Hama kelapa sawit dan teknik pengendaliannya
1.
Babi Hutan
Babi hutan merupakan jenis hama mamalia penting pada perkebunan kelapa
sawit. Sebenarnya satwa ini bukanlah merupakan penghuni tetap pada ekosistim
perkebunan kelapa sawit. Kerusakan yang ditimbulkannya pada kelapa sawit hanya
merupakan efek sekunder dari kehadirannya pada kebun sawit. Mereka adalah salah
satu penghuni tetap hutan. Habitatnya meliputi kisaran geografis yang sangat
beragam, pada hampir semua ekosistim, mulai dari padang alang-alang, semak
belukar, hutan sekunder, hutan payau, hingga hutan pegunungan.
Jenis babi
hutan yang umum dijumpai merusak tanaman kelapa sawit adalah Sus scrofa
vittatus. Jenis lain adalah Sus barbatus atau babi janggut, tetapi
jarang dijumpai (Sipayung, 1992). Kedua spesies tersebut dilaporkan dijumpai di
Sumatera dan Kalimantan. S. s. vittatus mempunyai garis putih di
moncongnya, anak-anaknya berwarna coklat bergaris-garis terang, sedangkan S.
barbatus berwarna agak muda, kepalanya lebih panjang dan berambut panjang
tegak di sekeliling kepalanya. Di Jawa dan Sulawesi dijumpai Sus verrucosus
yang berukuran lebih besar dan mempunyai taring panjang di kepalanya dan
badannya tidak berbelang (Sudharto dan Desmier de Chenon, 1997).
Gambar 1. Babi hutan
Babi hutan
terutama menyerang tanaman kelapa sawit yang masih muda atau yang baru ditanam,
karena mereka menyukai umbutnya yang lunak. Timbulnya serangan babi hutan pada
tanaman kelapa sawit tidak semata-mata karena populasinya yang tinggi di
habitatnya dalam hutan yang berdekatan, tetapi erat hubungannya dengan sifat
satwa liar ini yang rakus. Selain memakan umbut mereka juga memakan buah sawit
yang sudah membrondol di tanah, dan tandan buah di pohon yang masih terjangkau.
Dilaporkan bahwa kematian tanaman muda akibat serangan babi hutan di Aceh
diperkirakan 15,8% (Sipayung, 1992). Sebagai gambaran kerusakan tanaman kelapa
sawit yang diakibatkan serangan babi hutan di beberapa daerah pengembangan
disajikan pada Tabel 1. Selain itu, serangannya juga menyebabkan kerusakan pada
perakaran terutama terhadap akar-akar makan (feeding roots) di sekitar
piringan pohon, sehingga dapat menghambat penyerapan air dan hara dari tanah
dan mendorong timbulnya penyakit akar.
Salah satu
komponen habitat yang diperlukan oleh babi hutan adalah air dan lumpur, yang
digunakan sebagai tempat berkubang. Aktivitas berkubang tertinggi terjadi pada
jam 11.00 – 13.00, dan frekuensi aktivitas mencari makan tertinggi terjadi pada
jam 05.00 – 07.00 dan 16.00 – 18.00. Daya jangkau terjauh dari serangan babi
hutan terhadap perkebunan kelapa sawit adalah 693 m dari tepi hutan dengan
rata-rata 522 m (Sipayung, 1992).
Babi hutan
jantan dewasa biasanya bergerak dan mencari makan sendiri (soliter), sedangkan
yang betina hidup bersama dengan anak-anaknya dalam kelompok 4-50 ekor. Musim
kawin ditandai dengan bergabungnya babi hutan jantan dewasa dengan kelompok
betina. Seekor babi hutan betina dapat
beranak sampai 12 ekor dengan masa bunting 110 hari. Induk babi tersebut dapat
beranak lagi setelah 7-8 bulan setelah masa beranak sebelumnya (Sudharto dan
Desmier de Chenon, 1997). Mereka menggunakan suaranya untuk berkomunikasi,
termasuk untuk memperingatkan adanya bahaya (alarm call) yang mengancam.
2.
Gajah
Harus disadari bahwa gajah tidak termasuk hama utama
kelapa sawit, karena hewan ini termasuk salah satu satwa dilindungi oleh
Undang-undang Pelestarian Alam. Masalah yang utama sebenarnya adalah
berkurangnya daya dukung hutan sebagai habitat gajah akibat pembukaan hutan
menjadi lahan perkebunan, perladangan dan pemukiman.
Gajah merusak tanaman kelapa sawit
dengan cara mencabut bonggol dan memakan umbut kelapa sawit. Gajah menjadi hama
karena habitatnya sudah terdesak oleh perkebunan kelapa sawit sehingga gajah
sering merusak tanaman kelapa sawit di daerah Riau, Jambi, Sumatera Selatan,
dan Bengkulu. Pengendalian gajah termasuk sulit karena hewan ini termasuk yang
dilindungi. Pengendalian yang sering dilakukan adalah dengan membangun parit
isolasi sedalam 3 meter dengan lebar 2,5 meter yang mengelilingi kebun, dan
membuat kawat beraliran listrik (electric fencing) dengan voltase rendah.
Upaya melindungi tanaman kelapa
sawit terhadap serangan gajah adalah dengan menghalau gajah sehingga tidak
memasuki areal perkebunan. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara
(Sudharto dan Desmier de Chanon 1997; Purba, 2004; Susanto dan Purba,2005) sebagai
berikut:
- Menggunakan electric-fence dengan ketinggian kawat teratas 1,5 m, dengan 4 kawat, sekaligus untuk mencegah babi hutan. Cara ini efektif jika dibarengi dengan membuat barier terbuka tanpa pohon selebar 7,5 – 10 m antara kawat dan tepi hutan, mengikuti sepanjang jalur kawat. Listrik dengan tegangan 50 – 100 volt diaktifkan mulai jam 17.00 hingga 06.00. Cara ini cukup efektif menghalau gajah dan babi hutan di kebun percobaan PPKS di Padang Mandarsah.
