IAA dan Kinetin dalam Regenerasi kalus Embriogenik Secara In vitro

 Beberapa faktor penting yang mempengaruhi induksi kalus dan regenerasi tanaman yaitu pemilihan jenis eksplan, genotipe dan suplemen media yang digunakan, mencakup tipe dan kuantitas zat pengatur tumbuh (Sari et al.,  2012). Purnamaningsih  (2002) menambahkan, zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur. Gaba (2005) juga menyebutkan bahwa zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting dalam mengontrol proses biologi dalam jaringan tanaman. Aktivitas zat pengatur tumbuh di dalam pertumbuhan tergantung dari jenis, struktur kimia, konsentrasi, genotipe tanaman serta fase fisiologi tanaman (Satyavathi et al., 2004).  Konsentrasi dari zat pengatur tumbuh yang dibutuhkan tergantung pada tahapan dalam perkembangan pembentukan embrio somatik. Menurut Lestari (2010), tahapan dalam proses embriogenesis somatik adalah induksi kalus embriogenik, pendewasaan, perkecambahan, pembentukan kotiledon, dan bibit somatik. Pada tiap tahapan membutuhkan kombinasi auksin dan sitokinin yang berbeda. Sari et al., (2012) juga menyatakan bahwa komposisi auksin dan sitokinin dalam media kultur in vitro mempunyai peranan penting dalam induksi dan regenerasi kalus menjadi tunas.
Auksin umumnya berperan merangsang pemanjangan sel, pembelahan sel dan pembentukan akar adventif selain itu auksin juga dapat menghambat pembentukan tunas adventif, dan tunas aksilar. Zulkarnain (2009) menambahkan,  peranan auksin dan sitokinin sangat nyata dalam  pengaturan pembelahan sel, pemanjangan sel, diferensiasi sel, dan pembentukan organ.
Lestari (2010) juga menyatakan untuk memacu pembentukan kalus embriogenik dan struktur embrio somatik seringkali auksin diperlukan dalam konsentrasi yang relatif tinggi. Auksin yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah IAA (Indole Acetid Acid), 2,4-D ( 2,4-Dicholorophenoxy Acetid Acid), IBA ( Indole Butryc Acid), dan NAA ( Naphtalen Acetid Acid).
IAA merupakan auksin yang disintetis secara alamiah di dalam tubuh tanaman, namun senyawa ini mudah mengalami degradasi akibat pengaruh cahaya dan oksidasi enzimatik. Hal inilah yang menyebabkan IAA biasa diberikan dengan jumlah konsentrasi yang relatif tinggi yakni sekitar 1 – 30 mgL-1 (Zulkarnain, 2009). Akan tetapi, Lestari (2010) juga menyatakan bahwa penggandaan tunas pada tanaman berkayu atau tanaman tahunan seperti gaharu, cendana, belimbing sukun, dan melinjo pada umumnya memerlukan zat pengatur tumbuh dalam konsentrasi yang lebih tinggi berkisar antara 5-10 mgL-1, untuk meningkatkan kemampuan proliferasi tunas dan kadang perlu ditambahkan thidiazuron atau auksin seperti IAA dalam konsentrasi yang rendah (0,1 - 0,3 mgL-1).
Harjadi (2009) menuturkan bahwa, di dalam kultur jaringan aktivitas auksin IAA dapat berkonjugasi dengan asam amino mempunyai pengaruh lebih tinggi terhadap proses-proses fisiologis termasuk perangsangan akar. Salah satu contohnya adalah konjugasi IAA dengan asam amino adalah IAA-aspartat. Selain berikatan dengan asam amino, IAA juga dapat berikatan dengan senyawa fenolik dan aktivitasnya menjadi meningkat.
Selain itu, pembentukan tunas in vitro sangat menentukan keberhasilan produksi bibit yang cepat dan banyak. Semakin banyak tunas yang terbentuk akan berkorelasi positif dengan bibit yang dapat dihasilkan melalui kultur jaringan. Dengan demikian untuk memacu faktor multiplikasi tunas yang tinggi diperlukan penambahan zat pengatur tumbuh sitokinin.
Sitokinin adalah senyawa yang dapat meningkatkan pembelahan sel pada jaringan tanaman serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sama halnya dengan kinetin (6- furfurylaminopurine) (Zulkarnain, 2009). Harjadi (2009) juga menyatakan bahwa sitokinin berperan dalam mengatur pembelahan sel, pembentukan organ, perbesaran sel dan organ, pembentukan kloroplas, serta perkembangan mata tunas dan pucuk. Sitokinin yang banyak digunakan dalam kultur jaringan adalah kinetin,  benzyl adenine (BA atau BAP) dan Zeatin.
Penggunaan kinetin dalam kultur jaringan dilakukan dalam berbagai tingkat konsentrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada komposisi media MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh Kinetin, IAA dan GA3 dalam keadaan seimbang pertumbuhan plantlet Granola lebih baik dari komposisi media lainnya (Kaljadi, 2007). Selain itu, Syahid (2007) juga melaporkan bahwa regenerasi kalus keladi tikus (Typonium flagelliforme Lodd) terbaik diperoleh pada medium 2,4D 1,0 mgL-1 + kinetin 0,3 mgL-1 mengandung BA 0,3 mgL-1 dengan rata-rata tunas dan daun yang dihasilkan sebanyak 13,2 tunas dan 4,4 daun. Pada tanaman herba seperti mentha, seruni, dan rami, diperlukan sitokinin seperti BA atau kinetin konsentrasi yang rendah, yaitu berkisar 0,1-1 mgL-1  ( Lestari, 2010). Jenis zat pengatur tumbuh yang berbeda dari golongan yang sama seperti kinetin, zeatin dan 2-iP kadang dibutuhkan untuk memacu morfogenesis yang lebih optimal (Gaba, 2005). Hasil penelitian Laily (2010) menunjukkan, respon rerata tunas tertinggi (56 tunas/eksplan) terjadi pada perlakuan IAA 2 ppm dan kinetin 3 ppm, sedangkan untuk rerata akar tertinggi (8 akar/eksplan) terjadi pada perlakuan IAA 2,5 ppm dan kinetin 0 ppm. Dan pada perlakuan IAA 2 ppm dan kinetin 1 ppm dan IAA 2,5 ppm dan kinetin 1 ppm mampu menginduksi tunas dan akar dalam satu eksplan.

