Judul : Proliferasi Kalus dan
Embriogenesis Somatik Jarak Pagar (Jatropha
curcas L.) dengan Berbagai Kombinasi ZPT dan Asam Amino.
Untuk Hasil Dapat di Lihat di : http://www.sumberajaran.com/2015/04/hasil-penelitian-kultur-jaringan-jarak.html
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Jarak
pagar (Jatropha curcas Linn.)
merupakan anggota dari famili Euphorbiaceae yang merupakan tanaman perdu
serbaguna, dimana hampir semua bagian dari tanaman ini dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Tanaman ini berasal dari Amerika Tengah
dan telah menyebar sampai ke Afrika dan Asia. Penyebarannya hampir di seluruh
wilayah Indonesia (Thepsamran, 2007).
Jarak pagar
dipandang menarik sebagai sumber biodiesel karena kandungan minyak bijinya yang
tinggi yang dapat mencapai 63%, melebihi kandungan minyak biji kedelai (18%),
bunga matahari (40%), atau inti sawit (45%). Minyaknya didominasi oleh asam
oleat (44,7%), dan asam linoleat (32,8%) sementara asam palmitat (14,2%) dan
asam stearat (7%) adalah tipe asam lemak jenuhnya. Disamping itu penggunaannya
tidak berkompetisi untuk pemanfaatan lain. Sebagai biodiesel, minyak jarak
pagar perlu diproses dengan metilasi terlebih dahulu, sebagaimana minyak nabati
lain. Produk sampingan dari proses trans-esterifikasi (metilasi) dapat
diperdagangkan sebagai bahan baku industri yang memanfaatkan asam lemak,
seperti kertas berkualitas tinggi (high quality paper), sabun, kosmetik, obat
batuk, dan agen pelembab pada tembakau (Akbar et al., 2009).
Menurut data ESDM
(2006) cadangan minyak Indonesia hanya tersisa sekitar 9 milliar barel. Apabila
terus dikonsumsi tanpa ditemukannya cadangan minyak baru, diperkirakan cadangan
minyak ini akan habis dalam dua dekade mendatang. Bila hal ini terus berlanjut
tanpa mempertimbangkan energi alternatif maka akan terjadi permasalahan yang
krusial bagi ekonomi bangsa Indonesia.
Permasalahan utama
yang dialami dalam pengembangan tanaman jarak pagar ini adalah belum
tersedianya bibit unggul yang mampu menghasilkan produksi minyak jarak yang
tinggi dikarenakan mutu bibit yang digunakan masih belum memuaskan. Dalam upaya
untuk mendapatkan jarak pagar varietas unggul dapat dilakukan melalui perakitan
varietas unggul baru. Salah satu faktor penting dalam merakit varietas unggul
baru adalah adanya peningkatan keragaman genetik dari jarak pagar yang diberi
perlakuan tertentu.
Salah satu
teknologi pilihan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keragaman genetik
tanaman adalah dengan menggunakan teknologi kultur in vitro. Regenerasi
tanaman dengan menggunakan teknik kultur jaringan ini dapat dilakukan melalui
jalur organogenesis (melalui pembentukan organ langsung dari eksplan) dan embriogenesis
somatik (melalui pembentukan embrio somatik). Perbanyakan tanaman dengan
menggunakan teknik kultur jaringan melalui jalur embriogenesis somatik lebih
menguntungkan dibandingkan melalui organogenesis karena dapat menghasilkan
tanaman baru dengan jumlah yang lebih banyak. Selain itu, karena embrio somatik
berasal dari sel tunggal maka akan lebih mudah untuk memonitor proses
pertumbuhan setiap individu tanaman (Jimenez, 2001).
Embriogenesis
somatik merupakan suatu proses dimana sel – sel somatik (baik haploid maupun
diploid) berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahapan perkembangan embrio
yang spesifik tanpa melalui fusi gamet (Williams dan Maheswara, 1986).
Perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan melalui embriogenesis somatik
dapat berhasil apabila diperoleh presentase kalus embriogenik yang cukup tinggi
dari eksplan yang dikulturkan ke dalam media tertentu. Proses embriogenesis
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah genotip tanaman, sumber
eksplan, komposisi media, zat pengatur tumbuh dan keadaan fisiologi sel (Terzi
dan Loschiavo, 1990 ; Ehsanpour, 2002).
Kecepatan proses embriogenesis
somatik dipengaruhi oleh dua faktor pembatas yaitu inisiasi embrio somatik dan
regenerasi tanaman. Keduanya membutuhkan kondisi yang tepat termasuk komposisi
media dan zat pengatur tumbuh.
Masalah utama dalam penggunaan zat
pengatur tumbuh adalah ketepatan memilih jenis dan konsentrasi yang sesuai
dengan jenis tanaman dan kondisi fisiologis dari eksplan atau jaringan yang
ditumbuhkan. Hal ini dikarenakan setiap jenis dan jaringan tanaman mempunyai
respon tersendiri terhadap pemberian zat pengatur tumbuh. Disamping itu,
kandungan hormon pada tanaman juga harus diperhatikan. Zat pengatur tumbuh
adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah (< 1mM)
dapat mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan
tanaman (Wiendi et al., 1992). Dua golongan zat pengatur tumbuh yang
sangat penting adalah sitokinin dan auksin.
Secara umum
diketahui bahwa auksin dalam konsentrasi tinggi mendorong embrio somatik secara
efektif. Pada umumnya pemberian auksin kedalam medium padat tanpa sitokinin
dapat menginduksi kalus embriogenik, tetapi dengan penambahan sitokinin akan
meningkatkan proliferasi kalus embriogenik. Hasil pada embriogenesis somatik
langsung telah menunjukan bahwa BAP sangat penting untuk menginduksi
embriogenesis somatik dari kotiledon eksplan J. curcas. Embrio somatik adalah embrio yang berasal dari sel –
sel somatik (tidak merupakan hasil
peleburan gamet jantan dan gamet betina).
