BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
4.1.1
Bobot Segar Kalus
Hasil analisis
ragam terhadap bobot segar kalus menunjukan bahwa pemberian kombinasi zat
pengatur tumbuh dan asam amino berpengaruh nyata dalam memacu pertambahan bobot
segar kalus. Hasil pengamatan pengaruh beberapa kombinasi zat pengatur tumbuh
dan asam amino terhadap penambahan bobot segar kalus dapat dilihat pada tabel 3
(Lampiran 3).
Tabel 3. Pengaruh beberapa kombinasi
zat pengatur tumbuh dan asam amino terhadap penambahan bobot segar kalus
Kombinasi
Zat pengatur Tumbuh dan Asam Amino
|
Bobot
Segar Kalus
|
Prolin 25µM
(T9)
|
1,18 a
|
1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D (T5)
|
1,02 b
|
Prolin 50µM
(T8)
|
1,01 b
|
1 ppm TDZ +
1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein Hidrolisat (T3)
|
0,97 bc
|
1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin (T1)
|
0,91 bc
|
2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D (T6)
|
0,87 cd
|
2 ppm BAP +
1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein Hidrolisat (T4)
|
0,78 de
|
2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin (T2)
|
0,76 de
|
Manitol 3%
(T7)
|
0,71 e
|
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf
yang berbeda menunjukan berbeda nyata menurut Uji Beda Nyata Terkecil (BNT)
dengan taraf α = 5%
Pada tabel 3 diatas dapat dilihat bahwa penambahan bobot segar kalus dengan
perlakuan Prolin 25µM mendapatkan hasil tertinggi dengan nilai 1,18
sehingga berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D, Prolin 50µM, 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein Hidrolisat, 1 ppm
TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin, 2 ppm
BAP + 1 ppm 2,4-D, 2 ppm
BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein Hidrolisat, 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin, dan perlakuan Manitol 3%.
Pada perlakuan 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D dengan penambahan bobot segar kalus dengan nilai 1,02
tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan Prolin 50µM, 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein Hidrolisat, 1 ppm
TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin. Akan tetapi berpengaruh nyata bila dibandingkan dengan perlakuan 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D, 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100
ppm Casein Hidrolisat, 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin, dan perlakuan Manitol 3%.
Perlakuan 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin tidak berbeda nyata dengan perlakuan 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D. Namun berbeda nyata dengan perlakuan 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein Hidrolisat, 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin, dan perlakuan Manitol 3%.
Perlakuan 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D tidak berbeda nyata dengan perlakuan 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein Hidrolisat, dan 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin. Akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan
manitol 3%.
Terlihat dari
tabel 3 bahwa perlakuan prolin 25µM (T9) memberikan rata – rata penambahan
bobot segar kalus tertinggi dengan nilai 1,18. Sementara hasil terendah pada
pengamatan penambahan bobot segar kalus diperoleh dari perlakuan tanpa
pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh dan asam amino atau manitol 3% (T7) dengan
nilai 0,71.
4.1.2
Diameter Kalus
Hasil analisis
ragam terhadap penambahan diameter kalus menunjukan bahwa pemberian kombinasi
zat pengatur tumbuh dan asam amino berpengaruh nyata dalam memacu pertambahan
diameter kalus. Hasil pengamatan pengaruh beberapa kombinasi zat pengatur
tumbuh dan asam amino terhadap penambahan bobot segar kalus dapat dilihat pada
tabel 4 (Lampiran 4).
Tabel 4. Pengaruh beberapa kombinasi
zat pengatur tumbuh dan asam amino terhadap penambahan diameter kalus.
Kombinasi
Zat pengatur Tumbuh dan Asam Amino
|
Diameter
Kalus
|
Prolin 25µM
(T9)
|
3,19 a
|
Prolin 50µM
(T8)
|
2,78 ab
|
1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D (T5)
|
2,72 abc
|
2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D (T6)
|
2,56 bc
|
1 ppm TDZ +
1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein Hidrolisat (T3)
|
2,41 bc
|
1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin (T1)
|
2,21 cd
|
2 ppm BAP +
1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein Hidrolisat (T4)
|
1,72 de
|
2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin (T2)
|
1,5 e
|
Manitol 3%
(T7)
|
0,94 f
|
Keterangan : Angka-angka
yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata menurut Uji Beda
Nyata Terkecil (BNT) dengan taraf α = 5%
Pada tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa penambahan diameter segar kalus
dengan perlakuan Prolin 25µM mendapatkan hasil tertinggi dengan nilai 3,19
yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan Prolin 50µM, dan 1 ppm TDZ + 1 ppm
2,4-D tetapi berbeda nyata dengan perlakuan 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D, 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein Hidrolisat, 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin, 2 ppm
BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein Hidrolisat, 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin, dan Manitol 3%.