2.5  Kesimpulan
Induksi pembentukan kalus embriogenik pada kultur in vitro tanaman tengkawang (Shorea stenoptera Burck.) secara in vitro sangat dipengaruhi oleh adanya kehadiran zat pengatur tumbuh, terutama IAA dan kinetin di dalam media kultur.





III. METODE PENELITIAN

3.1       Tempat dan Waktu
            Penelitian ini di lakukan di laboratorium Bioteknologi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Mendalo Darat. Penelitian dilakukan pada bulan September 2012 sampai April 2013.

3.2       Alat dan Bahan
            Bahan tanaman (eksplan) yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah daun tengkawang muda yang berumur sekitar 25 – 30 hari dalam pembibitan. Media tanaman yang digunakan adalah media WPM. Komposisi media telah terlampir pada lampiran I. Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah IAA (Indole-3-acetid acid) dan kinetin (6- furfurylaminopurine) yang konsentrasinya sesuai dengan perlakuan. Bahan pemadat digunakan agar-agar powder 7 mgL-1, sukrosa 30 mgL-1, aquades steril sebagai pelarut, KOH 1N, dan HCL 1N. Bahan pensterilisasi eksplan yang digunakan Agrept 20WP 2 %, Benlate® 2 %, deterjen, clorox dan alkohol 70% untuk sterilisasi alat.
            Alat-alat yang digunakan yaitu Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), kulkas, autoklaf, hot plat, pH meter, magnetic stirrer, neraca biasa, neraca analitik, gelas piala, gelas ukur, tissue, batang pengaduk, botol kultur, plastik kaca, karet gelang, petridis, lampu bunsen, kertas label, hand sprayer, gunting, pinset, lampu dan rak untuk menyimpan botol kultur, kamera dan alat-alat tulis.

3.3       Rancangan percobaan
            Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan kombinasi IAA dan kinetin sebagai berikut :
I1K1 : 0,5 ppm IAA + 1 ppm kinetin
I1K3 : 0,5 ppm IAA + 3 ppm kinetin
I1K5 : 0,5 ppm IAA + 5 ppm kinetin
I2K1 : 1 ppm IAA + 1 ppm kinetin
I2K3 : 1 ppm IAA + 3 ppm kinetin
I2K5 : 1 ppm IAA + 5 ppm kinetin
Dari faktor diatas diperoleh 6 perlakuan dengan 3 ulangan, sehingga terdapat 18 satuan percobaan. Pada masing – masing satuan percobaan terdapat 4 botol kultur sehingga terdapat 72 botol kultur. Tiap botol masing – masing ditanam 1 eksplan dan semua populasi diamati.

