SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN URGENSINYA DALAM
PEMBANGUNAN NASIONAL
Oleh : Bambang Syaeful Hadi*)
ABSTRAK
Sistem pengolahan
data berkembang sangat cepat seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi komputer. Salah satu sistem
pengolahan data yang sangat popular di beberapa negara maju, khususnya dalam
bidang survei dan pemetaan adalah Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG adalah
system manual dan atau komputer yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan,
mengelola, dan menghasilkan informasi baru yang mempunyai rujukan spasial atau
geografis. SIG muncul sebagai jawaban atas sejumlah keterbatasan yang
dihasulkan dengan teknik kartografi manual. Kebutuhan terhadap informasi
spasial baru dengan pengolahan cepat dan dinamis mendorong para ahli untuk berkreasi
menciptakan SIG.
SIG berkembang
secara cepat bersamaan dengan laju perkembangan teknologi komputer. Komputer di
sini berfungsi untuk melakukan kerja kartografis dengan data manual yang telah
diubah menjadi data digital. Pekerjaan-pekerjaan tersebut meliputi : pemasukan
data, pengolahan data, manipulasi dan analisis data, dan keluaran data. Data
baik yang berwujud grafis maupun non grafis diubah menjadi file-file yang mudah
dimodifikasi, dapat dipanggil dengan cepat, dan dapat diamati secara visual. Data
tersebut dapat disimpan dalam bentuk file elektronik, display screen, dan hardcopy.
Data peta hasil pemrosesan dengan SIG jauh lebih akurat, simpel, tidak banyak
memakan tempat, awet, dan dinamis dibandingkan dengan peta konvensional.
Manfaat SIG dalam
rangka menunjang proses pembangunan nasional adalah menyajikan informasi
spasial baru untuk membantu penentuan kebijakan aspek fisik maupun non-fisik.
Data daerah yang berserakan baik yang berupa data tabel maupun data peta, yang
semula tidak bermanfaat dapat didayagunakan dengan cara mengaitkan dengan data
lain yang bereferensi geografis untuk kemudian ditumpangsusunkan (overlay), sehingga dapat diperoleh
informasi baru, dan bahkan dapat menjadi pedoman untuk pengambilan keputusan.
Apabila masing-masing daerah memiliki data yang tersusun dalam suatu basis data
peta, maka Indonesia akan mempunyai SIG
Nasional (SIGNAS) yang akan memudahkan pemerintah dalam membuat perencanaan
pembangunan, pemantauan, dan evaluasinya secara akurat. Informasi baru mengenai
potensi sumber daya lahan, agihan spasial mengenai kependudukan,
fasilitas-fasilitas umum, keuntungan dan kelemahan kondisi fisiografis akan
mudah diakses untuk kepentingan pembangunan.
A. Pendahuluan
Kemampuan
manusia untuk berkreasi dalam rangka mencapai kesejahteraan hidupnya berkembang
begitu cepat. Hasil proses kreasi ini dimanifestasikan dalam bentuk
berkembangpesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejarah telah mencatat
betapa manusia dalam berbagai cara berupaya untuk mencari alternatif pemikiran
dan peralatan (teknologi) dengan melakukan penelitian, eksplorasi, dan
penemuan-penemuan baru, sehingga lahirlah revolusi intelektual di Timur Tengah,
revolusi indusatri di Eropa, dilanjutkan dengan penjelajahan-penjelajahan
samudera/dunia, sampai pada penemuan terbesar abad XX yang berupa mesin
komputer. Komputer dan aplikasinya telah menjadi penemuan yang paling
berpengaruh terhadap perkembangan ilmu, teknologi lain, dan pola kehidupan
manusia.
Teknologi
berbasis komputer, kini telah merambah di hampir seluruh sisi kehidupan
manusia. Berbagai disiplin ilmu telah memanfaatkan teknologi ini untuk
mengembangkan teori-teori dan aplikasinya melalui berbagai macam sistem
informasi. Salah satu jenis sistem informasi yang sangat ini sangat popular,
khususnya dalam survei pemetaan adalah Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG
telah dimanfaatkan oleh berbagai instansi pemerintah maupun swasta untuk
keperluan perencanaan, pemantauan, hingga evaluasi hasil-hasil pembangunan. SIG
menjadi alat yang sangat berguna bagi peneliti, pengelola, pengambil keputusan
untuk membantu memecahkan permasalahan, menentukan pilihan atau membuat
kebijakan keruangan melalui metode analisis data peta dengan memanfaatkan
teknologi komputer.