- Membangun parit isolasi selebar 3 m dan dalamnya 2,5 m di sepanjang perbatasan areal kebun dengan hutan. Tanah galian ditempatkan di bagian dalam kebun. Kegiatan ini dapat dilakukan menggunakan alat berat seperti back hoe atau ekskavator. Hasil yang lebih baik jika cara ini dikombinasikan dengan cara a di atas.
- Menggunakan gajah terlatih dengan pawangnya untuk menghalau gajah liar, dan mengiringnya kembali ke habitatnya di hutan lindung. Cara ini telah dilakukan dengan hasil baik dalam Operasi Ganesha di Lampung/Sumatera Selatan beberapa tahun yang lalu.
- Menembak dengan peluru bius, selanjutnya gajah dipindahkan ke habitat atau ke penangkarannya.
- Memasang api unggun pada malam hari pada beberapa titik dengan jarak tertentu di tepi areal tanaman yang berbatasan dengan hutan.
Cara-cara tersebut efektif, namun memerlukan biaya cukup besar. Cara
terbaik adalah menyediakan kawasan hutan yang cukup dan
mengembalikan-meningkatkan daya dukungnya mendekati keadaan semula. Dalam hal
ini, peraturan perundang-undangan yang baik dapat berhasil guna jika dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
3.
Kumbang Malam
Apogonia berwarna hitam polos, panjangnya 1,2 cm,
tidak berbulu, merupakan hama umum di pembibitan kelapa sawit. Kumbang memakan
daun dari tepi anak-anak daun, menyerang terutama pada jam-jam awal malam hari.
Pada siang hari kumbang bersembunyi 1-2 cm di bawah permukaan tanah. Tingkat
populasi kritis 15 kumbang per bibit. Pengendaliannya dengan mencari di tanah
di dalam atau di luar polibeg bibit, penaburan insektisida granuler sebanyak
4-5 g/bibit/bulan, atau penyemprotan dengan insektisida pada malam hari.
4. Kumbang Tanduk
Kumbang tanduk (Oryctes
rhinoceros (L)) diklasifikasikan ke dalam ordo Coleoptera, famili
Scarabidae dan subfamili Dynastinae. Kumbang ini merupakan hama utama yang
menyerang kelapa sawit dan sangat merugikan di Indonesia, khususnya di areal replanting
yang saat ini sedang dilakukan secara besar-besaran di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena pada areal replanting, banyak tumpukan bahan organik
yang sedang mengalami proses pembusukan sebagai tempat berkembang biak hama
ini.
Siklus Hidup
Siklus hidup
kumbang tanduk bervariasi tergantung pada habitat dan kondisi lingkungannya.
Musim kemarau yang panjang dengan jumlah makanan yang sedikit akan memperlambat
perkembangan larva serta ukuran dewasa yang lebih kecil dari ukuran normal.
Suhu perkembangan larva yang sesuai adalah 27oC-29oC
dengan kelembapan relatif 85-95% (Bedford, 1980). Satu siklus hidup hama ini
dari telur sampai dewasa sekitar 6-9 bulan.
Kumbang ini
mempunyai telur yang berwarna putih kekuningan dengan diameter 3 mm. Bentuk
telur biasanya oval kemudian mulai membengkak sekitar satu minggu setelah
peletakan dan menetas pada umur 8-12 hari. Stadia larva terdiri atas 3 instar,
dan berlangsung dalam waktu 82-207 hari. Larva
berwarna putih kekuningan, berbentuk silinder, gemuk dan berkerut-kerut,
melengkung membentuk setengah lingkaran dengan panjang sekitar 60-100 mm atau
lebih (Ooi, 1988). Prepupa terlihat menyerupai
larva, hanya saja lebih kecil dari larva instar terakhir dan menjadi berkerut
serta aktif bergerak ketika diganggu. Lama stadia prepupa berlangsung 8-13
hari. Pupa berwarna cokelat kekuningan, berukuran sampai 50 mm dengan waktu
17-28 hari. Kumbang berwarna cokelat gelap sampai hitam, mengkilap, panjang
35-50 mm dan lebar 20-23 mm dengan satu tanduk yang menonjol pada bagian kepala
(Wood, 1968). Jantan memiliki tanduk yang lebih panjang dari betina sedangkan
betina mempunyai banyak rambut pada ujung ruas terakhir abdomen dan jantan tidak
(Wood, 1968). Umur betina lebih panjang dari umur jantan.
Biologi dan
Ekologi
Kumbang akan
meletakkan telur pada sisa-sisa bahan organik yang telah melapuk. Misalnya
batang kelapa sawit yang masih berdiri dan telah melapuk, rumpukan batang
kelapa sawit, batang kelapa sawit yang telah dicacah, serbuk gergaji,
tunggul-tunggul karet serta tumpukan tandan kosong kelapa sawit (Dhileepan,
1988). Adanya tanaman kacangan penutup tanah akan menghalangi pergerakan
kumbang dalam menemukan tempat berkembang biak. Liew dan Sulaiman (1993)
mengamati bahwa tanaman penutup tanah setinggi 0,6-0,8 m mengurangi
perkembangbiakan kumbang tanduk.