3.4       Pelaksanaan Penelitian
3.4.1    Sterilisasi Alat
            Semua alat seperti petridis, botol kultur, gunting, pinset, gelas ukur dan peralatan lainnya herus dicuci bersih dengan sabun cair dan dibilas kemudian di bungkus dengan kertas kemudian disterilkan dalam autoklaf pada tekanan 17,5 psi (pounds per square inch) dengan suhu 1210 C selama 1 jam. Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) disemprot dengan alkohol 70% setiap kali digunakan dan kemudian sterilisasi dengan menyalakan lampu UV 1 jam sebelum melakukan penanaman. Hal itu semua di lakukan agar terhindar dari kontaminasi.

3.4.2    Pembuatan Media
            Media yang digunakan sebagai media tanam adalah  Wood Plant Medium (WPM) dengan kombinasi zat pengatur tumbuh IAA dan kinetin. Untuk memudahkan membuat media, maka terlebih dahulu disiapkan larutan stok ( A, B,C, D, E, F, dan vitamin). Semua larutan stok dipipet sebanyak yang dibutuhkan kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala ukuran 2 liter.
            Larutan stok yang sudah dimasukkan ke dalam gelas piala, masukkan gula dan agar-agar ke dalamnya dan tambahkan dengan aquades hingga volume tepat 2 L kemudian panaskan sambil diaduk dengan magnetic stirrer. pemanasan dihentikan bila larutan telah mendidih. Media tesebut dibagi dalam gelas piala 250 ml. Lalu pipet IAA dan kinetin sesuai perlakuan, ukur pH media sampai 5,6 – 5,8 dengan menggunakan beberapa tetes KOH 1%  jika pH kurang dari 5,6 dan dengan HCl 1% jika pH lebih dari 5,8.
            Media tersebut dituangkan kedalam botol kultur, kemudian ditutup dengan plastik tahan panas dan diikat dengan karet gelang dan beri label sesuai dengan perlakuan. Kemudian media disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210 C dengan tekanan 17,5 psi selama 30 menit.

3.4.3    Persiapan dan Subkultur Kalus
Sebelum melakukan subkultur kalus, terlebih dahulu Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) disterilkan dengan sinar ultraviolet selama minimal satu jam dan disemprot alkohol 70%. Semua bahan dan alat yang akan dimasukkan ke dalam LAFC juga disemprot alkohol 70%. Kemudian subkultur kalus dilakukan dalam LAFC.
Setelah itu kalus yang berhasil ditumbuhkan dari eksplan daun kemudian dipotong – potong dengan ukuran yang hampir sama yakni ± 3-5 mm dengan menggunakan pisau scalpel di dalam petridish untuk disubkulturkan di dalam media sesuai perlakuan. Kalus berasal dari hasil induksi kalus yang berasal dari eksplan daun muda umur 30 hari yang dikulturkan dalam Wood Plant Medium (WPM) dengan kombinasi zat pengatur tumbuh 3 ppm Benzil Amino Purine (BAP), 1 ppm Pikloram, dan 1 ppm Prolin. Pada saat subkultur mulut botol menghadap ke bunsen, hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Kemudian mulut botol ditutup dengan plastik tahan panas dan diikat dengan karet gelang. Botol diberi label sesuai perlakuan. Setiap botol kultur berisi 1 kalus.

3.4.4 Pemeliharaan   
             Pemeliharaan meliputi menjaga kebersihan, pemisahan eksplan atau media yang telah terkontaminasi oleh mikroorganisme dari ruang inkubasi. Penyemprotan botol-botol kultur di lakukan setiap hari dengan alkohol 70%.


3.5       Variabel yang Diamati
3.5.1 Bobot segar kalus
            Pengamatan dilakukan pada akhir penelitian, pada masing –masing perlakuan. Bobot segar kalus yang telah dipanen ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik.Penghitungan bobot segar kalus dihitung dengan cara menghitung selisih antara bobot akhir  dan bobot awal.

3.5.2 Diameter kalus
            Pengamatan dilakukan pada akhir penelitian, pada masing–masing perlakuan. Diameter kalus yang telah dipanen kemudian diukur diameternya dengan menggunakan kertas millimeter block . Penghitungan diameter kalus dihitung dengan cara menghitung selisih antara diameter akhir  dan diameter awal.