Perlakuan 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D dengan penambahan diameter sebesar 2,56
tidak berbeda nyata dengan perlakuan 1 ppm
TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein Hidrolisat, dan 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin. Namun, berbeda nyata dengan perlakuan 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein Hidrolisat, 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin, dan Manitol 3%.
Perlakuan 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin dengan penambahan diameter sebesar 2,21
tidak berbeda nyata dengan perlakuan 2 ppm
BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein Hidrolisat, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin dan perlakuan Manitol 3 %.
Perlakuan 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein Hidrolisat tidak berbeda nyata dengan perlakuan 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin. Namun berbeda nyata dengan perlakuan Manitol 3
%. Sedangkan perlakuan Manitol berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Terlihat dari tabel 4 bahwa perlakuan prolin 25µM (T9)
memberikan rata – rata penambahan diameter kalus tertinggi dengan nilai 3,19.
Sementara hasil terendah pada pengamatan penambahan diameter kalus diperoleh
dari perlakuan tanpa pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh dan asam amino
atau manitol 3% (T7) dengan nilai 0,94.
4.1.3 Warna Kalus
Pengamatan visual terhadap warna
kalus yang terbentuk pada eksplan daun yang dikulturkan pada media yang
dilengkapi dengan berbagai kombinasi zat pengatur tumbuh dan asam amino dapat
dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Pengaruh
beberapa kombinasi zat pengatur tumbuh dan asam amino terhadap warna kalus.
Kombinasi ZPT dan Asam Amino
|
Warna Kalus
|
1 ppm TDZ + 1
ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin
|
Warna
kalus krem, hijau, dan hijau keputihan
|
2 ppm BAP + 1
ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin
|
Warna
kalus krem dan coklat dengan dominasi warna krem
|
1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein
Hidrolisat
|
Warna
kalus hijau, krem, dan hijau kekuningan dengan dominasi warna hijau
|
2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein
Hidrolisat
|
Warna
kalus krem dan hijau kekuningan dengan dominasi warna krem
|
1 ppm TDZ + 1
ppm 2,4-D
|
Warna
kalus hijau, hijau kekuningan dan krem dengan dominasi warna hijau
|
2 ppm BAP + 1
ppm 2,4-D
|
Warna
kalus hijau dan krem dengan dominasi warna krem
|
Manitol 3%
|
Warna
kalus hijau, coklat, hijau kekuningan dan krem dengan dominasi warna krem
|
Prolin 50µM
|
Warna
kalus hijau, krem, hijau kekuningan, hijau kecoklatan dan coklat dengan
dominasi warna hijau
|
Prolin 25µM
|
Warna
kalus hijau, hijau kekuningan, hijau kecoklatan, kuning kecoklatan, dan krem
dengan dominasi warna hijau
|
Hijau Hijau keputihan Krem
Hijau kekuningan Hijau kecoklatan Coklat
Gambar
1. Warna kalus yang terbentuk pada kalus dengan berbagai kombinasi zat pengatur
tumbuh dan asam amino
4.1.4 Struktur Kalus
Sama halnya dengan warna, hasil
pengamatan visual terhadap struktur tidak memperlihatkan adanya perbedaan pada kalus
yang diproliferasikan di berbagai kombinasi zat pengatur tumbuh
dan asam amino. Struktur kalus yang terbentuk dari eksplan daun jarak pagar didominasi oleh struktur kalus yang kompak (Gambar 2).
|
4.1.5 Kalus Embriogenik Secara Mikroskopik
Berdasarkan hasil pengamatan yang
dilakukan di bawah mikroskop, hasil pengamatan mikroskopik tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang
menyolok pada kalus yang diproliferasikan pada berbagai kombinasi zat pengatur
tumbuh dan asam amino. Kalus
yang terlihat dibawah mikroskop memiliki vakuola yang kurang jelas yang belum atau tidak mengandung butir pati
(gambar 2).
Gambar 3.
Mikroskopis kalus jarak pagar dengan pewarnaan iodine pada Vakuola yang
ternyata tidak mengandung pati.