Asam - asam amino berperan penting untuk
pertumbuhan dan diferensiasi kalus. Penambahan kasein hidrolisat kedalam media
yang sudah mengandung 2,4-D dapat memacu pembentukan kalus yang embriogenik
karena kasein hidrolisat merupakan sumber N di dalam media. Selain kasein
hidolisat pemberian asam amino glutamin atau narginin pada media yang sudah
mengandung auksin dapat pula meningkatkan keberhasilan pembentukan kalus
embriogenik karena di dalam kloroplas, asam amino dapat berperan sebagai
prekursor untuk pembentukan asam nukleat dan proses seluler lainnya (Gunawan,
1988).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Vesco
dan Guerra (2001) pada tanaman Feijoa
sellowiana menunjukan bahwa penggunaan NO3- (49mM)
sebagai sumber N tunggal menghasilkan jumlah embrio somatik yang rendah, tetapi
ketika ke dalam media ditambahkan glutamin (4mM) maka jumlah embrio somatik
meningkat hingga 5,8 kali setelah 10 minggu.
Purmaningsih (2003) melakukan penelitian
pada 4 varietas padi, penggunaan formulasi media MS + 2,4-D 2 mgL- +
CH 3000 mgL-, MS + 2,4-D 0,5 mgL- +BA 0,5 mgL-
dan MS + 2,4-D 20 mgL- menghasilkan kalus yang remah (friable),
globular (terbentuk nodul – nodul), dan berwarna bening. Sedangkan formulasi
media MS + picloram 10 mgL- + thidiazuron 0,4 mgL- paling
rendah dalam menginduksi pembentukan kalus, selain itu kalus yang dihasilkan
bersifat kompak.
Sukmadjaja (2003)
melakukan penelitian pada tanaman cendana, presentase pembentukan embrio somatik
dari eksplan embrio zigotik muda pada media MS + BAP 2 mgL-
menunjukan nilai tertinggi (71,4%), sedangkan untuk eksplan embrio zigotik
dewasa, nilai tertinggi (63,6%) diperoleh pada media MS + BAP 1 mgL-.
Selanjutnya Sumaryono dan Riyadi (2005)
melakukan penelitian pada eksplan kina klon CB5 dan mendapatkan hasil
proliferasi kalus terbaik dengan bobot basah yang meningkat 12-14 kali dari
bobot awal dalam waktu 6 minggu yang diperoleh pada medium WP dengan pikloram
15 atau 30µM dikombinasikan dengan BAP 0,5µM.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Lestari dan Yunita (2006) terhadap eksplan embrio zigotik padi menunjukan bahwa
penambahan prolin 100 mgL-1 pada media yang sudah mengandung 2,4-D 3
mgL-1, menghasilkan kalus dengan diameter lebih besar, selain itu warna
kalus lebih kuning dan mudah pecah (remah).
Penelitian yang dilakukan oleh Meynarti et al. (2007) pada kultur meristem jahe
putih besar yang diambil dari rimpang panen muda dan tua didapatkan induksi embrio
globular pada kedua jenis eksplan yang digunakan, dengan jumlah embrio globular
eksplan asal rimpang yang dipanen tua lebih banyak dibandingkan panen muda.
Penelitian yang dilakukan oleh Rianawati et al., (2007) pada eksplan daun
anggrek, penggunaan media MP (1/2 MS + 0,5 mgL- 2,4-D + 0,2 mgL-
TDZ + 2 gL- pepton + 75 mlL- air kelapa + 1 gL-
arang aktif) mampu menghasilkan produksi berat kalus yang lebih baik dari pada
media untuk proliferasi kalus yaitu MR ((1/2 MS + 0,2 mgL- 2,4-D +
0,4 mgL- BAP + 2 gL- pepton + 75 mlL- air
kelapa + 1 gL- arang aktif). Pada penelitian tersebut proses
embriogenesis somatik telah terbukti tercapai dengan penggunaan media MR yang
mengandung BAP 0,4 mgL- dan 2,4-D 0,2 mgL-.
Yelnitis dan Tajudin (2010) melakukan
penelitian pada eksplan daun ramin yang masih muda, penggunaan 2,4-D 6.0 mgL-1
dikombinasikan dengan thidiazuron 1.5 mgL-1 dan biotin 1.5 mgL-1
merupakan perlakuan terbaik untuk induksi kalus friabel. Kalus yang dihasilkan
mempunyai struktur friabel dan mudah dipisahkan, selain itu kalus yang dihasilkan berwarna
putih.
Selanjutnya, Setianingrum (2010)
melakukan penelitian pada eksplan pucuk jarak pagar yang telah dikecambahkan
dari biji dengan menggunakan media MS, hasil yang diperoleh adalah berat kalus
tertinggi sebesar 2,56 gram berhasil diperoleh pada perlakuan BAP 2 ppm + 2,4-D
0,5 ppm.
Pada penelitian terdahulu telah
dilakukan tahapan untuk menginduksi terbentuknya kalus dari eksplan daun muda
jarak pagar. Namun dikarenakan masih sedikitnya atau terbatasnya jumlah kalus
yang terbentuk pada media induksi, maka kalus – kalus tersebut kemudian harus
di proliferasikan pada media yang mengandung kombinasi zat pengatur tumbuh dan
asam amino. Penentuan kombinasinya adalah dengan memilih berdasarkan hasil –
hasil penelitian terdahulu dengan harapan kalus yang akan diproliferasikan nantinya
mendapatkan jumlah yang banyak dan embriogenik.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis
mencoba melakukan penelitian dengan judul “Proliferasi
Kalus dan Embriogenesis Somatik Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dengan Berbagai Kombinasi ZPT dan Asam Amino”.