B. Apakah SIG itu ?
Adalah suatu
hal yang tidak mudah untuk memberikan suatu definisi yang dapat memuaskan
berbagai kalangan, karena SIG banyak berkaitan dengan banyak disiplin ilmu,
seperti teknologi informasi, keteknikan, survei dan fotogrametri, kartografi,
sosioekonomi, dan geografi yang masing-masing memiliki sudut pandang yang
berbeda (Juppenlatz dan Xiaoping Tian, 1996). Oleh karenanya, definisi yang
mencakup keseluruhan aspek dan dapat diterima semua pihak secara memuaskan
sangat sulit untuk dirumuskan. Definisi yang ada hingga kini masih menurut
sudut pandang disiplin ilmunya masing-masing.
Pengertian
SIG secara luas adalah sistem manual dan atau komputer yang digunakan untuk
mengumpulkan, menyimpan, mengelola dan menghasilkan informasi yang mempunyai
rujukan spatial atau geografis. Banyak para ahli mencoba mendefinisikan SIG
secara lebih operasional, misal Burrough (1986) mengemukakan bahwa SIG adalah
seperangkat alat (tools) yang
bermanfaat untuk pengumpulkan, penyimpanan, pengambilan data yang dikehendaki,
pengubahan dan penayangan data keruangan yang berasal dari gejala nyata di
permukaan bumi. Arronof (1989) dalam bahasa yang lebih lugas mendefinikan SIG
sebagai suatu “sistem” berbasis komputer yang memberikan empat kemampuan untuk
menangani data bereferensi geografis, yakni pemasukan, pengelolaan atau
manajemen data (penyimpanan dan pengaktifan kembali), manipulasi dan analisis,
dan keluaran.
Dari
berbagai definisi tersebut dapat ditarik suatu benang merah bahwa di dalam SIG
tercermin adanya: (1) pemrosesan data spasial dalam bentuk digital (numeric)
yang mendasarkan pada kerja komputer yang mempunyai persyaratan tertentu ,
disamping data lainnya yang berupa data
atribut; (2) dinamisasi proses pemasukan, klasifikasi, analisis hingga keluaran
(hasil); (3) menghasilkan infirmasi baru.
C. Sejarah perkembangan
SIG
Embrio SIG
kehadirannya ditandai oleh munculnya ide dasar tentang sistem pencatatan atau
penggambaran peta dalam berbagai lembar secara seri dalam satu macam kerangka
peta dasar. Ide tersebut muncul dalam sistem perpetaan sejak perang revolusi
Amerika (American revolutionary was).
Dalam perkembangannya pada tahun 1835 telah pula dilakukan kombinasi informasi
teknologi, sosial dan lingkungan dalam bentuk yang masih sederhana. Baru pada
tahun 1838 muncul The Atlas to accompany
: the second report of the Irish railway commissioner, yang berisi
informasi mengenai penduduk , geologi dan topografi. Setiap lembar peta dibuat
dalam batas daerah dan skala yang sama, melalui tumpang susun peta-peta tematik
tertentu, sehingga dapat diperoleh lokasi terbaik untuk jalur angkutan. Atlas tersebut belum merupakan suatu
sistem yang padu (integrated) seperti
kemampuan yang ada dalam SIG, meski demikian Atlas tersebut dianggap sebagai produk SIG pertama.
Berkembangpesatnya
SIG ditopang oleh perkembanagn di bidang elektronika, terutama komputer.
