PENGARUH KOMBINASI IAA DAN BAP TERHADAP PERTUMBUHAN NODUL PISANG RAJA NANGKA (Musa
sp.) SECARA IN VITRO
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui pengaruh kombinasi IAA dan BAP
terhadap pertum-buhan nodul pisang raja nangka untuk pembentukan tunas mikro
serta memperoleh kombinasi IAA dan BAP
yang memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan nodul pisang raja nang-ka
dalam menghasilkan tunas mikro. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Ta-naman Fakultas
Pertanian Universitas Jambi. Penelitian disusun dengan menggunakan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan pola
perlakuan faktorial yang terdiri dari 2 faktor yaitu BAP
(0 mg L-1; 3 mg L-1; 4 mg L-1; 5 mg L-1)
dan IAA (0 mg L-1; 0,1 mg L-1; 0,2 mg L-1)
sehingga terdapat 12 kombinasi perlakuan yang diulang empat kali. Eksplan yang
digunakan adalah nodul in vitro pi-sang
raja nangka hasil kultur bunga jantan jantung pisang. Nodul tersebut dipisahkan
menjadi be-berapa bagian masing-masing berukuran 0,5 - 1 cm, lalu ditanam pada
media MS padat selama sa-tu bulan (pra penelitian) lalu di subkultur pada media
MS padat yang ditambahkan dengan IAA dan BAP
sesuai perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksplan menunjukkan
tanggapan positif dalam pembentukan tunas mikro, namun pembentukan tunas ini
hanya dipengaruhi oleh penambahan BAP.
Nilai maksimal persentase eksplan yang membentuk tunas (47,89%) dan nilai
maksimal jumlah tunas per eksplan (1,67) diperoleh dari kombinasi 3,0 mg L-1
BAP tanpa IAA. Adanya
penambahan zat pengatur tumbuh ternyata belum mampu untuk memacu pembentukan
akar.
Kata kunci: kultur
jaringan, nodul, IAA, BAP, pisang
raja nangka, Musa sp.
PENDAHULUAN
Pisang (Musa sp.) salah
satu komoditas hortikultura, merupakan tanaman asal Asia
Teng-gara, termasuk Indonesia,
yang kini telah tersebar luas ke seluruh dunia. Produksi pisang di In-donesia
saat ini mencapai 3,6 ton per hektar, jumlah tersebut menempati urutan 4 di
Asia dan Pasifik setelah India, China dan Philipina (Food
and Agriculture Organization, 2007). Sudah lama buah pisang menjadi komoditas buah tropis yang sangat
populer di dunia. Hal ini dikare-nakan rasanya lezat, harga relatif murah dan
merupakan salah satu jenis buah yang memiliki ni-lai gizi cukup tinggi antara
lain sebagai sumber karbohidrat, vitamin dan mineral. Pisang selain dapat
dikonsumsi dalam bentuk segar juga mempunyai potensi yang besar sebagai bahan
olah-an. Buahnya dapat diolah menjadi tepung untuk makanan bayi, keripik, selai
dan lain-lain (Sunarjono,
2002).
Tanaman pisang pada umumnya
diperbanyak secara vegetatif dengan menggunakan anakan (sucker) yang tumbuh dari bonggol induknya. Selain dari anakan
pisang, bibit juga bisa diperoleh dari bonggol tanaman pisang yang disebut bit.
Dengan cara perbanyakan ini hanya mampu menghasilkan tanaman baru dalam jumlah
terbatas dengan waktu relatif lama (Satuhu
dan Supriadi, 2002).
Sunarjono (2002) menambahkan bahwa dengan menggunakan bibit anakan maka penanaman
pisang dalam skala besar akan sulit dilakukan karena dibutuhkan bibit dalam jumlah
banyak dengan waktu singkat. Hal ini disebabkan jumlah anakan setiap rumpun
tanaman sangat terbatas hanya sekitar 2-6 anakan. Di samping itu dengan
penanaman skala besar ini ten-tu dibutuhkan bibit yang seragam, baik secara
genetik maupun morfologis (fisik) agar dapat di-peroleh hasil yang optimum.
Teknik kultur jaringan merupakan salah
satu usaha yang dapat ditempuh untuk mendapat-kan bibit yang berkualitas dalam
usaha penyediaan bibit pisang. Melalui teknik perbanyakan ini dapat dihasilkan
bibit pisang yang seragam dan memiliki sifat yang identik dengan induknya,
serta dapat diusahakan tanaman yang bebas virus dan penyakit. Selain itu bibit
dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif singkat tanpa
dibatasi iklim dan musim (Sunarjono,
2002). Teknik ini merupakan
salah satu cara pembiakan vegetatif yang secara ge-netik seragam atau
sifat-sifatnya identik dengan induknya. Gunawan (1995) menyatakan bahwa dalam teknik kultur jaringan yang perlu mendapat
perhatian adalah komposisi media kultur dan zat pengatur tumbuh yang tepat
serta sumber eksplan yang digunakan untuk menghasilkan plantlet di samping
faktor lainnya yaitu cahaya, suhu dan kelembaban.