1.2 Tujuan
Untuk
mendapatkan kombinasi zat pengatur tumbuh dan asam amino yang terbaik dalam
proliferasi kalus dan embriogenesis somatik Jarak Pagar (Jatropha curcas L.).
1.3
Kegunaan
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dan informasi
mengenai kombinasi zat pengatur tumbuh dan asam amino terbaik dalam proliferasi
kalus dan embriosomatik Jarak Pagar (Jatropha
curcas L.).
1.4
Hipotesis
1.
Kombinasi
zat pengatur tumbuh dan asam amino memberikan pengaruh yang berbeda terhadap
proliferasi kalus dan embriosomatik Jarak Pagar (Jatropha curcas L.).
2.
Terdapat
kombinasi zat pengatur tumbuh dan asam amino terbaik dalam proliferasi kalus
dan embriogenesis somatik pada eksplan kalus asal daun muda umur 30 hari.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Umum Tanaman Jarak Pagar
Jarak
pagar (Jatropha curcas Linn.)
merupakan tumbuhan semak berkayu dari Famili Euphorbiaceae yang berasal dari
Amerika Tengah dan telah menyebar sampai ke Afrika dan Asia (termasuk
Indonesia). Berdasarkan taksonominya, jarak pagar diklasifikasikan sebagai
berikut.
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo :
Malpigihiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Jatropha
Spesies : Jatropha curcas L. (Hambali et
al., 2006)
Jarak pagar mempunyai sosok yang
kekar, batang berkayu bulat dan pada setiap mata ruas terdapat titik tumbuh
daun. Jika tertoreh batang tanaman ini akan mengeluarkan getah (Nurcholis et al., 2006). Menurut Hambali dan Eliza
(2007), jarak pagar dapat hidup dan berkembang dari dataran rendah sampai
dataran tinggi, curah hujan yang rendah maupun tinggi (300 – 2.380 ml/tahun),
suhu antara 20 - 26°C. Karena sifat tersebut tanaman jarak pagar mampu tumbuh
pada tanah berpasir, berbatu, lempung ataupun tanah liat, sehingga jarak pagar
dapat dikembangkan pada lahan kritis.
Daun jarak pagar adalah daun
tunggal, bersudut 3 atau 5, tulang daun menjari dengan 5 – 7 tulang utama.
Daunnya berwarna hijau dengan panjang tangkai daun antara 4 – 15 cm, panjang
helai daun 6 – 16 cm dan lebar 5 – 15 cm (Priyanto, 2007). Pada
daun yang sedang berkembang, terdapat sebongkah sel meristem pada ketiak daun,
antara daun dan batang. Bongkah ini merupakan bagian rudiment kuncup ketiak,
dan jika bagian ini berkembang penuh, maka akan terjadi susunan yang sama
dengan kuncup ujung (tunas). Perkembangan kuncup ketiak ini akan mengalami dorman
pada awal perkembangannya, atau mungkin akan menjadi pucuk cabang (Loveless,
1991).
Bunga
tanaman jarak pagar berwarna kuning kehijauan yang berupa bunga majemuk
berbentuk malai, berumah satu dan uniseksual, kadang – kadang ditemukan bunga
hermaprodit. Jumlah bunga betina 4 – 5 kali lebih banyak dari bunga jantan.
Bunga mempunyai 5 mahkota berwarna keunguan (Hambali et al., 2006).
Buah
jarak pagar berbentuk bulat dengan diameter 2 – 4 cm dengan permukaan tidak
berbulu (gundul). Berwarna hijau jika masih muda, kemudian hijau kekuningan,
kuning, kuning kehitaman, dan hitam. Buah umumnya terbagi dalam 3 ruang yang
masing – masing terisi oleh satu biji (Priyanto, 2007).
Biji
jarak pagar berbentuk lonjong, berwarna coklat kehitaman dengan ukuran panjang
2 cm dan tebal 1 cm, serta berat 0,4 – 0,6 gram/biji. Kandungan minyak yang
terdapat dalam biji baik cangkang maupun buah berkisar 25 – 35% berat kering
biji (Prihadana R, 2007). Biji yang matang ditandai dengan perubahan warna
kulit buah dari hijau menjadi kuning. Biji ini yang banyak mengandung minyak
dengan rendemen 25 – 30% dan mengandung toksin sehingga tidak dapat dimakan
(Hariyadi, 2005).
2.2
Proliferasi Kalus
Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous
yang terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus menerus.
Dalam keadaan in vivo, kalus pada umumnya terbentuk dari bagian luka
akibat serangan infeksi mikroorganisme : Agrobacterium tumifaciens,
gigitan atau tusukan serangga dan nematoda. Kalus juga dapat terbentuk sebagai
akibat stres (George & Sherrington, 1984 dalam Gunawan, 1988). Sel-sel
penyusun kalus adalah sel-sel parenkim yang mempunyai ikatan yang renggang
dengan sel-sel lain. Dalam kultur in vitro, kalus dapat dihasilkan dari
potongan organ yang telah steril, didalam media yang mengandung auksin dan
terkadang sitokinin. Kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman.
Organ tanaman yang berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan sel yang berbeda
pula. Bagian tanaman seperti embrio muda, hipokotil, kotiledon, dan batang muda,
merupakan bagian yang mudah untuk mengalami proses dediferensiasi dan
menghasilkan kalus.
Terbentuknya kalus
merupakan akibat dari adanya perlukaan pada permukaan eksplan dan pengaruh
perlakuan zat pengatur tumbuh yang diberikan pada medium kultur. Kalus
mempunyai pertumbuhan yang abnormal dan berpotensi untuk berkembang menjadi
akar, tunas dan embrioid yang nantinya akan dapat membentuk plantlet.