Sebenarnya SIG dapat dilakukan secara manual, yakni dengan menumpangsusunkan (overlay) beberapa peta tematik
sederhana dalam jumlah terbatas, tetapi bila peta yang hendak ditumpangsusunkan
jumlahnya banyak (4 atau lebih), maka pekerjaannya akan menjadi rumit. SIG
manual bersifat statis, keluarannya tidak dapat diubah-ubah secara cepat, dan
tidak dapat ditambah dengan informasi baru secara dinamis. SIG yang bersifat
dinamis pertama kali dikembangkan oleh CGIS (Canadian
Geographic Information Systems) dipelopori oleh Roger Thomlinson pada
dekade 1960-an. Perkembangan ini didorong oleh terciptanya SDMS (Spatial data management system), yakni
suatu bahasa pemograman yang dapat digunakan untuk pengklasifikasian kembali
atribut, menghapus garis, batas poligon, mengubah skala, mengukur luas, membuat
poligon baru, mencari tanda, membuat daftar, dan melakukan tumpang susun
poligon secara efisien. Perkembangan lebih lanjut dipacu dengan diketemukannya
sistem grid sel (Cell Grid System)
yang dapat mengubah format peta kedalam sistem grid sel yang dapat dibaca oleh
komputer (Dulbahri, 1997).
Kesadaran
akan struktur penyimpanan dan analisis pemetaan data yang baik dan stabil makin
dominan pada akhir tahun 70-an. Akan tetapi, penekanannya lebih pada data peta,
bukan data spatial. Pencarian struktur data peta yang representatif, stabil dan
konsisten mendorong para ahli SIG internasional
memperkenalkan ide topologi dan teori graf ke dalam SIG. Sekitar tahun 1980-an perkembangan SIG diwarnai
dengan pengenalan dan perkembangan personal computer (PC). Pengelolaan struktur
data spatial dalam sistem yang lebih baik membuat SIG menjadi lebih
terpercaya., metode indeks dan database spatial dalam system yang lebih baik
membuat SIG menjadi lebih terpercaya. Pada dekade ini berkembang pesat
teori-teori SIG, bermunculannya berbagai perkumpulan profesional, dan pendirian
pusat-pusat penelitian SIG, seperti Cosir, SSD, SDH, dan lain-lain.
Dalam
sejarah perkembangan SIG, dekade 1990-an dinyatakan sebagai periode
terobosan (breakthrough), sejak orientasi objek dalam sistem dan desain
database makin baik, didiringi dengan makin meluasnya pengakuan terhadap
aktivitas SIG sebagai aktivitas profesional dan berkembang pesatnya teori-teori
informasi spasial sebagai dasar teori SIG. Saat ini, telah beredar berbagai
macam perangkat lunak SIG komersial, seperti ERDAS, IDRISI, ILWIS, ARC/INFO,
MAP INFO, AutoCad Map, ArcView, ArcGIS, E-View, dan lain-lain dalam berbagai
versi. Perusahaan SIG komersial yang kini banyak menguasai pasar dunia adalah
Intergraph dan ESRI.
D. Mengapa SIG ?
Bagi
beberapa kalangan yang belum mengetahui dan memahami akan arti pentingnya SIG,
sering melontarkan pertanyaan, mengapa harus menggunakan SIG ? apa kelebihannya
?
SIG muncul
sebagai jawaban atas sejumlah keterbatasan peta yang dihasilkan dengan teknik
kartografi manual. Keterbatasan itu meliputi pembuatan, penyimpanan,
pemanfaatan, dan pembaruan/modifikasi peta sesuai dengan perkembangan dan
keperluan yang dikehendaki. Oleh karenanya, para ahli berusaha mancari
alternatif agar data yang diperluakan mudah diperoleh dan gambaran keruangannya
dapat dilihat dengan jelas, dan peta menjadi mudah dimodofikasi sesuai dengan
perkembangan, cepat dan efisien.
Peta
konvensional yang dihasilkan dari proses kartografi manual bersifat statis,
sukar untuk diolah kembali, sukar untuk dipadukan (integrated) antara beberapa peta tematik, terbatas kapasitas
penanganannya, sukar untuk menyimpan dan memanipulasi datanya, usaha untuk
memperoleh informasi baru dari peta konvensional yang ada juga sulit dilakukan
apabila data yang akan dipadukan dalam jumlah besar.
Kesukaran-kesukaran
tersebut dapat diatasi oleh SIG, dengan fasilitas-fasilitas yang ada, yang
memiliki sejumlah kemampuan kartografis plus. SIG juga mampu menyimpan data
peta dalam jumlah besar, mengolah dan memadukan beberapa tematik sesuai dengan
yang dikehendaki, sehingga dapat diperoleh informasi baru yang diperlukan.