Zat pengatur tumbuh mempunyai peran
yang sangat penting dalam mengatur pertumbu-han dan perkembangan eksplan dalam
kultur. Pertumbuhan dan morfogenesis eksplan dalam kultur in vitro
diatur interaksi dan keseimbangan zat pengatur tumbuh pada media dengan hor-mon
endogen yang terdapat dalam eksplan (George
dan Sherrington, 1984).
Gunawan (1987) menambahkan bahwa penambahan zat pengatur tumbuh eksogen akan
mengubah level zat pengatur tumbuh endogen sel. Perimbangan zat pengatur tumbuh
auksin dan sitokinin yang se-suai akan sangat besar pengaruhnya untuk
menghasilkan plantlet.
Auksin umumnya berfungsi terhadap
pemanjangan sel, pembentukan kalus dan akar ad-ventif serta menghambat
pembentukan tunas aksilar. Dalam konsentrasi rendah auksin akan memacu
pembentukan akar adventif, sedangkan dalam konsentrasi tinggi mendorong pemben-tukan
kalus (Pierik,
1997). Auksin yang sering
dipakai dalam kultur jaringan adalah IAA (Indole Acetic Acid), 2,4-D
(2,4-Dichlorophenoxy Acetic Acid). IBA
(Indole Butyric Acid) dan NAA (Naphtalen Acetic Acid) (George
dan Sherrington, 1984).
Sitokinin berperan dalam pengaturan
pembelahan sel dan morfogenesis. Aktivitas utama sitokinin adalah mendorong
pembelahan sel, menginduksi pembentukan tunas adventif dan da-lam konsentrasi
tinggi menghambat inisiasi akar (Pierik,
1997). Sitokinin juga
menghambat pe-rombakan protein dan klorofil serta menghambat penuaan
(senescence) (Wattimena,
1988). Si-tokinin yang sering
dipakai dalam kultur jaringan adalah BAP
(Benzyl Amino Purin) dan Kine-tin (George
dan Sherrington, 1984).
Aplikasi penggunaan auksin dan sitokinin
pada tanaman pisang telah banyak dilakukan. Penelitian Wijayanti (1995) pada pisang ambon mendapatkan 4,4 tunas dalam waktu 8 minggu pada
perlakuan 10,0 mgL-1 BAP
dan perlakuan 5,0 mgL-1 BAP
+ 5,0 mgL-1 2-iP. Selanjutnya Avivi dan Ikrarwati (2004) melakukan penelitian terhadap pisang abaca dengan eksplan anakan
memperoleh 9 tunas pada perlakuan BAP
6 mgL-1 sedangkan perlakuan NAA 1 mgL-1 memberi pengaruh
paling baik terhadap jumlah akar (6,67 akar per eksplan).
Dalam kultur jaringan sumber eksplan
harus berasal dari pohon induk terpilih. Menurut Priyono et al. (2000) bakal buah pisang (jantung) memiliki potensi yang perlu diteliti
sebagai sumber eksplan karena dari satu pohon induk dapat diperoleh eksplan
dalam jumlah besar. Ke-unggulan dalam kultur bakal buah antara lain: eksplan
dapat dipilih dari pohon induk yang per-tumbuhannya baik, sehat sampai dengan fase
berbuah dan telah menghasilkan buah dengan kualitas yang terpilih.
Penelitian kultur jaringan bakal buah
pisang telah dilakukan oleh Ram et al. (1964), na-mun eksplan tersebut hanya membentuk kalus dan tidak dapat
berkembang menjadi organ. Rai-niyati (2005) melakukan penelitian terhadap pisang raja nangka dengan eksplan
yang berasal dari bunga pisang (jantung), eksplan tersebut tidak langsung
menghasilkan tunas tetapi mem-bentuk nodul-nodul embriogenik. Gunawan (1995) menyatakan nodul merupakan gumpalan kalus kompak yang telah mulai
mengalami diferensiasi awal (partially
organized) atau dapat pula dikatakan sebagai sekelompok sel pada tempat
tertentu dalam kalus yang menyerupai sel kambium yang sering juga disebut
meristemoid, hal ini memungkinkan sel masih dapat aktif membelah. Oleh karena
itu, penelitian kultur jaringan pisang untuk memproduksi plantlet de-ngan
menggunakan eksplan bunga pisang (jantung) masih perlu dilakukan. Di sisi lain,
kebu-tuhan zat pengatur tumbuh bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman pisang
sangat tergan-tung dari sifat genetik dan tingkat konsentrasi auksin dan
sitokinin yang diberikan. Jenis pisang yang berbeda akan memberikan respon
pertumbuhan yang berbeda tanggapannya terhadap ke-seimbangan auksin dan
sitokinin yang diberikan pada media.
