My Short Story "Hidup dan Matiku di Tangan-Mu"
Oke, this is me
(again). Absolutely…
Nah, for this time, aku
mau share cerpen karyaku sendiri (cieilee)
Ini juga cerpen
perdanaku yang kemarin aku buat sekitar 40 menit an di lomba yang diadain sama
P3KM.
Yang ikut sih emang Cuma
8 orang…
Tapi tetep aja,,,
Gak nyangka sih,
berhasil nyabet juara 1. (I didnt mean anything by saying this (surely). I just get surprised when I knew the result)
Hehehhe…
Oiyaaaa….
Buat tema n judulnya,
ini udah disiapin panitia. Jadi kita langsung lomba di TKP alias di Tempat Kejadian Perkara n buat disitu juga.
Note::: I know this short story are far from perfect. But, hopefully, it can entertain even motivate we all. Hope so. :)))
I also receive some critics. :)
Nah ini dia!
Enjoy reading! :)
Hidup dan Matiku Untuk-Mu
Binar
mata itu kembali menelusuri dinding rumah yang sudah mulai tampak kusam tak
terurus. Selalu ada senyum yang terukir di wajahnya yang letih menanggung beban
hidup yang dijalaninya. Matanya liar menatapi langit-langit rumah yang minta
diperbaiki. Dalam caranya menatap sekeliling, ia tampak mengingat kenangan
manis di rumah kecil yang dulunya begitu damai dan terkesan sempurna.
“Nisa,
kenapa nggak ke gereja?” tanya sosok yang sudah 17 tahun mengurusiku tanpa
lelah.
“Malas,”
jawabku singkat.
Itu
adalah jawaban yang sama setelah berminggu-minggu aku terkesan melupakan-Nya.
Itu adalah jawaban yang sama setelah aku tiada lagi mengunjungi rumah-Nya yang
kudus. Sesungguhnya, pada kali pertama dia bertanya akan hal itu, nafasku serasa
tercekat. Itu memang bisa dibilang aneh. Janggal. Mereka diluar sana mengatakan
bahwa aku, adalah sosok yang cinta Tuhan. Nisa, bukanlah seorang pembangkang.
Terlebih untuk urusan agama. Yah, itulah kata mereka.
***
Ayah,
adalah sosok yang kurindukan. Sudah lama tak kulihat wajahnya yang begitu
terasa menenangkan. Jujur saja, aku merindukannya. Bagaimana tidak? Apa rasanya
kau hidup dengan 1 kaki? Mama memang begitu baik. Tapi, tentu aku masih butuh
ayah. Dia… ya dia…
Mama
kembali menghampiriku, mencoba meraihku untuk sekedar membelai lembut kepalaku.
Dia teramat baik. Namun entah mengapa, aku tetap saja ini selalu kurang.
Pikirku, bahkan ini akan jadi dan terus jadi sebuah kekurangan. Yatim. Apa
enaknya menjadi anak tanpa ayah? Tak ada, kan? Kecemburuan sosial selalu datang
merayapimu saat yang lain bisa sekedar menyalami ayahnya sebelum pergi ke
sekolah. Sama seperti aku iri pada Nia.
Nia,
dia adalah anak dari wali kelasku yang juga mengajarku di sekolah. Ayah bekerja
sebagai supir bagi keluarga mereka. Aku dan Nia sudah berteman sejak lama.
Tapi, 2 bulan terakhir kerenggangan pun tercipta setelah ayah tak lagi ada.
Apalagi, kerap kali kudapati ia bercengkrama asik dengan mama. Siapa yang tak
sakit hatinya? Jelas saja, aku seketika rapuh dan tak berdaya. Untuk ini, kau
bisa bilang aku lemah. Kau bisa bilang aku kekanak-kanakkan. Ya, terserah.
***
Senja di sore itu masih sama seperti senja-senja
sebelumnya. Aku masih bisa menatapi langit yang mulai berwarna jingga. Pertanda
langit kan menjemput siang yang kemudian diganti dengan sang malam. Dari
tempatku termangu, kudengar suara sirine yang taka sing lagi bagiku. Itu pasti
Nia, pikirku.
“Syalom,” suara seorang wanita terdengar dari luar.
Ibuku datang dan segera menghampirinya.
“Syalom bu, Della,” jawab Mama.