Beberapa kalus ada
yang mengalami pembentukan lignifikasi sehingga kalus tersebut mempunyai
tekstur yang keras dan kompak. Namun ada kalus yang tumbuh terpisah-pisah
menjadi fragmen-fragmen yang kecil, kalus yang demikian dikenal dengan kalus
remah (friable). Warna kalus dapat bermacam-macam tergantung dari jenis sumber
eksplan itu diambil, seperti warna kekuning-kuningan, putih, hijau, atau kuning
kejingga-jingaan.
Kalus embriogenik mempunyai struktur
friabel, noduler dan berwarna putih atau kekuningan. Kalus embriogenik juga dicirikan oleh sel
yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil – kecil dan
mengandung butir pati (Purmaningsih 2002, Kalimuthu et al., 2007). Menurut Indrianto (2002) insiasi kalus embriogenik
terjadi sebagai respon dari stres akibat pangaruh konsentrasi auksin yang
relatif tinggi. Proliferasi kalus ditandai dengan semakin bertambahnya massa
kalus akibat pertambahan embrio yang baru. Pertambahan
massa kalus terlihat dengan ukuran diameter kalus yang semakin besar.
2.3
Embriogenesis Somatik
Embriogenesis
somatik merupakan suatu proses perkembangan embrio lengkap dari sel – sel
vegetative atau sel – sel somatic yang diperoleh dari berbagai sumber eksplan.
Inisiasi dan diferensiasi embrio somatic tidak melibatkan proses seksual. Tahap
perkembangan embrio somatik menyerupai embrio zigotik. Secara spesifik tahap
perkembangan tersebut dimulai dari fase globular, fase hati, fase torpedo, dan
planlet (Henry et al., 1998 dalam Gaj, 2001).
Rice
et al. (1992) menyatakan bahwa embriogenesis
somatik merupakan teknik yang paling menjanjikan untuk perbanyakan dalam waktu
cepat pada tanaman pertanian. Embrio – embrio somatik dapat muncul langsung
dari permukaan eksplan, misalnya pada eksplan kotiledon Cucumis sativus (Ladyman dan Girard, 1992) dan tunas Foeniculum vulgare (Theiler – Hedtrich
dan Kagi, 1992) atau setelah fase penggandaan yang melibatkan pembentukan
kalus, seperti pada Irish pumila
(Radojevic et al., 1987), Fuchsia (Dabin dan Beguin, 1987), dan Swainsona formosa (Zulkarnain, 2003).
Embrio somatik
dapat terbentuk melalui dua jalur, yaitu secara langsung maupun tidak langsung
(melewati fase kalus). Embriogenesis somatik langsung adalah suatu perkembangan
embrio secara langsung dari eksplan aslinya. Sedangkan embriogenesis somatik
secara tidak langsung adalah pembentukan embrio yang melewati fase kalus, suspensi
sel, sel atau sekelompok sel embrio somatik. Keberhasilan akan dicapai apabila
kalus atau sel yang digunakan bersifat embriogenik yang dicirikan oleh sel yang
berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil – kecil dan
mengandung butir pati (Purmaningsih
2002, Kalimuthu et al., 2007).
Menurut Ammirato (1983) Faktor – faktor yang mempengaruhi regenerasi
tanaman melalui jalur embriogenesis diantaranya adalah eksplan (embriogenesis
langsung umumnya dari eksplan yang juvenile), media kultur (mencakup komponen
penyusun media), zat pengatur tumbuh (aukisin merupakan salah satu zpt yang
paling banyak digunakan untuk induksi embriogenesis), cahaya (embriogenesis
biasanya terjadi pada intensitas cahaya yang rendah atau dalam kondisi yang
gelap), jenis kultur (kultur media padat, semi solid atau media cair), dan
genotip (sumber bahan tanam yang digunakan).
Wattimena (1992), beberapa faktor yang perlu diperhatikan selama kultur embriogenesis
adalah :
- Pada
tahap inisiasi embrio somatik, sel embriogenik akan dihasilkan jika dikulturkan
pada media yang mengandung auksin.
- Pada
awal proses embriogenesis, perlu dilakukan subkultur sel atau kalus embrionik
ke media dengan auksin rendah, atau bahkan tanpa auksin.
- Pemberian
nitrogen perlu dilakukan dan sangat dikehendaki dalam pembentukan organ, NH4+
atau dalam bentuk asam amino glutamin ataupun alanin, dan NO3-
harus tetap ada dalam media. Penambahan kasein hidrolisat dilakukan untuk
menambah ketersediaan NO3- dan NH4+.
- Pada
embriogenesis kultur suspensi, sebaiknya dilakukan sub kultur untuk menginduksi
terjadinya sel – sel yang embrionik, serta menghindari auksin yang terlalu
tinggi atau bahkan tidak menggunakan auksin sama sekali.
2.4
Faktor
– Faktor yang Mempengaruhi Embriogenesis Somatik
2.4.1
Eksplan
Jenis eksplan adalah faktor
awal yang menentukan keberhasilan kultur jaringan. Meskipun
masing-masing sel tanaman memiliki kemampuan totipotensi, namun masing-masing
jaringan memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk tumbuh dan beregenerasi
dalam kultur jaringan. Oleh karena itu, jenis eksplan yang digunakan untuk
masing-masing kultur berbeda-beda tergantung tujuan pengkulturannya. Eksplan
dapat berasal dari seluruh bagian tubuh tumbuhan seperti daun, batang,
hipokotil, akar, dan bunga serta dapat juga termasuk sel yang terspesialisasi
lebih tinggi seperti mesofil daun, epidermis, dan butir polen (Srivastava,
2002). Pierik (1997) mengemukakan tiga aspek utama dalam pemilihan bahan
eksplan, yaitu genotip, umur, dan kondisi fisiologis bahan tersebut.