Informasi baru yang diperoleh ini dapat digunakan untuk perencanaan pembangunan
dan pengembangan wilayah, pamantauan dan evaluasi hasil-hasil pembangunan, dan
menjadi dasar pengambilan keputusan. Digitalisasi input data dalam SIG,
memungkinkan hasil (keluaran) memilki akurasi yang tinggi dan terpercaya serta
mudah dilakukan pembaharuan peta sesuai dengan perkembangan di lapangan.
E. Komponen SIG
Untuk
membuat suatu perencanaan pembangunan atau pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan spasial diperluakan analisis data yang bereferensi geografis. Analisis
ini harus didukung oleh sejumlah konsep-konsep
ilmiah dan sejumlah data yang handal. Data/informasi yang berkaitan
dengan permasalahan akan dipecahkan harus dipilih dan diolah melalui pemrosesan
yang akurat. Untuk keperluan tersebut SIG menyediakan sejumlah komponen atau
subsistem masukan data, pengelolaan
data, manipulasi dan analisis data, dan keluaran data.
1.
Masukan data (data input)
Subsistem
masukan data adalah fasilitas dalam SIG yang digunakan untuk memasukan data dan
merubah bentuk data asli ke dalam bentuk data yang dapat diterima dan dipakai
dalam SIG. Pemasukan data ke dalam SIG dilakukan dengan 3 cara, yakni :
pelarikan atau penyiaman, digitasi, dan tabulasi.
a.
Pelarikan (scanning)
Pelarikan atau penyiaman
adalah proses pengubahan data grafis kontinyu menjadi data diskritt yang terdiri atas sel-sel penyususn
gambar (pixel.) Pelarikan untuk
gambar peta kini dapat dilakukan dengan portable
scanner yang kini banyak beredar di pasaran. Data hasil penyiaman disimpan
dalam bentuk raster. Data raster ini dapat diubah menjadi data vektor melalui
proses digitasi. SIG berbasis raster
banyak yang menyukai karena pengolahannya lebih mudah, proses tumpang susun (overlay) peta dapat dilakukan secara
lebih cepat.
b.Digitasi
Digitasi adalah proses
pengubahan data grafis analog menjadi data grafis digital, dalam struktur
vektor. Pada struktur vektor ini data disimpan dalam bentuk titik (point), garis (lines) atau segmen, data poligon (area) secara matematis-geometris (Lo, 1986). Contoh tipe data
titik adalah kota,
lapangan terbang, pasar. Tipe data garis diantaranya adalah sungai, jalan,
kontur topografik. Tipe data poligon/area antara lain ditunjukkan oleh
bentuk-bentuk penggunaan lahan, klasifikasi tanah, daerah aliran sungai.
Tipe-tipe data geografis tersebut dapat saling berinteraksi atau berinteraksi
dengan data lain. Misal, data penggunaan lahan dapat berinteraksi dengan data
jenis tanah.
Pada beberapa perangkat
lunak SIG berbasis windows, seperti Map Info dan ArcView, digitasi dapat dilakukan pada tampilan peta screen monitor
komputer, yang merupakan display data hasil penyiaman. Digitasi dalam hal ini
lebih dikenal dengan istilah stretching.
Digitasi dengan cara ini dianggap lebih memiliki akurasi yang lebih baik
daripada digitasi dengan menggunakan digitizer
table. Proses digitasi ini merupakan langkah dalam SIG yang paling banyak
menyita waktu.
c.
Tabulasi
Basis data dalan SIG
dikelompokkan menjadi dua, yakni basis data grafis dan basis data non-grafis
(atribut). Data grafis adalah peta itu sendiri, sedangkan data atribut adalah semua informasi non-grafis, seperti derajat
kemiringan lereng, jenis tanah, nama tempat, dan lain-lain. Data atribut ini
disimpan dalam bentuk tabel, sehingga sering disebut basis data tabuler. Data
tabel ini kemudian dikaitkan dengan data grafis untuk keperluan analisis.
2.
Pengelolaan data
Pengelolaan data meliputi semua operasi penyimpanan,
pengaktifan, penyimpanan kembali dan pencetakan semua data yang diperoleh dari
input data. Beberapa langkah penting lainnya, seperti pengorganisasian data,
perbaiakan, pengurangan, dan penambahan dilakukan pada subsistem ini.