Batang
kelapa sawit yang diracun dan masih berdiri sampai pembusukan pada sistem underplanting
merupakan tempat berkembangbiak yang paling baik bagi kumbang tanduk. Selama
lebih dari 2 tahun masa dekomposisi, batang yang masih berdiri memberikan
perkembangbiakan 39.000 larva perhektar dibandingkan dengan batang yang telah
dicacah dan dibakar (500 larva perhektar) (Samsudin et al., 1993).
Kerusakan
Dan Pengaruhnya Di Lapangan
Kumbang O. rhinoceros
menyerang tanaman kelapa sawit yang baru ditanam di lapangan sampai berumur 2,5
tahun. Kumbang ini jarang sekali dijumpai menyerang kelapa sawit yang sudah
menghasilkan (TM). Namun demikian, dengan dilakukannya pemberian mulsa tandan
kosong kelapa sawit (TKS) yang lebih dari satu lapis, maka masalah hama ini
sekarang juga dijumpai pada areal TM.
Pada areal replanting
kelapa sawit, serangan kumbang dapat mengakibatkan tertundanya masa berproduksi
sampai satu tahun, dan tanaman yang mati dapat mencapai 25%. Masalah kumbang
tanduk saat ini semakin bertambah dengan adanya aplikasi tandan kosong kelapa
sawit pada gawangan maupun pada sistem lubang tanam besar. Aplikasi mulsa
tandan kosong sawit (TKS) yang kurang tepat dapat mengakibatkan timbulnya
masalah kumbang tanduk di areal kelapa sawit tua.
Kumbang
terbang dari tempat persembunyiannya menjelang senja sampai agak malam (sampai
dengan jam 21.00 WIB), dan jarang dijumpai pada waktu larut malam. Dari
pengalaman diketahui bahwa kumbang banyak menyerang kelapa pada malam sebelum
turun hujan.
Makanan
kumbang dewasa adalah tajuk tanaman, dengan menggerek melalui pangkal batang
sampai pada titik tumbuh. Daun yang telah membuka memperlihatkan bentuk seperti
huruf V terbalik atau karakteristik potongan serrate (Sadakhatula dan
Ramachandran, 1990). Serangan yang berkali-kali pada tanaman dapat menyebabkan
kematian dan menjadi rentan masuknya kumbang Rhyncophorus bilineatus (Coleoptera:
Curculionidae) (Sivapragasam et al., 1990), juga bakteri ataupun jamur,
sehingga terjadi pembusukan yang berkelanjutan. Dalam keadaan seperti ini
tanaman mungkin menjadi mati atau terus hidup dengan gejala pertumbuhan yang
tidak normal. Tanaman dapat mengalami gerekan beberapa kali, sehingga walaupun
dapat bertahan hidup, pertumbuhannya terhambat dan mengakibatkan saat berproduksi
menjadi terlambat.
Pengendalian
Pengendalian
Biologi
Pengendalian kumbang tanduk O.
rhinoceros secara biologi menggunakan beberapa agensia hayati diantaranya
jamur Metarhizium anisopliae dan Baculovirus oryctes. Jamur M.
anisopliae merupakan jamur parasit yang telah lama digunakan untuk
mengendalikan hama O. rhinoceros. Jamur ini efektif menyebabkan kematian
pada stadia larva dengan gejala mumifikasi yang tampak 2-4 minggu setelah
aplikasi. Jamur diaplikasikan dengan menaburkan 20 g/m2 (dalam
medium jagung) pada tumpukan tandan kosong kelapa sawit dan 1 kg/batang kelapa
sawit yang telah ditumbang. Baculovirus oryctes juga efektif
mengendalikan larva maupun kumbang O. rhinoceros.
Pengendalian Kimia
Pengendalian menggunakan insektisida
kimia masih banyak dilakukan. Insektisida kimia yang dahulu efektif di lapangan
adalah organoklorin. Karena toksisisitas organoklorin yang tinggi, maka
insektisida tersebut diganti dengan karbofuran yang penggunaannya pada interval
4-6 minggu untuk mengendalikan kumbang dewasa.
Chung et al. (1993) mencatat
beberapa jenis insektisida yang digunakan untuk mengendalikan kumbang di
pembibitan maupun stadia TBM kelapa sawit. Insektisida tersebut adalah lambda
sihalothrin, sipermetrin, venvalerate, monocrotophos dan chorphyrifos yang
secara signifikan mengurangi kerusakan O. rhinoceros setelah 11 minggu.
Insektisida kimia yang paling efektif untuk mengurangi kerusakan adalah lambda
sihalothrin. Ho (1996) melaporkan bahwa dengan populasi hama yang tinggi,
karbofuran semakin lama semakin tidak efektif.
Perangkap Feromon.
Upaya terkini dalam mengendalikan
kumbang tanduk adalah penggunaan perangkap feromon. Pusat Penelitian Kelapa
Sawit (PPKS) saat ini telah berhasil mensintesa feromon agregat untuk menarik
kumbang jantan maupun betina. Feromon agregat iniberguna sebagai alat kendali
populasi hama dan sebagai perangkap massal. Rekomendasi untuk perangkap massal
adalah meletakkan satu perangkap untuk 2 hektar (Chung, 1997). Pada harga
komersial Rp. 60.000,- per sachet, penggunaan feromon lebih menghemat dibanding
dengan karbofuran dan manual sekitar Rp. 117.200,-/ha/tahun. Pada populasi
kumbang yang tinggi, aplikasi feromon diterapkan satu perangkap untuk satu
hektar.