3.5.3 Karakteristik kalus
            Pengamatan dilakukan dengan mengamati karakteristik kalus seperti :
a.                   Warna kalus
Pengamatan dilakukan pada setiap eksplan kalus yang membentuk kalus.Setiap eksplan kalus diamati warna kalus yang terbentuk seperti warna putih, kuning, cokelat, dan hijau.
b.                  Struktur kalus
Pengamatan dilakukan pada akhir penelitian, dimana setiap eksplan kalus dilihat struktur yang terbentuk dan dibedakan menjadi kalus dengan struktur kompak dan kalus struktur remah.

3.5.4        Presentase kalus embriogenik secara visual
Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah kalus embriogenik yang terlihat secara visual pada akhir penelitian. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :


Persentase kalus embriogenik (%) =  Jumlah kalus embriogenik x 100 %
                                                            Jumlah kalus keseluruhan

3.5.5        Presentase kalus berakar
Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah kalus berakar yang terlihat secara visual pada akhir penelitian. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

    Persentase kalus berakar (%) =  Jumlah kalus berakar x 100 %
                                                    Jumlah kalus keseluruhan

3.5.6        Presentase kalus bertunas
Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah kalus bertunas yang terlihat secara visual pada akhir penelitian. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

    Persentase kalus bertunas (%) =  Jumlah kalus bertunas x 100 %
                                                       Jumlah kalus keseluruhan

3.5.7        Presentase kalus berakar dan bertunas
Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah kalus berakar dan bertunas yang terlihat secara visual pada akhir penelitian. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

    Persentase kalus berakar dan bertunas (%)
=  Jumlah kalus berakar dan bertunas x 100 %
        Jumlah kalus keseluruhan

3.6              Analisis Data
            Data hasil pengamatan akan dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis ragam kemudian dilanjutkan dengan Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf α = 5%.
DAFTAR PUSTAKA
Apanah, S., dan M.R.A Manaf. 1994. Fruiting and Seedling Survival of Dipterocarps in A Logged Forest. Journal of Tropical Forest Science 6: 215-222.
Asthon , P.S. 1982. Dipterocarpaceae Flora Malesiana, Series I-Spermatophyta. Flowering Plants. 9 (2) :237-552.
Gaba, V.P. 2005. Plant Growth Regulator. In R.N. Trigiano and D.J. Gray (eds.) Plant Tissue Culture and Development. CRC Press, London. 87-100.
Giri, C.C., B.Shyamkumar, dan C. Anjaneyulu. 2004. Progress in Tissue Culture, Genetic Transformation and Applications of Biotechnology To Trees : An Overview. Trees .18 : 115-135.
Hakim, L. 2010. Eksplorasi dan Pengumpulan Benih Jenis Shorea Penghasil Tengkawang Di PT. Sari Bumi Kusuma (SBK) Kalimantan Tengah. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.
Harjadi, S. 2009. Zat Pengatur Tumbuh; Pengenalan dan Petunjuk Penggunaan Pada Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta
Heriyanto, N.M dan Nina M. 2008. Konservasi Jenis Tengkawang (Shorea spp.) pada Kelompok Hutan Sungai Jelai-Sungai Delang-Sungai Seruyan Hulu Di Provinsi Kalimantan Barat. Info Hutan 5 (3) : 281-287.
Kaljadi, A.K. 2007. Pengaruh Penambahan Kinetin, IAA Dan Ga3 Terhadap Pertumbuhan Plantlet Kentang. J. Agrivigor 6 (2): 100-105
Laily, N.D. 2010. Pengaruh Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh IAA dan Kinetin Terhadap Morfogenesis pada Kultur In vitro Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum L.var.Prancak-95). Program Studi Biologi Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Lestari, G.E. 2010. Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perbanyakan Tanaman melalui Kultur Jaringan. Jurnal Agro Biogen 7(1):63-68
Maulida, U.R. 2010. Induksi Kalus dari Daun Muda dan Kotiledon serta Induksi Tunas dari Buku Tunggal Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.) Populasi Komposit IP-2P Secara In vitro. Tesis Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor
Mulyono, D. 2010. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Auksin; Indole Butric Acid (IBA) dan Sitokinin; Benzil Amino Purin (BAP) dan Kinetin dalam Elongasi Pertumbuhan Gaharu (Aquilaria beccariana). Pusat Teknologi Produksi Pertanian-BPPT, Jakarta
Nugrahani, P., Sukendah, dan Makziah. 2011. Regenerasi Eksplan Melalui Organogenesis dan Embriogenesis Somatik. Recognition and Mentoring Program Universitas Pembangunan Nasional ” Veteran”, Jawa Timur
Priyono. 2005. Perbanyakan Tanaman Buah Naga Berdaging Buah Merah (Hylocereus costaricensis) Melalui Teknik Kultur Jaringan. Berita Biologi 7(5): 273-280
Purnamaningsih, R. 2002. Regenerasi Tanaman Melalui Embriogenesis Somatik dan Beberapa Gen yang Mengendalikannya. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian. Buletin AgroBio 5 (2): 51-58.
Rianawati, Sri., A. Purwito, B. Marwoto, R. Kurniati, dan Suryanah.  2009. Embriogenesis Somatik dari Eksplan Daun Angrek Phalaenopsis sp.L. Jurnal Agron Indonesia 37 (3):240-248
Sari, M.G., N. Anna, dan E.B.M. Siregar. 2012.  Respon Eksplan Biji Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) terhadap Pemberian IAA secara In vitro. Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara.
Satyavathi ,V.V., P.P Jauhar, E.M. Elias, dan M.B. Rao. 2004. Genomics, molecular genetic and biotechnology efects of growth regulators on in vitro plant regeneration. Crop Sci. 44:1839-1846.
Sumadiwangsa, S. 1977. Biji Tengkawang Sebagai Bahan Baku Lemak Nabati. Laporan 91. Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor.
Sumarhani. 2007. Pemanfaatan dan Konservasi Jenis Meranti Merah Penghasil biji Tengkawang. Pusat Litbang dan Konservasi Alam, Bogor
Suryowinoto, M. 1996. Pemuliaan Tanaman Secara In vitro. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Syahid, S.F., dan N.N. Kristina. 2005. Induksi dan Regenerasi Kalus Keladi Tikus (Typonium flagelliforme Lodd) Secara In vitro. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Jurnal Littri 13(4):142-146.
Wattimena, G.A., L.W Gunawan, N.A Mattjik, E. Syamsudin, N.M.A Wiendi, dan A. Ernawati. 1992. Bioteknologi Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan, Pusat Antar Universitas Bioteknologi-IPB, Bogor
Winarni, I.E., S. Sumadiwangsa, dan D. Setyawan. 2004. Pengaruh Tempat  Tumbuh, Jenis dan Diameter Batang Terhadap Produktivitas Pohon Penghasil Biji Tengkawang. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, Bogor. 22 (1): 23-33.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Solusi Perbanyakan Tanaman Budidaya. Bumi Aksara, Jakarta.