3. Manipulasi
dan Analisis data
Fungsi subsistem ini adalah untuk membedakan data yang
akan diproses dalam SIG. Untuk merubah format data, mendapatkan parameter dan
proses dalam pengelolaan dapat dilakukan pada subsistem ini. Upaya evaluasi
terhadap subsistem ini perlu terus dilakuakan, karena subsistem ini merupakan
sentra dalam proses kerjal SIG, dimana informasi baru yang akan dihasilkan
ditentukan dalam proses subsistem ini. Beberapa fasilitas yang biasa
terdapat dalam paket SIG untuk
manipulasi dan analisis, meliputi empat unsure, yakni : fasilitas penyuntingan,
interpolasi spasial, tumpang susun, modeling, dan analisis data (Danoedoro,
1996).
a.
Penyuntingan
Sebenarnya, sebagian fungsi
penyuntingan ini telah dilakuakan dalam subsistem manajemen data (khususnya
data spatial), tetapi ada yang belum dikerjakan secara detail, yakni
pemutakhiran (up dating) data.
Sebagai contoh pemutakhiran data spasial antara lain, peta pola persebaran pemukiman
untuk tahun terbaru tidak perlu digitasi ulang, tetapi cukup diperbaharui
dengan menambah data baru.
b.
Interpolasi spasial
Interpolasi
spasial merupakan jenis fasilitas SIG yang rumit, bahkan dapat dikatakan bahwa
langkah ini tidak dapat dilakukan secara manual. Setiap titik pada koordinat
tertentu dalam peta memuat sejumlah informasi koordinat dan nilai-nilai
tertentu suatu variabel yang dikehendaki. Misal, pemasukan data berupa posisi
koordinat dan kemiringan lereng, dapat diinterpolasi. Hasil dari proses
interpolasi tersebut adalah peta kontinyu dimana setiap titik pada peta digital
tersebut menyajikan informasi berupa nilai riil.
c.
Tumpang susun (overlay)
Tumpang
susun ini sebenarnya merupakan langkah di dalam SIG yang dapat dilakukan secara
manual, tetapi cara manual terbatas kemampuannya. Bila peta yang akan
ditumpangsusunkan lebih dari 4 lembar peta tematik, maka kan terjadi kerumitan besar dan sukar
dirunut kembali dalam menyajikan satuan-satuan pemetaan baru (Danoedoro, 1996).
Software SIG yang berbasis raster
dapat melakukan proses tumpang susun secara lebih cepat daripada software SIG berbasis vektor. Proses
tumpang susun lebih cepat pada SIG berbasis raster karena proses ini dilakukan
antar pixel dari masing-masing input data peta pada koordinat yang sama, tidak
harus merumuskan lagi topologi baru untuk satuan pemetaan baru yang dihasilkan
dari proses ini sebagaimana yang terjadi pada SIG berbasis vektor.
d.
Pembuatan Model dan Analisis data
Bila input
data telah masuk dan tersusun dalam bentuk basis data, maka proses pembuatan
model (modeling) dan analisis data
menjadi efisien, dapat dilakukan kapan saja dan dapat dipadukan dengan input
data peta baru. Pada bagian inilah terletak manfaat SIG yang besar, yakni
ketika seluruh data telah tersedia dalam bentuk digital.
4. Keluaran
data (data output)
Subsistem ini berfungsi untuk
menayangkan (displaying) informasi
baru dan hasil analisis data geografis secara kuantitatif maupun kualitatif.
Wujud keluaran ini berupa peta, tabel atau arsip elektronik (file). Keluaran data ini tidak hanya
ditayangkan pada monitor, tetapi selanjutnya perlu disajikan dalam bentuk cetakan (hardcopy),
dengan maksud agar dapat dibaca, dianalisis, dan diketahui persebarannya secara
visual (khusus untuk data peta).
F.
Pemanfatan SIG
SIG
sebagai alat tidaklah bermakna apa-apa tanpa melalui interaksi dengan manusia.
Melalui interaksi antara alat (SIG) dengan manusia ini diperoleh manfaat yang
berupa kemudahan, kecermatan, ketepatan proses dan optimalisasi penggunaannya.