Daun muda
mempunyai sifat meristematis sehingga sel – sel yang menyusun jaringan masih aktif
membelah. Pada daun yang masih meristematis disimpan hormon auksin. Menurut
Suryowinoto (1996), penambahan auksin yang lebih stabil seperti 2,4-D cenderung
menyebabkan terjadinya pertumbuhan kalus dari eksplan.
Walaupun tanaman
dapat diperoleh dari sejumlah genotip, kemampuan regenerasi setiap genotip
sangat berbeda (Tomes, 1985). Pengaruh genotip pada proliferasi sel dapat dilihat
pada kapasitas regenerasinya. Pada umumnya tanaman dikotil lebih mudah
berproliferasi pada kultur in vitro dibandingkan tanaman monokotil.
Umur eksplan juga
sangat berpengaruh terhadap kemampuan eksplan tersebut untuk tumbuh dan
beregenerasi. Hartmann et al. (1990)
menyatakan bahwa jaringan – jaringan yang sedang aktif tumbuh pada awal masa
pertumbuhan biasanya merupakan bahan eksplan yang paling baik. Jaringan muda
umumnya memiliki sel-sel yang aktif membelah dengan dinding sel yang belum
kompleks sehingga lebih mudah dimodifikasi dalam kultur dibandingkan jaringan
tua. Oleh karena itu, inisiasi kultur biasanya dilakukan dengan menggunakan
pucuk-pucuk muda, kuncup-kuncup muda, hipokotil, inflorescence yang belum
dewasa, dll. Jika eksplan diambil dari tanaman dewasa, rejuvenilisasi tanaman
induk melalui pemangkasan atau pemupukan dapat membantu untuk memperoleh
eksplan muda agar kultur lebih berhasil.
Kondisi fisiologis eksplan memiliki
peranan penting bagi keberhasilan teknik kultur jaringan. Pierik (1997) menyatakan
bahwa pada umumnya bagian – bagian vegetatif lebih siap beregenerasi daripada
bagian – bagian generatif. Eksplan mata tunas yang diperoleh dari tanaman yang
sedang istirahat, lebih sulit berproliferasi daripada mata tunas yang diperoleh
dari tanaman yang sedang aktif tumbuh. Hal itu sama halnya dengan kasus
dormansi pada eksplan biji.
2.4.2
Media
kultur
Fungsi utama media menurut Widarto (1996)
adalah mensuplai nutrisi dan zat pengatur tumbuh. Dari sekian banyak jenis
media dasar yang digunakan dalam teknik kultur jaringan, media yang
dikembangkan oleh Murashige dan Skoog (MS) telah digunakan secara luas pada
kultur sel dan kultur suspensi sel. Keuntungan penggunaan medium MS adalah
kandungan nitrat, kalium, dan amoniumnya yang tinggi (Wetherell dan Constabel,
1991). Collin dan Edwards (1998) menambahkan bahwa media MS merupakan media
yang umum digunakan dan dengan kandungan hara makro yang tinggi.
2.4.3 Zat Pengatur Tumbuh
(ZPT)
Pemakaian
zat pengatur tumbuh didasari oleh fungsi atau peranan dan kestabilan hormon.
Zat pengatur tumbuh auksin, sitokinin, dan giberelin adalah hormon – hormon
yang mempunyai peran ganda dalam propagasi secara in vitro, hormon – hormon
tersebut sering digunakan karena mempunyai kemampuan untuk merangsang
pertumbuhan eksplan.
Menurut Wetherell (1982) bahwa zat – zat
pengatur tumbuh tersebut untuk setiap spesies dan bagian – bagian tanaman
sangat berbeda – beda, juga tergantung dari tujuan masing – masing tahap dalam
propagasi. Wiendi et al. (1992) melaporkan bahwa dalam aplikasinya di
dalam kultur jaringan tanaman, konsentrasi efektif untuk masing-masing zat
pengatur tumbuh berbeda. Penentuan taraf konsentrasi disesuaikan dengan tipe
organ atau eksplan, metode kultur jaringan, dan tingkat kultur jaringan
(pembuatan kalus, induksi tunas, induksi akar, dan lain-lain).
2.4.3.1
Auksin
Auksin umumnya berfungsi terhadap
pemanjangan sel, pembentukan kalus, dan akar adventif serta menghambat
pembentukan tunas aksilar. Auksin juga terlibat dalam proses fisiologi dalam
tumbuhan, antara lain fototropisme, geotropisme, inisiasi akar, produksi
etilen, pembentukan kalus, perkembangan buah, partenokarpi, absisi, dan
ekspresi kelamin pada tumbuhan hermafrodit.
Dalam konsentrasi rendah auksin akan
memacu pertumbuhan akar adventif, sedangkan dalam konsentrasi tinggi mendorong
pembentukan kalus (Pierik, 1987). Auksin yang sering dipakai dalam kultur
jaringan adalah IAA (Indole Acetic Acid), 2,4-D (2,4 Dichlorophenoxy Acetic
Acid), IBA (Indole Butyric Acid), dan NAA (Naphtalen Acetic Acid) (George dan
Sherrington, 1984). Menurut Kyte dan Kleyn (1996) auksin dapat diberikan secara
tunggal maupun dikombinasikan dengan sitokinin untuk menginduksi kalus.
Wetherel dan Constabel (1991) mengemukakan
bahwa salah satu senyawa yang paling sering digunakan untuk menginduksi
pembelahan sel adalah asam 2,4 diklorofenoksiasetat (2,4-D). Dalam
budidaya in vitro, menginduksi kalus merupakan salah satu langkah penting. Jika
endosperm tanaman dikotil dipakai dan pada medium ditambahkan hormon dari
kelompok auksin yaitu 2,4-D atau IAA, maka harus ditambahkan pula hormon dari
kelompok sitokinin yaitu kinetin atau BAP (Suryowinoto, 1996).