Lampiran 1. Komposisi medium Woody Plant Medium (WPM) (Lloyn dan  McCown, 1968) pada pH 5,6-5,8
Stok
Senyawa
per liter stok
Pemakaian
stok
per liter medium
A

B

C




D

E




F
NH4NO

Ca(NO)3 . 4 H2O

KH2PO4
K2SO4
H3BO3
Na2MoO4 . 2 H2O

CaCl2. 2H2O

MgSO4. 7H2O
MnSO4. 4H2O
ZnSO4. 4H2O
CuSO4. 5H2O

Na2EDTA . 2 H2O
FeSO4. 7H2O
82,500 g

11,120 g

3,400 g
19,800 g
0,140 g
0,005 g

1,920 g

74,000 g
4,460 g
1,720 g
0,050 g

7,440 g
5,560 g


  4,85 mL

50,00  mL

50,00  mL




50,00  mL

  5,00 mL




  5,00 mL

400,000 mg

556,000 mg

170,000 mg
990,000 mg
6,200 mg
0,250 mg

96,000 mg

370,000 mg
22,300 mg
8,600 mg
0,250 mg

37,200 mg
27,800 mg 
Myo-inositol                          
Niasin
 Piridoksin-HCl
Tiamin-HCl
Glisin
10,000 g     
0,050 g
0,050 g
0,010 g
0,200 g
 10,00 mL
100,00 mg
0,500 mg
0,500 mg
1,000 mg
2,000 mg
Sukrosa
Agar


30.000,000 mg
7.000,000 mg
Lampiran 2. Denah Percobaan


I2K1.II

I1K5.III

I1K1.I

I2K5.II

I1K3.III

I2K3.I









I1K3.II

I2K5.I

I2K3.III

I1K5.I

I1K1.II

I2K1.III









I1K5.II

I1K1.III

I2K1.I

I2K3.II

I2K5.III

I1K3.I






















Keterangan         :
I1K1.I – I2K5.III : Perlakuan
                             : Botol kultur berisi kalus

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Masukkan Komentar di bawah