SIG akan lebih bermanfaat, bila penggunaannya terkoordinasi, pengguna mampu
menilai kekuatan fasilitas yang dimiliki SIG, dan mampu menganalisis keluaran (out put) data. SIG menyediakan
kemudahan bagi manusia untuk memadukan data yang bermacam-macam, sehingga dapat
dengan mudah menarik kesimpulan dan menentukan keputusan. Beberapa contoh
aplikasi SIG antara lain : pembuatan peta klasifikasi kualitas lahan
permukiman, evaluasi sumber daya lahan, pemantauan perkembangan kota, pemetaan daerha
bahaya longsor, perancangan jaringan jalan baru, jalur listrik, pipa,kabel
telpon, dan lain-lain.
Saat ini SIG di Indonesia
belum dimanfaatkan secara optimal. Suatu contoh sederhana betapa SIG sebagai
suatu metode dan teknologi belum dimanfaatkan oleh masyarakat adalah banyaknya
korban tanah longsor di Purworejo dan Banyumas. Bencana tanah longsor yang
telah menelan korban jiwa dan harta benda terjadi secara beruntun pada musim
penghujan tahun 2001. Pemerintah sebagai pengayom masyarakat ternyata tidak
dapat memberikan peringatan antisipasi agar terhindar dari bencana tanah
longsor dan jaminan keselamatan kepada warga masyarakat di daerah bencana.
Bencana tanah longsor sebenarnya dapat diantisipasi bila pemerintah mempunyai
data peta potansi kelongsoran. Peta daerah bahaya longsor lahan dapat diperoleh
dengan memanfaatkan SIG. Berdasarkan peta daerah potensi bahaya longsor ini, pemerintah daerah dapat
memberitahu titik-titik yang potensial terjadi bahaya longsor dan
menginstruksikan kepada warga masyarakat yang menempati areal beresiko tinggi
terjadi longsor agar pindah tempat, dan berbagai antisipasi penyelematan diri.
Pengolahan dan pembuatan peta daerah bahaya longsor ini dapat dilakukan dengan
memadukan input data berupa peta curah hujan, peta kemiringan lereng, peta jenis
tanah, peta penggunaan lahan, dan peta geologi.
Pada umumnya di
negara-negara berkembang, pemanfaatan SIG sebagai alat Bantu untuk pengambilan
kebijakan pembangunan belum dilakukan secara optimal. Di Indonesia, bahkan SIG
belum dipakai secara nasional, pemanfaatannya masih sangat terbatas, karena
disamping masih terbatasnya tenaga ahli, masih terbatasnya dana, belum adanya
pemahaman dari pemerintah daerah, juga belum tertatanya peta-peta dalam bentuk
basis data. Bila masing-masing pemerintah daerah provinsi dan kabupaten memiliki basis data
peta mengenai daerahnya , maka dapat dengan mudah dikembangkan SIG secara
nasional, sehingga Indonesia
mempunyai SIG Nasional (SIGNAS).
Bila saat ini pemda-pemda
belum dapat menerapkan SIG dalam proses pembangunan mungkin masih dimaklumi,
karena perguruan tinggi saja yang semestinya menjadi perintis dan pengembang
SIG ternyata belum dapat berbuat banyak, terbukti hanya sedikit sekali
perguruan tinggi yang memiliki program studi yang mempelajari SIG, apalagi
memiliki laboratorium SIG. Universitas Gadjah Mada (khususnya Fakultas
Geografi) dan Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survai dan Pemetaan Nasional) saja
yang disebut sebagai perintis SIG di Indonesia, kondisinya kurang representatif
untuk dijadikan sebagai ujung tombak penembangan program SIG agar lebih
berdayaguna dan mengoptimalkan aplikasinya untuk kepentingan pembangunan.
Selain di perguruan tinggi,
SIG di Indonesia baru dimanfaatkan oleh
beberapa lembaga departemen dan non-departemen di tingkat pusat dan baru
dirintas di tingkat daerah. Departemen
yang paling banyak memanfaatkan SIG adalah Departemen Kehutanan dan Departemen
PU. Departemen lainnya dan lembaga-lembaga struktural lainnya di daerah-daerah
belum anyak yang menggunakan SIG, karena masih minimnya tenaga yang terampil,
kesadaran dan ketidaktahuan untuk membuat basis data, dan belum ada yang
teralokasikan untuk kepentingan ini. Belum teralokasikannya dana untuk
pengaadaan peralatan dan aplikasi SIG ini terjadi karena para penyelenggara
pemerintahan belum banyak tahu tentang pentingnya SIG dalam penyusunan rencana,
pemantauan, dan evaluasi pembangunan secara mudah, murah, efektif, dan akurat.