Pemerangkapan kumbang O. rhinoceros
dengan menggunakan ferotrap terdiri atas satu kantong feromon sintetik (Etil-4
metil oktanoate) yang digantungkan dalam ember plastik kapasitas 12 l.
Tutup ember plastik diletakkan terbalik dan dilubangi 5 buah dengan diameter 55
mm. Pada dasar ember plastik dibuat 5 lubang dengan diameter 2 mm untuk
pembuangan air hujan. Ferotrap tersebut kemudian digantungkan pada tiang kayu
setinggi 4 m dan dipasang di dalam areal kelapa sawit. Selain ember plastik
dapat juga digunakan perangkap PVC diameter 10 cm, panjang 2 m. Satu kantong
feromon sintetik dapat digunakan selama 2-3 bulan. Setiap dua minggu dilakukan
pengumpulan kumbang yang terperangkap dan dibunuh.
Keefektifannya dapat menjadi lebih
tinggi apabila tindakan pengendalian juga dilakukan seperti:
·
Penanaman tanaman kacangan penutup tanah pada waktu replanting.
·
Pengumpulan kumbang secara manual dari lubang gerekan pada kelapa
sawit, dengan menggunakan alat kait dari kawat. Tindakan ini dilakukan tiap
bulan apabila populasi kumbang 3-5 ekor/ha, setiap 2 minggu jika populasi
kumbang mencapai 5-10 ekor, dan setiap minggu pada populasi kumbang lebih dari
10 ekor.
·
Penghancuran tempat peletakkan telur secara manual dan dilanjutkan
dengan pengumpulan larva untuk dibunuh, apabila jumlahnya masih terbatas.
·
Pemberantasan secara kimiawi dengan menaburkan insektisida butiran Karbosulfan
sebanyak (0,05-0,10 g bahan aktif per pohon, setiap 1-2 minggu) atau 3 butir
kapur barus/ pohon, setiap 1-2 kali/bulan pada pucuk kelapa sawit.
·
Larva O. rhinoceros pada mulsa TKS di areal TM dapat dikendalikan dengan
menaburkan biakan murni jamur Metarrhizium anisopliae sebanyak 20 g/m2.
Gambar.
Pemasangan perangkap feromon di areal replanting
5.
Landak
Landak merupakan salah satu hama perkebunan kelapa sawit khususnya di
daerah pengembangan. Pakan dari landak adalah umbi-umbian, kangkung, dan
beberapa tanaman yang berbatang lunak lainnya termasuk kelapa sawit muda.
Hama ini merusak tanaman kelapa sawit muda dengan cara mengerat pangkal
batang dan memakan jaringan umbut kelapa sawit tersebut. Apabila bagian tanaman
kelapa sawit yang terserang sangat berat dapat mengakibatkan kematian
tanaman.Landak aktif pada malam hari dan bersembunyi di dalam lorong-lorong di
dalam tanah. Pengendalian hama ini dilakukan seperti mengendalikan babi hutan
sekaligus yaitu dengan pemagaran tanaman kelapa sawit secara individual
misalnya dengan pelepah kelapa sawit sebanyak tiga tingkat.
6.
Ulat Tandan
Serangga Tirathaba
mundella dan T. rufivena dikenal sebagai hama penggerek tandan buah
kelapa sawit baik di Indonesia maupun di Malaysia. Pada umumnya hama ini
dijumpai terutama pada areal dengan tandan buah dengan fruitset rendah atau
terlewat dipanen (Wood & Ng 1974), karena sebagai makanan hama ini. Tirathaba
mundella ini biasanya mulai dijumpai di suatu areal kelapa sawit pada saat
tanaman sudah mengeluarkan bunga. Pembentukan bunga yang terjadi secara
terus-menerus merupakan salah satu faktor pendorong perkembangan populasi hama
ini.
Pada saat
istirahat ngengat berbentuk segitiga dan berwarna kehijauan untuk T.
mundella atau putih keabuan untuk T. rufivena. Rentangan sayapnya
berkisar antara 20-25 mm. Ngengat tersebut aktif pada sore menjelang malam hari
(Sudharto 2004).
Biasanya
telur diletakkan pada tandan buah betina yang sudah mulai membuka seludangnya,
meskipun dapat juga dijiumpai pada semua tingkat umur tandan buah. Telur akan
menetas dalam waktu sekitar 4 hari.
Larva
biasanya dijumpai pada bunga betina, bunga jantan dan tandan buah. Larva muda
berwarna putih kotor, sedangkan larva dewasa berwarna coklat muda sampai coklat
tua. Larva tua panjangnya 4 cm dan ditumbuhi dengan rambut-rambut panjang yang
jarang. Larva tersebut memakan putik bunga dan daging buah kelapa sawit. Stadia
ulat berlangsung selama 16-21 hari atau antara 2-3 minggu yang terdiri dari 5
instar. Menjelang berkepompong larva membentuk kokon dari sisa gerekan dan kotorannya
yang direkat dengan benang liur pada tandan buah yang diserang.
Pupa
kemudian berubah menjadi imago. Pada sayap depan imago terdapat bercak kecil
berwarna hijau, sedangkan pada bagian belakang sayap terdapat
bercak berwarna coklat muda kekuningan. Imago betina mempunyai ukuran
sayap lebih besar yaitu 24mm, sedangkan imago jantan ukuran sayapnya lebih
kecil dari 24mm. Pupa berwarna coklat gelap dan stadia pupa berlangsung sekitar
5-10 hari atau sekitar 1,5 minggu, sedangkan stadia imago berlangsung selama
9-12 hari sehingga total siklus hidupnya adalah lebih kurang 1 bulan (Chan
1973; Hartely 1979; Wood & Ng 1974). Dari semua stadia ini yang merusak
adalah stadia ulat atau larvanya.