Auksin yang kuat
seperti 2,4-D, pikloram, dan NAA umumnya digunakan untuk merangsang
terbentuknya embrio somatik (Yusnita, 2003). Purmaningsih (2002) mengemukakan
bahwa 2,4-D merupakan auksin yang efektif untuk menginduksi kalus embriogenik
karena cukup kuat dan tahan terhadap degradasi karena reaksi enzimatik dan
fotooksidasi.
Khumaida dan Handayani (2009) melakukan
penelitian pada eksplan kotiledon muda kedelai dan mendapatkan bahwa pada media
proliferasi kalus embriogenik yang meliputi media MSIIA (media dasar MS,
vitamin B5, sukrosa 3%, gelrite 0,2%, 5 mgL-1 2,4-D, dan 5 mgL-1
NAA) memberikan hasil yang lebih baik pada pertumbuhan kalus embriogenik.
2.4.3.2
Sitokinin
Sitokinin adalah senyawa yang dapat
meningkatkan pembelahan sel pada jaringan tanaman serta mengatur pertumbuhan
dan perkembangan tanaman, sama halnya dengan kinetin (6-furfurylaminopurine)
(Zulkarnain, 2009). Sitokinin merupakan senyawa pengganti adenine yang
meningkatkan pembelahan sel dan fungsi pengaturan pertumbuhan. Sitokinin banyak
ditemukan dalam tumbuhan. Peranannya dalam tumbuhan adalah sebagai berikut :
mengatur pembelahan sel, pembentukan organ, pembesaran sel dan organ,
pencegahan kerusakan klorofil, pembentukan kloroplas, penundaan senescens,
pembukaan dan penutupan stomata, serta perkembangan mata tunas dan pucuk.
Wattimena (1992) menjelaskan bahwa ZPT dari golongan sitokinin sangat berperan
di dalam kultur jaringan antara lain berhubungan dengan proses pembelahan sel,
proliferasi tunas, dan induksi organ. Sitokinin yang sering digunakan dalam
kultur jaringan adalah BAP (Benzil Amino Purin) dan Kinetin (George dan
Sherrington, 1984).
Pada sitokinin ada dua kelompok yang
berperan penting dalam system biossay tanaman. Pertama, kelompok purin yang
menghasilkan turunan BAP berperan penting dalam menginduksi respon fisiologi
seperti regulasi pembelahan sel, diferensiasi jaringan dan organ serta
biosintesis klorofil. Kedua, kelompok fenil urea sintetik yang menghasilkan
turunan thidiazuron (TDZ: Nphenyl-N (1,2,3-thidiazol-5-yl)urea) berperan
penting dalam meningkatkan biosintesis dan akumulasi sitokinin endogen (Victor et
al., 1999). Selain itu, TDZ dapat menggantikan tipe adenine dalam
pembentukan kultur kalus dan mikroprogasi pada spesies tanaman berkayu (Lu,
1993).
Disamping itu, penggunaan Thidiazuron
dapat pula mempengaruhi penggunaan tunas aksilar. Telah banyak dilaporkan bahwa
thidiazuron mempunyai aktifitas yang menyerupai sitokinin (Nielsen et al., 1993). Lu (1993) menyatakan
bahwa senyawa tersebut dapat menginduksi pembentukan tunas adventif dan
proliferasi tunas aksilar. Pada
tanaman hias antara lain Azela, thidiazuron dapat meningkatkan proses
proliferasi tunas. Demikian pula Sinaga et al. (1996) menggunakan
thidiazuron untuk perbanyakan cepat tanaman Pisum sativum. Diduga,
thidiazuron mendorong terjadinya perubahan sitokinin ribonukleotida menjadi
ribonukleosida yang secara biologis lebih aktif (Capella et al., dalam Lu
1993).
2.4.4
Asam Amino
Beberapa asam amino atau amida yang sering
memberikan hasil positif pada kultur in vitro adalah asam L-aspartatm
L-asparagin, asam L-glutamat, L-glutamin, dan L-arginin. Diantara auksin kuat
seperti 2,4-D, dicamba dan picloram, asam amino seperti kasein hidrolisat,
L-glutamin, L-prolin, dikenal sebagai media tumbuh yang mampu menginduksi kalus
embriogenik pada berbagai jenis tanaman (Ogita et al., 2001). Asam - asam
amino berperan penting untuk pertumbuhan dan diferensiasi kalus.
Penambahan kasein hidrolisat kedalam media
yang sudah mengandung 2,4-D dapat memacu pembentukan kalus yang embriogenik
karena kasein hidrolisat merupakan sumber N di dalam media. Selain kasein
hidolisat pemberian asam amino glutamin atau narginin pada media yang sudah
mengandung auksin dapat pula meningkatkan keberhasilan pembentukan kalus
embriogenik karena di dalam kloroplas, asam amino dapat berperan sebagai
prekursor untuk pembentukan asam nukleat dan proses seluler lainnya (Gunawan,
1988).
III.
METODE PENELITIAN
3.1
Tempat dan Waktu
Penelitian
ini dilaksanakan di Laboraturium Bioteknologi Tanaman, Jurusan Budidaya
Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jambi, Mendalo Darat, Jambi.
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan
desember sampai bulan april 2012.
3.2
Bahan dan Alat
Bahan
tanaman (eksplan) yang digunakan dalam penelitian ini adalah kalus yang
berasal dari daun muda berumur 30 hari. Bahan media yang akan digunakan adalah
bahan dasar media MS (Murishage dan Skoog) yang komposisi medianya terlampir
pada Lampiran 1, zat pengatur tumbuh TDZ (Thidiazuron), 2,4-D (2,4 Dichlorophenoxy
Acetic Acid), glutamin, BAP (Benzil Amino Purin), CH (Casein Hydrolisat), dan
Prolin sebagai zat pengatur tumbuh yang konsentrasinya sesuai perlakuan.