Semestinya lembaga struktural yang paling banyak membutuhkan SIG adalah
Bappenas/Bappeda, tetapi kenyataannya Bappeda Kota Yogyakarta saja yang
merupakan daerah yang memiliki tenaga ahli dan profesional dalam bidang SIG ini
(akademisi kampus UGM), ternyata belum mengaplikasikan SIG untuk kepentingan
pembangunan daerahnya, apalagi daerah lain yang tidak memiliki tenaga ahli SIG.
Bila kondisi ini dibiarkan terus menerus, maka Indonesia akan semakin jauh
ketinggalan dari negara-negara lain, apalagi di era persaingan bebas.
G. Urgensi
SIG dalam Pembangunan Nasional
Sebagaimana
telag diuraikan di atas bahwa SIG mempunyai peran penting dalam pembangunan.
Pembangunan meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Dalam setiap
tahapnya pembangunan memerlukan data yang handal agar pembangunan yang
dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang dikehendaki. Untuk mencapai
maksud tersebut, maka SIG berperan untuk menampilkan informasi karakteristik
area (fisik dan non-fisik) yang akan menjadi tempat pembangunan tersebut. SIG
mampu menyajikan prioritas daerah-daerah mana yang harus didahulukan,
memberikan informasi tentang jenis pembangunan yang diperlukan, dan lain-lain.
Bila masing-masing daerah mempunyai basis data SIG, maka pemerintah dapat
memanfaatkan teknologi internet untuk membangun SIGNAS. Berikut ini diuraikan
beberapa contoh urgensi SIG dalam pembangunan nasional.
1.
Penyusunan neraca sumber daya
Salah
hal penting yang harus diketahui dalam proses pembangunan adalah mengetahui
potensi yang dimiliki oleh kita, baik yang berupa sumber daya alam maupun
sumber daya manusia. Apalagi kini, diterapkan otonomi daerah dimana setiap
daerah harus memiliki neraca sumber daya
daerah. Neraca sumber daya ini dapat diperoleh dengan bantuan SIG. SIG mampu memberikan informasi baru mengenai
sumber daya yang dimiliki oleh suatu daerah, dapat diketahui persebaran dan
kauntitasnya.
2.
Perubahan penggunaan lahan
Penggunaan
lahan merupakan aspek penting untuk mengetahui sejauh mana aktivitas manusia
dalam berinteraksi dengan alam. Bahkan kondisi penggunaan lahan dapat menjadi
dasar bagi penelitian mendalam mengenai perilaku manusia dalam memanfaatkan
lahan (Mallingreau dan Rosalia, 1981). Data penggunaan lahan dan perubahannya
dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para perencana tata ruang dan
pengendaliannya, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan penggunaan lahan. Perlu
diketahui bahwa sebagian korban bencana di Indonesia akibat penyalahgunaan
lahan.
3.
Pemetaan kelas dan perkembangan jalan
Kemajuan
suatu daerah secara fisik ditandai oleh makin tingginya tingkat
aksesibilitasnya. Tingkat aksesibilitas ini ditunjukkan oleh kualitas dan
jaringan jalannya. Perkembangan aksesibilitas ini dapat dipantau dan dipetakan
dengan bantuan SIG.
4.
Evaluasi perkembangan kota
Perkembangan
fisik kota pada umumnya melebihi batas
administrasi kota, sehingga banyak dijumpai
masayarakat yang secara administrasi termasuk desa, tetapi secara fisik daerah
termasuk kota.
Kondisi ini menyebabkan pemerintah harus melakukan pendekatan pembangunan yang
sesuai. Pengambilan kebijakan terhadap masyarakat demikian dapat menggunakan
jasa SIG.
5.
Potensi kependudukan
Informasi
potensi kependudukan yang dapat diperoleh dengan alat bantu SIG antara lain :
taksiran kepadatan penduduk, persebaran, interaksi, mobilitas, dan kemungkinan
terapan lainnya.