Gejala dan
Kerusakan
Tirathaba mundella
banyak menyerang tanaman kelapa sawit muda berumur 3-4 tahunan (Basri et al
1991), tetapi pada kondisi tertentu juga ditemui pada tanaman tua.. Gejala
serangannya berupa bekas gerekan yang ditemukan pada permukaan buah dan bunga.
Bekas gerekan tersebut berupa faeces dan serat tanaman. Larva T.
mundella dan T. rufivena dapat memakan bunga jantan maupun bunga
betina. Larva menggerek bunga betina, mulai dari bunga yang seludangnya baru
membuka sampai dengan buah matang. Bunga yang terserang akan gugur dan apabila
ulat menggerek buah kelapa sawit yang baru terbentuk sampai ke bagian inti maka
buah tersebut akan rontok (aborsi) atau berkembang tanpa inti. Akibatnya
fruitset buah sangat rendah akibat hama ini. Buah muda dan buah matang biasanya
digerek pada bagian luarnya sehingga akan meninggalkan cacat sampai buah
dipanen atau juga menggerek sampai inti buahnya. Sisa gerekan dan kotoran yang
terekat oleh benang-banang liur larva akan menempel pada permukaan tandan buah
sehingga kelihatan kusam.
Pada serangan baru, bekas gerekan masih berwarna merah
muda dan larva masih aktif di dalamnya. Sedangkan pada serangan lama, bekas
gerek berwarna kehitaman dan larva sudah tidak aktif karena larva telah berubah
menjadi kepompong. Serangan hama ini dapat menyebabkan buah aborsi.
7. Rayap
Rayap pekerja jenis ini biasanya merusak akar, batang dan pangkal pupus
terutama pada tanaman muda di lahan gambut. Rayap pekerja berwarna putih,
panjangnya 5 mm. Rayap tentara panjangnya 6-8 mm, memiliki kepala besar dan
rahang yang kuat. Ratu dapat mencapai panjang 50 mm. Jenis ini bersarang pada
kayu busuk di dalam tanah. Lorong-lorong kembara berupa kanal-kanal terbuat
dari tanah dan lapukan serat kayu, mudah dijumpai pada dinding-dinding batang
dan pelepah, berwarna cokelat agak lembab.
Pengendaliannya biasanya dengan termitisida. Jenis yang lain adalah Macrotermes
gilvus (Hagen), tidak merusak jaringan hidup, tetapi sering membuat sarang
berupa gundukan tanah di piringan pohon.
8.
Tikus
Ada 4
spesies tikus ditemukan pada pertanaman kelapa sawit, yaitu tikus
rumah Rattus rattus. diardii, tikus padang R.
r. exulans, tikus sawah R. r. argentiventer, dan yang
dominan dan paling merugikan adalah R. r. tiomanicus atau tikus belukar.
Tikus R.r. argentiventer kerap menyerang kelapa sawit pada kebun-kebun
yang berbatasan dengan persawahan, terutama sawah yang telah selesai dipanen.
Jadi tikus jenis ini bermigrasi sementara ke kebun sawit, yaitu ketika di sawah
tidak tersedia makanan yang cukup.
Tikus R.r.
tiomanicus berwarna keabu-abuan hingga coklat kemerahan, bagian bawah
perutnya putih hingga abu-abu terang. Panjang kepala dan badan 15-20 cm, dengan
ekor sedikit lebih panjang daripada badan. Puting susunya 10 buah, 2 pasang di
dada dan 3 pasang di bagian perut. Tikus ini menjadi dewasa setelah berumur 3-4
bulan, dan akan melahirkan anak tiap 2 bulan. Jumlah anaknya dapat mencapai 10
ekor tiap kali melahirkan, tetapi biasanya 3-8 ekor. Seekor tikus betina dapat
menghasilkan keturunan sebanyak 500 ekor selama hidupnya.
Tikus
bersarang di pohon atau pada tumpukan kayuan atau dedaunan kering di atas
tanah. Tikus memakan buah mentah dan matang, atau mengerat bagian pangkal
pelepah pada TBM, sehingga dapat mematikan tanaman muda. Kematian tanaman muda
akibat serangan tikus dapat mencapai 20%, sehingga harus dilakukan penyisipan
yang memerlukan tambahan biaya bibit dan tenaga kerja, serta menyebabkan tertundanya
masa panen. Perkembangan populasi tikus sangat dipengaruhi oleh tersedianya
makanan, yaitu karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin dan air.
Kehilangan produksi pada TM akibat serangan tikus dapat mencapai 1.363,8 kg
minyak mentah sawit/ha/tahun (Sudharto dan Desmier de Chenon, 1997). Kehilangan
produksi ini belum termasuk brondolan yang dibawa tikus ke dalam sarang dan
tumpukan-tumpukan pelepah di gawangan. Selain itu, perlukaan buah akibat
keratan tikus dapat meningkatkan kadar asam lemak bebas dalam minyak sawit,
serta mendorong berkembangnya jamur-jamur saprofitik yang selanjutnya akan
membusukkan buah dan tandan di pohon.
Hasil
penelitian pada perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara menunjukkan bahwa
luas wilayah jelajah R. r. tiomanicus jantan dan betina tidak berbeda
nyata, berturut-turut adalah 234 m dan 229,5 m, dan daya jelajahnya adalah
11,35 m/hari dan 10,35 m/hari (Thohari, et al., 1989).
9.