Sebagai bahan pemadat digunakan agar – agar powder
8gL-1, sukrosa 30 gL-1,
manitol, alkohol 70%, alkohol 96%, aquadest,
spritus, KOH 0,1 N, dan HCl 0,1 N.
Alat
– alat yang digunakan adalah Laminar Air
Flow Cabinet (LAFC), autoklaf, hot plate, timbangan analitik, botol kultur,
magnetic stirrer, pH meter, plastic kaca, gelas piala, gelas ukur, scalpel, pinset, pipet, lampu spirtus,
korek api, kertas label, petridis, millimeter block, mikroskop cahaya, kertas
saring, dan luv.
3.3
Rancangan Penelitian
Penelitian
ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor dengan Sembilan
perlakuan media, yaitu :
-
T1
= MS + 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin
-
T2
= MS + 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Glutamin
-
T3
= MS + 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Kasein Hidrolisat
-
T4
= MS + 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D + 100 ppm Kasein Hidrolisat
-
T5
= MS + 1 ppm TDZ + 1 ppm 2,4-D
-
T6
= MS + 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D
-
T7 = MS0
(tanpa gula) + 3% manitol
-
T8 = MS +
Prolin 50µM
-
T9 = MS +
Prolin 25µM
Dari faktor diatas
diperoleh 9 perlakuan dengan 3 ulangan, sehingga terdapat 27 satuan percobaan.
Pada masing – masing satuan percobaan terdapat 4 botol kultur sehingga terdapat
108 botol kultur. Tiap botol masing – masing ditanam 1 eksplan dan semua
populasi diamati.
3.4
Metode Penelitian
3.4.1
Sterilisasi Alat
Untuk
mencegah terjadinya kontaminasi, sebelum penelitian dimulai semua alat yang
akan digunakan seperti petridish, pinset, scalpel, dan botol kultur dicuci
dengan sabun dan dibilas dengan air sampai bersih. Kemudian disterilkan dalam
autoklaf selama 1 jam dengan tekanan 17,5 psi dan suhu 121°C.
3.4.2
Pembuatan Media
Media
yang dibuat adalah media MS dengan kombinasi ZPT dan asam amino sesuai
perlakuan. Untuk memudahkan pembuatan media, maka terlebih dahulu disiapkan
larutan stok. Semua larutan stok dipipet sebanyak yang dibutuhkan kemudian
dimasukkan ke dalam gelas piala 250 mL
Setelah
semua larutan stok dimasukan kedalam gelas piala, kemudian dimasukkan gula dan
agar ke dalamnya, kemudian tepatkan pada volume 250 mL dengan menambahkan
aquades. Setelah itu pH diatur 5,6 – 5,8 dengan menambahkan HCL 0,1 N atau KOH
0,1 N, larutan dipanaskan sambil diaduk dengan stirrer. Pemanasan dihentikan
bila larutan telah mendidih.
Media
tersebut dituangkan ke dalam botol kultur, kemudian ditutup dengan plastik
tahan panas, diikat dengan karet gelang dan diberi label sesuai perlakuan.
Setelah itu media disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C
dengan tekanan 17,5 psi selama 30 menit.
3.4.3
Persiapan dan Subkultur Eksplan
Subkultur
eksplan dilakukan di dalam laminar air flow cabinet (LAFC) yang telah
disterilkan dengan sinar ultraviolet selama minimal satu jam dan disemprot
alkohol 70%. Semua bahan dan alat yang akan dimasukkan ke dalam LAFC juga
disemprot alkohol 70%.
Setelah
itu kalus yang berhasil ditumbuhkan dari eksplan daun kemudian dipotong –
potong dengan ukuran yang hampir sama dengan menggunakan pisau scalpel di dalam
petridish untuk disubkulturkan di dalam media proliferasi kalus sesuai
perlakuan. Kalus berasal dari hasil induksi kalus yang berasal dari eksplan
daun muda umur 30 hari yang dikulturkan dalam media yang sama dengan media
proliferasi. Pada saat penanaman mulut botol menghadap ke bunsen, hal ini
dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Kemudian mulut botol ditutup
dengan plastik tahan panas dan diikat dengan karet gelang. Botol diberi label
sesuai perlakuan. Setiap botol kultur berisi 1 eksplan.
3.4.4
Pemeliharaan
Pemeliharaan
meliputi menjaga kebersihan, pemisahan eksplan atau media yang telah
terkontaminasi oleh mikroorganisme dari ruang inkubasi. Penyemprotan lokasi
percobaan dan botol – botol eksplan dilakukan setiap hari dengan alkohol 70%.
3.5
Variabel yang Diamati
3.5.1
Bobot segar kalus
Pengamatan
dilakukan pada akhir penelitian, pada masing – masing perlakuan. Bobot segar
kalus yang telah dipanen ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik. Penghitungan
bobot segar kalus dihitung dengan cara menghitung selisih antara bobot akhir dan bobot awal.
3.5.2
Diameter kalus
Pengamatan
dilakukan pada akhir penelitian, pada masing – masing perlakuan. Diameter kalus
yang telah dipanen kemudian diukur diameternya dengan menggunakan kertas
millimeter block dan kaca pembesar (luv). Penghitungan diameter kalus dihitung
dengan cara menghitung selisih antara diameter akhir dan diameter awal.
3.5.3
Karakteristik kalus
Pengamatan
dilakukan dengan mengamati karakteristik kalus seperti :
a.
Warna
kalus
Pengamatan dilakukan pada setiap eksplan
kalus pada akhir penelitian. Setiap eksplan diamati warna kalus yang terbentuk
seperti warna putih, kuning, cokelat, dan hijau.
b.
Struktur
kalus
Pengamatan
dilakukan pada akhir penelitian, dimana setiap eksplan kalus dilihat struktur
yang terbentuk dan dibedakan menjadi kalus dengan struktur kompak dan kalus
struktur remah.