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian dan
analisis statistik dapat diketahui bahwa pemberian beberapa kombinasi zat
pengatur tumbuh dan asam amino berpengaruh nyata terhadap penambahan bobot
segar kalus pada eksplan daun. Pada pengamatan penambahan bobot segar kalus pada
eksplan kalus jarak pagar nilai tertinggi diperoleh dari perlakuan Prolin 25µM dengan nilai 1,18.
Hal ini menunjukan bahwa
pengkombinasian zat pengatur tumbuh dan asam amino pada kombinasi dan
konsentrasi tertentu dapat menekan laju penambahan bobot segar kalus.
Penambahan bobot kalus yang dihasilkan cenderung akan semakin menurun dengan
banyaknya pengkombinasian zpt dan asam amino, hal ini dapat dilihat pada
perlakuan kombinasi 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein Hidrolisat (T4)
dengan nilai 0,97.
Dapat dikatakan juga bahwa pemberian
asam amino prolin dengan konsentrasi rendah (25µM) dan tanpa pengkombinasian
dapat memacu pertambahan bobot kalus. Hal ini menunjukan bahwa penambahan bobot
kalus pada konsentrasi prolin yang rendah dan tanpa pengkombinasian dengan zpt
lainnya dimungkinkan karena secara fisiologis kandungan hormon auksin dan
sitokinin serta asam amino prolin endogen dari eksplan kalus asal daun muda
sudah mencukupi untuk memacu penambahan bobot kalus. Sehingga pada perlakuan
prolin dalam konsentrasi rendah dan tanpa dikombinasikan, bobot eksplan mampu
bertambah dengan baik. Asam – asam
amino berperan penting untuk pertumbuhan dan diferensiasi kalus.
Berdasarkan hasil penelitian penggunaan kombinasi
perlakuan 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D (T5) menghasilkan penambahan bobot segar
kalus yang lebih baik dengan nilai 1,02 dibandingkan dengan kombinasi perlakuan
2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D (T6) dengan nilai 0,87. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Rianawati et al. (2007) pada eksplan daun anggrek, penggunaan
media MP (1/2 MS + 0,5 mgL- 2,4-D + 0,2 mgL- TDZ + 2 gL-
pepton + 75 mlL- air kelapa + 1 gL- arang aktif) mampu
menghasilkan produksi berat kalus yang lebih baik dari pada media untuk
proliferasi kalus yaitu MR ((1/2 MS + 0,2 mgL- 2,4-D + 0,4 mgL-
BAP + 2 gL- pepton + 75 mlL- air kelapa + 1 gL-
arang aktif).
Dari
tabel hasil bobot segar kalus di atas juga dapat dilihat bahwa penambahan asam
amino seperti glutamin dan casein hidrolisat kedalam media yang sudah
mengandung auksin dan sitokinin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
penambahan bobot kalus. Pada kombinasi perlakuan 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100
ppm Casein Hidrolisat (T3) dengan nilai 0,97 tidak berbeda nyata dengan
kombinasi perlakuan 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin (T1) yang
mempunyai nilai rata – rata 0,91 namun berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan
antara 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein Hidrolisat (T4) dengan nilai
0,78 dan dengan kombinasi perlakuan 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin
(T2) yang mempunyai nilai rata – rata 0,76.
Yang membedakan
kombinasi perlakuan 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein Hidrolisat (T3)
dan perlakuan 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin (T1) dengan perlakuan
2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 pp Casein Hidrolisat (T4) dan 2 ppm BAP + 1 ppm
2,4-D + 100 ppm Glutamin (T2) adalah jenis sitokinin yang digunakan. Pada
perlakuan 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Casein Hidrolisat (T3) dan
perlakuan 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin (T1) jenis sitokinin yang
digunakan adalah Thidiazuron yang diduga memiliki peranan yang mampu
menginduksi pembentukan tunas adventif dan proliferasi tunas aksilar (Lu,
1993), sedangkan pada kombinasi perlakuan 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm
Casein Hidrolisat (T4) dan 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin (T2)
sitokinin yang digunakan adalah Benzil Amino Purine (BAP). Hal tersebut berarti
menyatakan bahwa hasil penelitian ini tidak sama dengan penelitian yang
dilakukan oleh Sumaryono dan Riyadi (2005) yang berhasil mendapatkan hasil
proliferasi kalus terbaik dengan bobot basah yang meningkat hingga 12-14 kali
dari bobot awal yang diperoleh pada medium WP dengan pikloram 15 atau 30µM
dikombinasikan dengan BAP 0,5µM pada eksplan kina klon CB5.