6.
Pemetaan sumber daya hutan
Hutan
merupakan kekayaan alam yang sangat bermanfaat sebagai sumber ekonomi,
konservasi alam maupun untuk keberlangsungan hidup manusia sendiri. Karena
nilai ekonomis yang dimilikinya membuat manusia tertarik untuk
mengeksploitasinya terus menerus. Pemantauan dan evaluasi terhadap kondisi
hutan yang luas dapat dilakukan dengan menggunakan SIG yang diintegrasikan
dengan Penginderaan Jauh.
7.
Eksplorasi tambang
Kondisi tambang biasanya terdapat
pada area yang khas, dapat dilihat dari struktur geologi dan geomorfologi areanya. Penentuan
tempat-tempat yang diduga menyimpan tambang-tambang tertentu dapat diduga
dengan menggunakan jasa SIG yang diintegrasikan dengan Penginderaan Jauh.
H. Penutup
SIG
sebagai metode dan teknologi mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan pemetaan yang
semula sangat sulit untuk dilakukan secara manual. Informasi baru yang
diperoleh dari hasil analisis SIG sangat akurat dan dapat dilihat pola
keruangannya, sehingga memudahkan proses perencanaan, pemantauan, dan evaluasi
pembangunan dan dapat menjadi pedoman untuk pengambilan keputusan. Sedemikian pentingnya SIG, maka pemerintah
baik di tingkat pusat maupun daerah semestinya memanfaatkan SIG, yang
selanjutnya dibentuk SIGNAS dengan memanfaatkan internet untuk membantu proses
pembangunan. Dengan demikian pembangunan yang dilakukan akan sesuai dengan tujuan
dan sasaran, sehingga terwujud pembangunan yang berkeadilan sosial yang
berdampak terwujudnya masyarakat makmur, berkeadilan, dan solid.
DAFTAR PUSTAKA
Arronoff, Stan.1989. Geographic Information System : a
Management Perspective. Ottawa
: WDL Publication.
Burrough, Peter
A. 1986. Principles of Geographical Information System for Land Resources
Management. Oxford
: Clarendon Press
Danoedoro, Projo. 1997. Pengolahan Citra Digital Teori dan Aplikasinya dalam Bidang
Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi UGM Yogyakarta.
Dimyati, Muh. 1997. Peran Komunikasi Data
dalam Mendukung Pembangunan SIGNAS pada Awal Era Millenium III. Makalah Seminar Nasional Dies FGE XXXVI.
Fakultas Geografi UGM Yogyakarta.
Dulbahri. 1997. Sistem Informasi Geografis.
PUSPICS Fakultas Geografi UGM Yogyakarta-Bakosurtanal.
Juppenlatz, Morris dan Xiaoping Tian. 1996. Geographic
Information Systems and Remote Sensing. Mc Graw-Hill Book Company. Sidney.
Kainz, Wolfgang. 1995. Making Better Tools :
Spatial Information Theory and Applied Computer Science as Basic for GIS. ITC Journal
No. 3. Enschede Netherland.
Lo, CP. 1986. Applied Remote Sensing. New York : Longman Inc.
Mallingreau and Rosalia, 1981. Land
use/Land Cover Classification in Indonesia, Fakultas
Geografi UGM Yogyakarta
*) Penulis adalah staf pengajar pada
Jurusan Pendidikan Geografi FIS UNY sejak tahun 1999. Lahir di Brebes, 14
Agustus 1971. Studi S-1 ditempuh di Jurusan Pendidikan Geografi IKIP Yogyakarta
lulus tahun 1995, kemudian menyelesaikan studi S-2 Program Studi Penginderaan Jauh PPS UGM pada
awal tahun 2002. Publikasi ilmiah yang pernah ditulis antara lain : 1).
Penggunaan Foto Udara untuk Menentukan Cara Pengelolaan Sosiobiofisik Daerah di
Sekitar Jalan Lingkar Selatan Yogyakarta; 2).
Sistem Informasi Geografis : Sejarah dan Perkembangannya; dan 3). Pemanfaatan
Foto Udara dan SIG untuk Evaluasi Perubahan Kualitas Lingkungan Permukiman Kota
(Kasus di Kec. Umbulharjo Kota Yogyakarta).
Masukkan Komentar di bawah