3.5.4
Presentase
kalus embriogenik secara mikroskopik
Pengamatan
dilakukan dengan menghitung jumlah kalus embriogenik yang terlihat dibawah
mikroskop pada akhir penelitian.
3.6
Analisis Data
Data hasil pengamatan akan
dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis ragam kemudian
dilanjutkan dengan Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf α = 5%.
DAFTAR
PUSTAKA
Akbar,
Yaakob, Kamarudin, Ismail, Salimon. 2009. Caracteristic and Composition of
Jatropha Curcas Oil Seed from Malaysia and its Potential as Biodiesel
Feedstock. Eur.J.Sci.Res. 29:396-403.
Ammirato, P.V. 1983. Embryogenesis.
In D.A. Evans, W.R. Sharp, P.V. Ammirato, and Y. Yamada. (Eds.).
Handbook of Plant Cell Culture 1:82-123.
Collin,
H. A and S. Edwards. 1998. Plant Cell Culture. BIOS Scientific Publishers.
London. 158p.
Dabin,
P. dan F. Beguin. 1987. Somatic
Embryogenesis in Fuchsia. Acta Horticulturae 212.
Ehsanpour,
A. A. 2002. Induction of somatic embryogenesis from endosperm of oak (Quercus castanifolia).
In A. Taji and R. Williams (ed.). The importance of plant tissue culture and
biotechnology in plant science. Univ. of New England Unit, Australia. P.273 –
277.
Gaj, M.D. 2001. Direct
somatic embryogenesis as a rapid and efficient system for in vitro regeneration
of Arabidopsis thaliana. Plant Cell and Organ Culture 64:39-46.
George, E. F. Dan
Sherrington, 1984. Plant Propagation by
Tissue Culture. Exegetics Ltd, England.
Gunawan, L.W. 1988. Teknik
Kultur Jaringan Tumbuhan. PAU
Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Hambali dan
Eliza. 2007. Jarak Pagar, Tanaman Penghasil Biodiesel. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Hambali, E., Suryani,
A., Dadang, Ariyadi, Hanafie, H., Rekso-wardojo, I.K., Rivai, M., Ihsanur, M.,
Suryadarma, P., Tjitrosemito, S., Soerawidjaja, T.H., Prawitasari, T., Prakoso,
T., dan W. Purnama. 2006. Jarak Pagar
Tanaman Penghasil Biodisel. Penebar Swadaya, Jakarta.
Hariyadi, 2005. Sistem Budidaya Tanaman Jarak
Pagar (Jatropa curcas L.). Makalah
Seminar Nasional Pengembangan Jarak Pagar Untuk Biodiesel dan Minyak Bakar.
Bogor.
Hartman, H.T., D.E. Kester, dan
F.T. Davis-Jr. 1990. Plant Propagation: Principles and Practices. Englewood Clifts. New
Jersey: Prentice-Hall International, Inc.
Indrianto, A. 2002. Kultur jaringan tumbuhan. Fak.
Biologi UGM. Yogyakarta. 134 hal.
Jimenez,
V.M. 2001. Regulation of in vitro somatic embryogenesis with emphasis on the
role of endogenous hormones. R. Bras. Fisiol. Veg. 13(2): 196-223.
Kalimuthu,
K., S. Paulsamy, R. Senthilkumar dan M. Sathy. 2007. In vitro Propagation of
the Biodiesel Plant Jatropha curcas L. Plant Tissue Culture &
Biotechnology Journal 17(2): 137-147
Khumaida, N., dan Tri Handayani. 2009. Induksi dan
Proliferasi Kalus Emriogenik. Embryogenic
Callus Induction and Proliferation on Several Soybean Genotype. J. Agron. Indonesia 38 (1) : 19 - 24 (2010).
Kyte, L. and Kleyn,
J. 1996. Plant from Test Tubes an
Introduction to Micropropagation. Third Edition. Timber Press Inc.
Washington.
Ladyman, A.R. dan B.
Girard. 1992. Nonhormonal Factors that
Improve the Multiplication and Development of Somatic Embryos of Cucumber
(Cucumis sativus L.). Acta Horticulturae 300.
Lestari,
E. G dan Yunita, Rosa. 2006. Induksi Kalus dan Regenerasi Tunas Padi Varietas
Fatmawati. Bal. Agron. (36) (2) 106 – 110 (2008).
Loveless, A.R. 1991. Prinsip – prinsip Biologi Tumbuhan untuk
Daerah Tropik. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 408 halaman.
Lu,
C.Y. 1993. The use of thidiazuron in tissue culture. In vitro Cell Dev.
Biol. 29:92-96.
Meynarti, S.D.I.,
Otih, R., dan Nurul Khumaida. 2007. Pengaruh Umur Eksplan Terhadap Keberhasilan
Pembentukan Kalus Embriogenik Pada Kultur Meristem Jahe (Zingiber officinale Rosc).
Nielsen,
J.M., K. Brandt, and J. Hansen. 1993. Long term effects of thidiazuron are
intermediate between benzyladenine, kinetin or isopentenyl adenine in Micanthus
sinensis. Plant Cell, Tissue, and Organ Culture 35:173-179.
Nuscholis, Mohammad dan
Sumarsih, Sri. 2006. Jarak Pagar dan Pembuatan Biodiesel. Yogyakarta: Kanisius.
Ogita S, Sasamoto H,
Yeung EC and Thorpe TA. 2001. The Effects of Glutamine on The Maintenance of
Embryogenic Cultures of Cryptomeria
japonica. In vitro Cell Dev. Plant. 15,473-497.Untuk Hasil Dapat di Lihat di : http://www.sumberajaran.com/2015/04/hasil-penelitian-kultur-jaringan-jarak.html
Masukkan Komentar di bawah