Segera setelah
mendengar hal itu, aku tau itu adalah suara mama Nia, yang biasa aku panggil
tante di luar jam sekolah. Kuintip dari pintu kamarku, ia datang sendiri dengan
membawa bungkusan kecil. Tante Della memang sudah terbiasa berkunjung ke rumah,
apalagi semenjak ayah tiada. Begitu juga dengan Nia. Mereka teramat peduli pada
kami. Jujur saja, ada rasa syukur yang kupajatkan pada-Nya. Karena bagiku,
mereka cukup menghibur mama.
“Mana
Nisa, bu?” tanyanya.
“Ada
di kamar, bu. Dia sudah berminggu-minggu tidak gereja. Entahlah. Mungkin dia
masih trauma karena ayahnya sudah nggak ada,” tutur mama.
Mendengar
hal itu, air mataku spontan membasahi kedua belah pipiku yang mulai tirus dua bulan belakangan ini. Kubenamkan wajahku
pada kasur kesayanganku. Berharap bisa berjumpa dengannya. Ya, ayah. Akupun
terlelap.
***
“Kamu
kenapa, Nisa” tanya tante Della setelah selesai mengajar kelasku.
“Nggak
apa-apa kok tante,” jawabku singkat seraya melangkahkan kaki keluar kelas.
Sekilas,
kulihat dia menggelenggkan kepalanya 3 kali. Mungkin benar orang mulai
beranggapan sama tentangku bahwa aku sudah berubah. Bahwa aku bukanlah Nisa
yang dulu. Sekali lagi, terserah. Toh, hak mereka mengadili dan menilaiku
seperti apa. Hidupku ya hidupku, pikirku.
Dengan langkah gontai aku berjalan pelan menuju rumahku.
Kususuri jalan setapak yang memotong lurus kea rah rumahku. Hari-hariku masih
sama. Sama suramnya. Begitu hampa. Kau mau bilang aku berlebihan? Lagi-lagi ya
terserah, hatiku berbicara.
“Nisa, kok kamu nggak bareng aku pulangnya? Sorry, tadi
nggak nungguin kamu keluar dari kelass. Aku soalnya haus banget. Jadi ke kantin
dulu. Trus aku tadi nungguin kamu di depan gerbang sama supir baru mama,” kata
Nia panjang lebar.
“Oh, nggak apa-apa. Aku lagi malas pulang naik mobil
kamu,” cetusku.
Tak sadar perkataanku
barusan membuat Nia berdiam diri di tempatnya. Aku makin berlangkah lebih cepat
meningggalkannya. Lalu berlari seolah-olah rumahku hanyalah 100 meter lagi
jaraknya.
***
“Nanti kita ikut KKR yuk, Nisa” katanya diseberang sana.
Sudah 3 menit aku meladeninya lewat telepon
“Aku mau ngerjain PR aja, Nia. Maaf,” kataku. Selesai berkata demikian, kuputus telefon
begitu saja. Aku sedang tidak ingin diganggu. Ya, begitulah caraku menikmati
hidup sekarang.
Tak lama kemudian,
kudengar suara lembut mama memanggilku dari dapur.
“Nisa, yuk makan dulu.
Kamu pergi KKR kan?” tanyanya setengah berteriak dari dapur.
Aku hanya diam saja.
Bahkan sampai mama datang ke kamar. Aku masih diam saja.
“Nisa, kamu kenapa nak?
Kamu kenapa gini terus. Mama jadi sedih, Nisa,” katanya dengan mata yang mulai
berkaca-kaca”
Aku hanya diam saja,
tak ingin menjawab apa-apa. Benar.
“Kamu masih sedih
gara-gara nggak ada ayah?” tanyanya sambil memegangi pundakku.
“Dengar Nis, diluar
sana bukan cuma kamu yang ngalamin hal ini. Kan masih ada mama. Mama pasti jagain
kamu terus. Mama janji, nak,” lanjutnya.
Nafasku serasa tertahan
dikerongkongan mulutku. Mama… gumamku dalam hati.
“Sudah beberapa minggu
terakhir kamu suka bolos untuk gereja. Mama juga tau, bahkan setelah 1 bulan
papa meninggal. Waktu kamu bilang kamu mau gereja, kamu bohong kan? Kamu
kemana, Nisa? Mama sengaja nggak nanyain ini sama kamu karena mama pikir kamu
bakalan bilang hal yang jujur sama mama,” katanya lagi sambil berlinangan air
mata.
“Aku ke kuburan ayah,
Ma. Aku rindu kita bisa gereja bareng-bareng lagi. Aku rindu jalan-jalan
sama-sama lagi. Aku iri sama mereka yang masih punya orang tua yang lengkap,
Ma. Aku belum siap kalau ayah dipanggil Tuhan. Nisa nggak siap, Ma”
Oh, Tuhan. Sungguh, rasanya aku tak sanggup melihat mama
menangis karena kenakalanku. Segera saja kutinggalkan dia sendiri di kamarku.