Ulat Api
Ulat api merupakan jenis ulat
pemakan daun kelapa sawit yang paling sering menimbulkan kerugian di perkebunan
kelapa sawit. Jenis-jenis ulat api yang paling banyak ditemukan adalah Setothosea
asigna, Setora nitens, Darna trima, Darna diducta dan Darna
bradleyi. Jenis yang jarang ditemukan adalah Thosea vestusa, Thosea
bisura, Susica pallida dan Birthamula chara (Norman dan Basri,
1992). Jenis ulat api yang paling merusak di Indonesia akhir-akhir ini adalah S.
asigna, S. nitens dan D. trima.
Siklus Hidup
Siklus hidup masing-masing spesies ulat api berbeda. S. asigna mempunyai
siklus hidup 106-138 hari (Hartley, 1979). Telur berwarna kuning kehijauan,
berbentuk oval, sangat tipis dan transparan. Telur diletakkan berderet 3-4
baris sejajar dengan permukaan daun sebelah bawah, biasanya pada pelepah daun
ke 6-17. Satu tumpukan telur berisi sekitar 44 butir dan seekor ngengat betina
mampu menghasilkan telur 300-400 butir. Telur menetes 4-8 hari setelah
diletakkan. Ulat berwarna hijau kekuningan dengan bercak-bercak yang khas di
bagian punggungnya. Selain itu di bagian punggung juga dijumpai duri-duri yang
kokoh. Ulat instar terakhir (instar ke-9) berukuran panjang 36 mm dan lebar
14,5 mm. Stadia ulat ini berlangsung selama 49-50,3 hari. Ulat berkepompong
pada permukaan tanah yang relatif gembur di sekitar piringan atau pangkal
batang kelapa sawit. Kepompong diselubungi oleh kokon yang terbuat dari air
liur ulat, berbentuk bulat telur dan berwarna coklat gelap. Kokon jantan
dan betina masing-masing berukuran 16 x 13 mm dan 20 x 16,5 mm. Stadia
kepompong berlangsung selama ± 39,7 hari.
Serangga dewasa (ngengat) jantan dan betina masing-masing lebar rentangan
sayapnya 41 mm dan 51 mm. Sayap depan berwarna coklat tua dengan garis
transparan dan bintik-bintik gelap, sedangkan sayap belakang berwarna coklat
muda.
Setora nitens memiliki siklus hidup yang lebih
pendek dari S. asigna yaitu 42 hari (Hartley, 1979). Telur hampir
sama dengan telur S. asigna hanya saja peletakan telur antara satu
sama lain tidak saling tindih. Telur menetas setelah 4-7 hari. Ulat mula-mula
berwarna hijau kekuningan kemudian hijau dan biasanya berubah menjadi kemerahan
menjelang masa kepompong. Ulat ini dicirikan dengan adanya satu garis membujur
di tengah punggung yang berwarna biru keunguan. Stadia ulat dan kepompong
masing-masing berlangsung sekitar 50 hari dan 17-27 hari. Ngengat mempunyai
lebar rentangan sayap sekitar 35 mm. Sayap depan berwarna coklat dengan
garis-garis yang berwarna lebih gelap.
Ulat api Darna trima mempunyai siklus hidup sekitar 60 hari
(Hartley, 1979). Telur bulat kecil, berukuran sekitar 1,4 mm, berwarna kuning
kehijauan dan diletakkan secara individual di permukaan bawah helaian daun
kelapa sawit. Seekor ngengat dapat meletakkan telur sebanyak 90-300 butir.
Telur menetas dalam waktu 3-4 hari. Ulat yang baru menetas berwarna putih
kekuningan kemudian menjadi coklat muda dengan bercak-bercak jingga, dan pada
akhir perkembangannya bagian punggung ulat berwarna coklat tua. Stadia ulat
berlangsung selama 26-33 hari. Menjelang berkepompong ulat membentuk kokon dari
air liurnya dan berkepompong di dalam kokon tersebut. Kokon berwarna coklat
tua, berbentuk oval, berukuran sekitar panjang 5 mm dan lebar 3 mm. Lama stadia
kepompong sekitar 10-14 hari. Ngengat berwarna coklat gelap dengan lebar
rentangan sayap sekitar 18 mm. Sayap depan berwarna coklat gelap, dengan
sebuah bintik kuning dan empat garis hitam. Sayap belakang berwarna abu-abu
tua.
Biologi dan Ekologi
Ulat yang baru menetas hidup berkelompok, mengikis daging daun dari
permukaan bawah dan meninggalkan epidermis bagian atas permukaan daun. Pada
instar 2-3 ulat memakan daun mulai dari ujung ke arah bagian pangkal daun.
Untuk S. asigna, selama perkembangannya, ulat berganti kulit 7-8 kali
dan mampu menghabiskan helaian daun seluas 400 cm². Perilaku S. nitens sama dengan S. asigna. Untuk D.
trima, ulat mengikis daging daun dari permukaan bawah dan menyisakan
epidermis daun bagian atas, sehingga akhirnya daun yang terserang berat akan
mati kering seperti bekas terbakar. Ulat menyukai daun kelapa sawit tua, tetapi
apabila daun-daun tua sudah habis ulat juga memakan daun-daun muda. Ngengat
aktif pada senja dan malam hari, sedangkan pada siang hari hinggap di
pelepah-pelepah daun tua dengan posisi terbalik (kepala di bawah). Pada D.
trima, di waktu siang hari, ngengat suka hinggap di daun-daun yang sudah
kering dengan posisi kepala di bawah dan sepintas seperti ulat kantong.