Sedangkan hasil
rata – rata penambahan berat kalus terendah didapatkan pada perlakuan manitol
3%. Hal ini diduga karena tidak adanya penggunaan atau kombinasi dari hormon
auksin, sitokinin dan asam amino eksogen yang membantu proses pertumbuhan
eksplan kalus tersebut. Sehingga dapat dikatakan juga bahwa kandungan hormon
endogen tidak mampu mencukupi untuk penambahan bobot segar kalus.
Berdasarkan hasil
penelitian dan analisis statistik dapat diketahui bahwa penggunaan kombinasi
zat pengatur tumbuh dan asam amino memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhadap penambahan diameter kalus. Pada pengamatan penambahan diameter kalus
pada eksplan kalus jarak pagar nilai tertinggi diperoleh dari perlakuan Prolin 25µM dengan nilai 3,19.
Pertambahan bobot segar kalus dan ukuran
diameter kalus saling mempengaruhi satu sama lain. Semakin berat bobot kalus
maka semakin besar ukuran diameternya atau sebaliknya. Pemberian prolin dengan
konsentrasi tinggi dan rendah tanpa
dikombinasikan dengan auksin maupun sitokinin mampu menghasilkan bobot segar
yang cukup tinggi dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lainnya antara hormon
auksin, sitokinin, dan asam amino. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Lestari dan Yunita (2006) yang menghasilkan kalus dengan
diameter lebih besar dengan menambahkan prolin 100 mgL-1 pada media
yang sudah mengandung 2,4-D 3 mgL-1 terhadap eksplan embrio zigotik
padi.
Jaringan kalus yang dihasilkan dari suatu
eksplan biasanya memunculkan warna yang berbeda-beda. Kualitas kalus yang baik
memiliki warna yang hijau. Menurut Fatmawati (2008), warna kalus
mengindikasikan keberadaan klorofil dalam jaringan, semakin hijau warna kalus
semakin banyak pula kandungan klorofilnya. Warna terang atau putih dapat
mengindikasikan bahwa kondisi kalus masih cukup baik.
Berdasarkan tabel 5 warna kalus
yang terlihat berkisar antara krem, hijau, hijau keputihan, coklat, hijau
kekuningan, dan hijau kecoklatan. Pengamatan warna kalus yang diamati secara
visual menunjukan warna kalus yang berbeda – beda sesuai dengan pengkombinasian
perlakuan yang diberikan. Umumnya kalus yang diberi perlakuan sitokinin TDZ
dengan konsentrasi rendah yang dikombinasikan dengan auksin 2,4-D dan dengan
atau tanpa dikombinasikan dengan asam amino mampu menghasilkan warna kalus
hijau yang mendominasi warna kalus lainnya yang ada. Sedangkan kalus yang
diberi perlakuan sitokinin BAP dengan konsentrasi tinggi yang dikombinasikan
dengan auksin 2,4-D dan dengan atau tanpa dikombinasikan dengan asam amino
menghasilkan warna krem yang lebih mendominasi dibandingkan dengan warna kalus
lainnya.
Hal ini tidak sesuai dengan
pernyataan Hanifah (2007), pada penambahan sitokinin
dengan kosentrasi yang semakin meningkat cenderung menunjukkan warna hijau
(cerah) pada kalus lebih tahan lama. Warna hijau pada kalus adalah akibat efek
sitokinin dalam pembentukan klorofil.
Sedangkan warna kalus hijau keputihan terdapat dalam perlakuan 1 ppm TDZ + 1
ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin, 25µM Prolin, dan 50 µM Prolin. Warna kalus hijau
kecoklatan terdapat pada perlakuan 25µM Prolin, dan 50 µM Prolin. Warna kalus
yang semakin gelap (menjadi coklat) berarti pertumbuhan kalus semakin menurun.
Warna
kecoklatan pada kalus (browning) ini akibat adanya metabolisme senyawa
fenol bersifat toksik, yang sering terangsang akibat proses sterilisasi
eksplan, yang menghambat pertumbuhan atau bahkan menyebabkan kematian jaringan
(Yusnita, 2004). Santoso dan Nursandi 22 (2004)
menyatakan bahwa peristiwa pencoklatan tersebut sesungguhnya merupakan suatu
peristiwa alamiah dan proses perubahan adaptif bagian tanaman akibat adanya
pengaruh fisik seperti pengupasan, dan pemotongan. Gejala pencoklatan merupakan
tanda-tanda terjadinya kemunduran fisiologis eksplan. Selain menandakan
terjadinya sintesis senyawa fenol, warna coklat disebabkan oleh semakin
bertambahnya umur sel atau jaringan kalus.