Rasanya ingin sekali kupeluk dia, rasanya aku ingin minta maaf padanya. Tapi, aku
tak tau apa yang harus kulakukan. Segera saja kularikan tubuhku ke tempat
pembaringan ayah yang terakhir. Aku sudah mulai nggak kuat sendiri tanpa
sosoknya.
***
Kupandangi
pusaranya yang masih tampak baru. Kuperhatikan tiap detail nisannya. Tak tahan
lagi, segera kupeluk nisannya itu. Aku menangis sejadi-jadinya. Lalu berdoa
setelahnya.
Sekembalinya aku dari pemakaman, kulihat ibu sudah di
kamar. Aku merasa ada yang aneh dengannya. Terlebih fisiknya. Ia seperti tampak
lelah yang teramat sangat. Tapi, sudahlah. Tak ingin aku menambah beban pikiran
lagi. Aku pun pergi melayangkan pandangan ke kamar dan masuk ke dalamnya.
***
“Kamu yang ngaduin aku
sama mama? Kamu yang bilang aku nggak gereja waktu itu? Oh, gitu” kataku dengan
seringai yang cukup lebar.
“Aku nggak negrti,
Nisa” kata Nia dengan nada yang terkejut.
“Ah, sudahlah. Dasar
muka dua. Percuma, bagus di luar doing, aslinya sih. Busuk. Sekali lagi ya,
busuk!” kataku dengan penuh amarah.
Kutinggalkan dia di
kelas sendirian dengan wajah penuh tanda tanya.
***
Tiba
di rumah, kudapati pintu rumahku terbuka lebar. Aku bingung. Tiba-tiba handphone ku pun berdering nyaring tanda
panggilan masuk. Ternyata dari tante Della.
“Hallo,” ujarku.
“Nisa, tante di rumah
sakit sekarang. Mama kamu sudah di rumah sakit. Beliau di diagnosis terkena
kanker, nak. Nia nanti ke rumah buat jemput kamu, tunggu ya!”
Mendengar hal itu,
lututku goyah.
“Mama,” kataku pelan.
.
***
“Mama, mama sudah
sadar?” kataku sambil memegangi jemarinya yang lemah.
Mama hanya tersenyum
memandangiku.
“Mama kok nggak cerita
kena kanker? Stadium 2 lagi” ujarku sambil mencubiti lemah lengannya.
Dia kembali tersenyum.
“Maafin Nisa, Ma. Ini
pasti gara-gara Nisa. Mama sering masakin masakan enak buat Nisa supaya Nisa
mau makan. Padahal mama sendiri bela-belain nggak makan. Mama juga suka
nungguin Nisa sampai pulang buat ngechek apa Nisa makan masakan mama apa
enggak” kataku sambil terbata-bata.
“Nisa aja yang sakit,
Ma. Nisa nggak kuat liat mama kegini,” lanjutku dengan berlinangan air mata.
“Hidup dan mati itu
ditangan Tuhan, nak. Sebisanya mama pasti bakalan coba buat bertahan. Mama kan
udah janji mau jagain Nisa,” katanya lemah.
Kupeluk tubuhnya sekuat
mungkin. Aku menyayanginya. Sungguh.
Mulai sekarang, tak kan
lagi kukecewakan Dia. Tak kan lagi kukecewakan mama. Tak kan lagi kukecewakan
ayah di surga sana. Ya, itu janjiku.
***
Tiga
bulan berselang. Semua terasa menyenangkan. Mama sudah sehat seperti sedia
kala. Nisa yang dulu kukenal kembali seperti Nisa yang sebagaimana mestinya.
Mujizat
itu nyata. Benar-benar nyata.
“Terimakasih Tuhan. Aku
mencintai mereka. Ayah, mama, orang-orang terkasih lainnya. Terutama Engkau. Aku tau ya Bapa, hidup dan matiku, hidup dan
mati mereka hanya ditangan-Mu. Kau sungguh luar biasa. Amin.”
Selesai
berdoa di bangku gereja paling depan, kugamit lengan mama dengan manja. Aku Kuliat
wajah mama begitu damai menenagkan. Ia tampak begitu bahagia. Begitu juga aku.
Aku bahagia.
Love
Melva
karya melva sari simangunsong
Masukkan Komentar di bawah