Perbedaan perilaku yang tampak antara ketiga jenis ulat api yang paling
merugikan tersebut juga berbeda. S. nitens dan S. asigna berpupa
pada permukaan tanah tetapi D. trima hanya di ketiak daun atau pelepah
daun. Pengetahuan mengenai biologi dan perilaku sangat penting ketika akan
menerapkan tindakan pengendalian hama sehingga efektif. Kokon dapat dijumpai
menempel pada helaian daun, di ketiak pelepah daun atau di permukaan tanah
sekitar pangkal batang dan piringan.
Kerusakan dan Pengaruhnya di Lapangan
Eksplosi hama ulat api telah dilaporkan pertama pada tahun 1976. Di
Malaysia, antara tahun 1981 dan 1990, terdapat 49 kali eksplosi
hama ulat api, sehingga rata-rata 5 kali setahun (Norman dan Basri, 1992).
Semua stadia tanaman rentan terhadap serangan ulat api seperti halnya ulat
kantong.
Pengendalian
Pengendalian Kimiawi
Dahulu, ulat api dapat dikendalikan menggunakan berbagai macam insekisida
dengan efektif. Insektisida tersebut adalah monocrotophos, dicrotophos,
phosmamidon, leptophos, quinalphos, endosulphan, aminocarb dan achepate
(Prathapan dan Badsun, 1979). Insektisida sistemik dapat digunakan untuk
injeksi batang, dan yang lain dapat disemprotkan. Namun sekarang, insektisida
ini jarang digunakan karena keefektifannya diragukan. Kemungkinan, hal ini
disebabkan bahwa populasi yang berkembang telah toleran terhadap bahan kimia
tersebut atau bahan kimia telah tidak mampu menyebar di dalam jaringan daun.
Insektisida yang paling banyak digunakan pada perkebunan kelapa sawit untuk
ulat api saat ini adalah deltametrin, profenofos dan lamda sihalothrin.
Pengendalian Hayati
Beberapa agens antagonis telah banyak digunakan untuk mengendalikan ulat
api. Agens antagonis tersebut adalah Bacillus thuringiensis, Cordyceps
militaris dan virus Multi-Nucleo Polyhydro Virus (MNPV). Wood et
al. (1977) menemukan bahwa B. thuringiensis efektif melawan S.
nitens, D. trima dan S. asigna dengan tingkat kematian 90% dalam 7 hari. Cordyceps
militaris telah ditemukan efektif memparasit pupa ulat api jenis S.
asigna dan S. nitens. Virus MNPV digunakan untuk mengendalikan larva
ulat api.
Selain mikrobia antagonis tersebut di atas, populasi ulat api dapat stabil
secara alami di lapangan oleh adanya musuh alami predator dan parasitoid.
Predator ulat api yang sering ditemukan adalah Eochantecona furcellata dan
Sycanus leucomesus. Sedangkan parasitoid ulat api adalah Trichogrammatoidea
thoseae, Brachimeria lasus, Spinaria spinator, Apanteles aluella, Chlorocryptus
purpuratus, Fornicia ceylonica, Systropus roepkei, Dolichogenidae metesae, dan
Chaetexorista javana. Parasitoid dapat diperbanyak dan dikonservasi di
perkebunan kelapa sawit dengan menyediakan makanan bagi imago parasitoid
tersebut seperti Turnera subulata, Turnera ulmifolia, Euphorbia
heterophylla, Cassia tora, Boreria lata dan Elephantopus tomentosus. Oleh
karena itu, tanaman-tanaman tersebut hendaknya tetap ditanam dan jangan
dimusnahkan. Tiong (1977) juga melaporkan bahwa adanya penutup tanah dapat
mengurangi populasi ulat api karena populasi musuh alami akan meningkat.
10. Ulat Bulu
Serangga hama yang lain yang terdapat pada
tanaman kelapa sawit adalah beberapa macam ulat bulu Dasychira inclusa, Amathusia phidippus,
Calliteara horsfielddii, Ambadra rafflesi, dan Pseudoresia desmierdechenoni. Ulat
ini masih tergolong hama minor di perkebunan kelapa sawit, tetapi akhir-akhir
ini pada beberapa tempat mulai menimbulkan serangan yang cukup serius.
11. Ulat
Kantung
Ulat kantong termasuk dalam famili Psychidae. Tujuh spesies yang pernah
ditemukan pada tanaman kelapa sawit adalah Metisa plana, Mahasena corbetti,
Cremastopsyche pendula, Brachycyttarus griseus, Manatha albipes,
Amatissa sp. dan Cryptothelea cardiophaga (Norman et al., 1995).
Jenis ulat kantong yang paling merugikan di perkebunan kelapa sawit adalah Metisa
plana dan Mahasena corbetti.
Siklus Hidup dan biologinya
Ciri khas ulat kantong adalah hidupnya di dalam sebuah bangunan mirip
kantong yang berasal dari potongan-potongan daun, tangkai bunga tanaman inang,
di sekitar daerah serangan (Norman et al., 1995). Ciri khas yang lain
yakni pada bagian tubuh dewasa betina kebanyakan spesies ulat kantong mereduksi
dan tidak mampu untuk terbang. Jantan memiliki sayap dan akan mencari betina
karena bau feromon yang dikeluarkan betina untuk menarik serangga jantan.
Stadia ulat M. plana terdiri atas 4-5 instar dan berlangsung sekitar
50 hari. Pada waktu berkepompong, kantong kelihatan halus permukaan luarnya,
berukuran panjang sekitar 15 mm dan menggantung seperti kait di permukaan bawah
daun. Stadia kepompong berlangsung selama 25 hari.