Perbedaan warna kalus menunjukan
bahwa tingkat perkembangan kalus berbeda – beda. Hampir semua perlakuan
menunjukan warna hijau kekuningan pada kalus. Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan penelitian efek zat pengatur tumbuh pada tanaman gandum secara in
vitro, penggunaan 2,4-D menghasilkan kalus yang remah dan putih. Monirul
(2005) dan Ragapadmi (2006) juga melaporkan bahwa penggunaan 2,4-D pada kultur
jaringan benih padi menghasilkan kalus yang bersifat remah dan bening.
Tanda bahwa kalus yang diregenerasikan
diharapkan depat membentuk embrio, antara lain terjadinya perubahan warna dari
kecoklatan atau kuning menjadi putih kekuningan selanjutnya menjadi kuning
kehijauan. Perubahan warna tersebut merupakan tanda adanya morfogenesis (George
dan Sherington, 1993). Adanya dugaan warna kuning kehijauan pada kalus
embriogenik diharapkan merupakan awal dari pembentukan struktur embrio somatik,
akan tetapi pada beberapa kalus ada yang berubah warnanya menjadi coklat dan
kemudian mati.
Tekstur kalus merupakan salah satu penanda
yang dipergunakan untuk menilai kualitas suatu kalus. Kalus yang baik
diasumsikan memiliki tekstur remah (friable). Tekstur kalus yang remah
dianggap baik karena memudahkan dalam pemisahan menjadi sel-sel tunggal pada
kultur suspensi, di samping itu akan meningkatkan aerasi oksigen antar sel.
Dengan demikian, dengan tekstur tersebut upaya untuk perbanyakan dalam hal
jumlah kalus yaitu melalui kultur suspensi lebih mudah. Pierik (1987) menyatakan
tekstur pada kalus dapat bervariasi dari kompak hingga meremah, tergantung pada
jenis tanaman yang digunakan, komposisi nutrien media, zat pengatur tumbuh dan
kondisi lingkungan kultur. Tekstur kalus yang terbentuk pada eksplan
jarak pagar pada berbagai kombinasi perlakuan zat pengatur tumbuh dan asam
amino seluruhnya memiliki tekstur yang kompak.
Hal ini tidak sesuai dengan hasil
penelitian Fatmawati (2008), kalus yang sebagian
besar bertekstur remah pada eksplan daun A. annua disebabkan oleh
penggunaan 2,4-D dalam media kultur. Hal
serupa juga diperoleh pada penelitian Ratnadewi (1991) cit Fatmawati
(2008), auksin 2,4-D yang dipadukan dengan kinetin 1 mg/l dipakai untuk
menginduksi pembentukan dan perbanyakan kalus friable pada tanaman tebu.
Terbentuknya kalus yang bertekstur remah menurut Widyawati (2010) dipacu oleh
adanya hormon auksin endogen yang diproduksi secara internal oleh eksplan yang
telah tumbuh membentuk kalus tersebut.
Kalus kompak memiliki kawasan
meristematik (meristemoid) yang mengindikasikan organisasi. Pada kultur embrio
sereal, kalus remah dan kompak dapat terjadi berdampingan pada kondisi kultur
yang sama, hanya jaringan yang kompak yang mampu untuk morfogenesis sedangkan
kalus remah tidak bermorfogenesis.
Menurut Vasil (1983) hanya kalus
kompak yang berkapasitas untuk membentuk embrio somatik. Secara umum kalus
kompak berwarna putih, tidak tembus cahaya, dan terorganisir. Sedangkan kalus
remah, lembut, dan tembus pandang yang secara umum merupakan kalus tak
terorganisir yang umumnya terbentuk dari jaringan dewasa eksplan dan tidak
membentuk embrio. Kalus embriogenik tersusun kecil, penuh sitoplasma, dinding
selnya tipis, dan vakuolanya kurang jelas tetapi mengandung banyak pati.
Pada pengamatan mikroskopis pada
struktur kalus (gambar 3) terdapat ciri sel dengan sitoplasma dan vakuola
kurang jelas. Vakuola tersebut tidak mengandung pati, hal tersebut dapat
dikatakan karena tidak adanya reaksi antara iodine dengan pati yang
menghasilkan warna biru pada vakuola. Salah satu reaksi dari ciri kalus
embriogenik adalah menghasilkan warna biru bila diberikan iodine akibat adanya
reaksi antara iodine dengan pati.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1.
Pemberian beberapa
perlakuan kombinasi zat pengatur tumbuh dan asam amino berpengaruh nyata
terhadap penambahan bobot segar kalus dan diameter kalus, namun tidak
berpengaruh nyata terhadap warna kalus, struktur, dan bentuk mikroskopik kalus.
2.
Pemberian perlakuan
Prolin secara tunggal dengan konsentrasi rendah (25µM) mampu memberikan
penambahan bobot dan diameter kalus tertinggi pada eksplan kalus jarak pagar.
3.
Kalus yang dihasilkan
memiliki warna yang beragam seperti hijau, krem, coklat, hijau kekuningan, dan
hijau kecoklatan. Namun hasil yang dominan adalah kalus yang berwarna krem.
4.
Kalus yang dihasilkan
memili kalus yang 100 % kompak.
5.
Kalus yang didapat
belum mampu menghasilkan kalus yang embriogenik karena tidak mengandung pati.
5.2
Saran
Perlu
dilakukannya penelitian lanjutan untuk jenis kombinasi zat pengatur tumbuh dan
asam amino sebagai media embriogenesis somatik dengan menggunakan kombinasi zat
pengatur tumbuh dan media yang optimal untuk meningkatkan keberhasilan
embriogenesis somatik pada tanaman jarak pagar.
DAFTAR
PUSTAKA
Akbar,
Yaakob, Kamarudin, Ismail, Salimon. 2009. Caracteristic and Composition of
Jatropha Curcas Oil Seed from Malaysia and its Potential as Biodiesel
Feedstock. Eur.J.Sci.Res. 29:396-403.
Ammirato, P.V. 1983. Embryogenesis.
In D.A. Evans, W.R. Sharp, P.V. Ammirato, and Y. Yamada. (Eds.).
Handbook of Plant Cell Culture 1:82-123.
Collin,
H. A and S. Edwards. 1998. Plant Cell Culture. BIOS Scientific Publishers.
London. 158p.
Dabin,
P. dan F. Beguin. 1987. Somatic
Embryogenesis in Fuchsia. Acta Horticulturae 212.
Ehsanpour,
A. A. 2002. Induction of somatic embryogenesis from endosperm of oak (Quercus castanifolia).
In A. Taji and R. Williams (ed.). The importance of plant tissue culture and
biotechnology in plant science. Univ. of New England Unit, Australia. P.273 –
277.
Gaj, M.D. 2001. Direct
somatic embryogenesis as a rapid and efficient system for in vitro regeneration
of Arabidopsis thaliana. Plant Cell and Organ Culture 64:39-46.
George, E. F. Dan
Sherrington, 1984. Plant Propagation by
Tissue Culture. Exegetics Ltd, England.
Gunawan, L.W. 1988. Teknik
Kultur Jaringan Tumbuhan. PAU
Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Hambali dan
Eliza. 2007. Jarak Pagar, Tanaman Penghasil Biodiesel. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Hambali, E., Suryani,
A., Dadang, Ariyadi, Hanafie, H., Rekso-wardojo, I.K., Rivai, M., Ihsanur, M.,
Suryadarma, P., Tjitrosemito, S., Soerawidjaja, T.H., Prawitasari, T., Prakoso,
T., dan W. Purnama. 2006. Jarak Pagar
Tanaman Penghasil Biodisel. Penebar Swadaya, Jakarta.
Hariyadi, 2005. Sistem Budidaya Tanaman Jarak
Pagar (Jatropa curcas L.). Makalah
Seminar Nasional Pengembangan Jarak Pagar Untuk Biodiesel dan Minyak Bakar.
Bogor.
Hartman, H.T., D.E. Kester, dan
F.T. Davis-Jr. 1990. Plant Propagation: Principles and Practices. Englewood Clifts. New
Jersey: Prentice-Hall International, Inc.
Indrianto, A. 2002. Kultur jaringan tumbuhan. Fak.
Biologi UGM. Yogyakarta. 134 hal.
Jimenez,
V.M. 2001. Regulation of in vitro somatic embryogenesis with emphasis on the
role of endogenous hormones. R. Bras. Fisiol. Veg. 13(2): 196-223.
Kalimuthu,
K., S. Paulsamy, R. Senthilkumar dan M. Sathy. 2007. In vitro Propagation of
the Biodiesel Plant Jatropha curcas L. Plant Tissue Culture &
Biotechnology Journal 17(2): 137-147
Masukkan Komentar di bawah