Ngengat M. plana betina dapat menghasilkan telur sebanyak 100-300
butir selama hidupnya. Telur menetas dalam waktu 18 hari. Ulat berukuran
lebih kecil dibandingkan dengan M. corbetti yakni pada akhir
perkembangannya dapat mencapai panjang sekitar 12 mm, dengan panjang kantong
15-17 mm.
Ngengat M. corbetti jantan bersayap normal dengan rentangan sayap
sekitar 30 mm dan berwarna coklat tua. Seekor ngengat M. corbetti betina
mampu menghasilkan telur antara 2.000-3.000 butir (Syed, 1978). Telur menetas
dalam waktu sekitar 16 hari. Ulat yang baru menetas sangat aktif dan
bergantungan dengan benang-benang liurnya, sehingga mudah menyebar dengan
bantuan angin, terbawa manusia atau binantang. Ulat sangat aktif makan sambil
membuat kantong dari potongan daun yang agak kasar atau kasar.
Selanjutnya ulat bergerak dan makan dengan hanya mengeluarkan kepala dan kaki
depannya dari dalam kantong. Ulat mula-mula berada pada permukaan atas daun,
tetapi setelah kantong semakin besar berpindah menggantung di bagian permukaan
bawah daun kelapa sawit. Pada akhir perkembangannya, ulat dapat mencapai
panjang 35 mm dengan panjang kantong sekitar 30-50 mm. Stadia ulat berlangsung
sekitar 80 hari. Ulat berkepompong di dalam kantong selama sekitar 30
hari, sehingga total siklus hidupnya adalah sekitar 126 hari.
Pengetahuan tentang siklus hidup secara utuh sangat berguna di dalam
managemen pengendalian hama ini. Dengan informasi ini, rantai terlemah dari
siklus hidupnya didapat sehingga akan membantu dalam menentukan waktu tindakan
pengendalian yang tepat. Informasi siklus hidup juga akan memberikan pemahaman
biologi yang lebih baik untuk pengelolaan hama.
Kerusakan dan Pengaruhnya Di Lapangan
Serangan ulat kantong ditandai dengan kenampakan tanaman tajuk tanaman yang
kering seperti terbakar. Basri (1993) menunjukkan bahwa kehilangan daun dapat
mencapai 46,6%. Tanaman pada semua umur rentan terhadap serangan ulat kantong,
tetapi lebih cenderung berbahaya terjadi pada tanaman dengan umur lebih dari 8
tahun. Keadaan ini mungkin ditimbulkan dari kemudahan penyebaran ulat kantong
pada tanaman yang lebih tua karena antar pelepah daun saling bersinggungan.
Pengendalian Biologi
Parasitoid
Parasitoid memiliki potensi untuk mengendlikan hama secara biologi.
Manipulasi lingkungan yang tepat untuk mengendalikan hama ini karena tindakan
ini akan memodifikasi lingkungan untuk kelangsungan hidup dan perkembangan
musuh alami.
Parasitoid primer dan sekunder, serta predator mempengaruhi populasi M.
plana. Diantara parasitoid primer, Goryhus bunoh, hidup paling lama
(47 hari) sedangkan hiperparasitoid yang hidup paling lama adalah P.
imbreus. Dolichogenidea metesae merupakan parasitoid paling penting (Basri et
al., 1995) yang berkembang baik pada tanaman Cassia cobanensis, termasuk
Asystasia intrusa, Crotalaria usaramoensis, dan Euphorbia
heterophylla. Kecuali A. intrusa, keberadaan tanaman ini akan
bermanfaat karena memberikan nektar untuk parasitoid.
Bacillus thuringiensis
Penggunaan Bacillus thuringiensis (Bt) sebagai insektisida biologi
mempunyai banyak keuntungan; toksisitasnya hanya pada serangga target, dan
umumnya tidak membahayakan musuh alami, manusia, ikan dan kehidupan lain.
Meskipun telah ada percobaan oleh beberapa kebun dalam menggunakan Bt untuk
pengendalian ulat kantong, tetapi hanya sedikit keberhasilannya.
Pengendalian Secara Kimiawi
Ulat kantong dapat dikendalikan dengan penyemprotan atau dengan injeksi
batang menggunakan insektisida. Untuk tanaman yang lebih muda (< umur
2 tahun), knapsack sprayer dapat digunakan untuk penyemprotan. Untuk
tanaman lebih dari 3 tahun, aplikasi insektisida dapat menggunakan fogging atau
injeksi batang. Monocrotophos dan methamidophos merupakan dua insektisida
sistemik yang direkomendasikan untuk injeksi batang (Hutauruk dan Sipayung,
1978). Karena bahan bakunya adalah bahan kimia yang sangat berbahaya, ijin
harus diperlukan dari Komisi Pestisida untuk tujuan dan cara aplikasi dan saat
ini sudah tidak dikeluarkan lagi.
Peluang Pengendalian Ke Depan
Keterbatasan insektisida kimiawi dan lambatnya pengendalian biologi ulat
kantong akan menyulitkan pengendalian apabila terjadi eksplosi hama secara
besar-besaran. Penggunaan perangkap feromon menjadi salah satu solusi yang
terbaik dalam mengendalikan hama ini. Imago yang tertangkap merupakan ngengat
jantan, dimana hanya yang jantan yang mampu terbang sedangkan betina tetap
berada di dalam kantongnya. Feromon ini merupakan senyawa kimia yang
diekstraksi dari ngengat betina. Penggunaan feromon ini akan sangat efektif
memutus siklus hidup hama. Hanya saja, keberadaannya saat ini belum ditemukan.
Masukkan Komentar di bawah