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi IAA
dan BAP terhadap pertumbuhan nodul
pisang raja nangka untuk pembentukan tunas mikro, memperoleh kombinasi IAA dan BAP yang memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan
nodul pisang raja nangka dalam pembentukan tunas mikro. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan seba-gai teknologi alternatif dalam perbanyakan
pisang secara kultur in vitro serta dapat menjadi sumbangan pemikiran
dan informasi bagi pihak yang memerlukan
BAHAN DAN METODA
Tempat dan waktu
Penelitian ini dilaksanakan di
laboratorium Bioteknologi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Kampus Mendalo
Darat, Jambi. Pada bulan pertama dilakukan pra penelitian dengan kegiatan
subkultur eksplan ke media MS0 (media
preconditioning) lalu dilanjutkan de-ngan penelitian utama yang
dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan April sampai Juni 2008.
Bahan dan alat
Bahan tanaman (eksplan) yang digunakan
adalah nodul in vitro pisang raja nangka yang diinisiasi dari
bunga jantan jantung pisang. Nodul ini merupakan hasil kultur in vitro
dari Laboratorium Bioteknologi Tanaman Universitas Jambi.
Bahan kimia yang digunakan adalah
bahan dasar media MS, IAA (Indole Acetid Acid) dan BAP
(Benzyl Amino Purin) sebagai zat pengatur tumbuh yang konsentrasinya sesuai
dengan perlakuan. Sebagai bahan pemadat digunakan agar 7 g/l, aquades steril
sebagai pelarut, HCL 1 N, KOH 1N, Betadine, alkohol 70% dan alkohol 95%
digunakan untuk sterilisasi alat.
Alat yang digunakan untuk pembuatan
media yaitu neraca analitik, pipet, labu takar, gelas piala, pengaduk gelas
(sudip), magnetic stirrer, hot plate,
pH meter dan otoklaf. Untuk tempat media digunakan botol kultur berukuran 100-mL
dengan penutup plastik kaca dilengkapi karet pengikat. Peralatan yang digunakan
pada saat penanaman yaitu Laminar Air Flow Cabinet, petridish, pinset, scalpel,
hand sprayer dan lampu spiritus.
Ruang pemeliharaan dilengkapi pengatur suhu, lampu dan rak tempat menyimpan
botol kultur.
Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan pola
perlakuan faktorial yang terdiri atas 2 faktor, yaitu:
1. Konsentrasi IAA (i), terdiri atas 3 level
yaitu 0,0 ppm, (i1) ; 0,1 ppm (i2) ; 0,2 ppm (i3)
2. Konsentrasi BAP
(b), terdiri atas 4 level yaitu 0,0 ppm (bo) ; 3,0 ppm (b1) ; 4,0
ppm (b2) ; 5,0 ppm (b3)
Kombinasi 2 faktor tersebut
menghasilkan 12 kombinasi perlakuan, setiap perlakuan di-ulang sebanyak 4 kali
sehingga dihasilkan 48 unit percobaan. Tiap unit percobaan terdiri dari 3 botol
kultur, sehingga terdapat 144 botol kultur yang pada setiap botolnya terdapat 1
eksplan.
Tabel 1. Kombinasi perlakuan.
Konsentrasi IAA (i)
|
Konsentrasi BAP (b)
|
|||
b0
|
b1
|
b2
|
b3
|
|
i1
|
i1bo
|
i1b1
|
i1b2
|
i1b3
|
i2
|
i2b0
|
i2b1
|
i2b2
|
i2b3
|
i3
|
i3b0
|
i3b1
|
i3b2
|
i3b3
|
Metoda penelitian
Persiapan alat
Sebelum penelitian dimulai, semua alat
yang digunakan seperti gelas piala, botol kultur, petridish, pinset, scalpel
dicuci dengan detergent selanjutnya dibilas sampai bersih kemudian dibungkus
dengan kertas dan disterilkan dalam otoklaf selama 1 jam dengan tekanan 17,5
psi suhu 121 oC.
Pembuatan media
Media yang dibuat adalah media tanpa
ZPT (MS0) dan media dengan ZPT yaitu MS. Untuk memudahkan pembuatan
media, pertama disiapkan larutan stok. Semua larutan stok di-pipet sebanyak
yang dibutuhkan kemudian dimasukkan dalam labu takar 1 liter. Untuk media
dengan ZPT, masukkan pula stok ZPT sesuai perlakuan dengan perhitungan. Misalnya untuk membuat larutan 0,1 ppm IAA dari
stok 200 ppm IAA untuk 1000 mL media maka
Setelah semua larutan stok dimasukkan
ke dalam labu takar, siapkan larutan gula. Gula dilarutkan dengan aquades
kemudian masukkan kedalam labu takar dan tepatkan volume pada 1 liter dengan
menambahkan aquades. Setelah itu larutan dipindahkan ke gelas piala dengan kapa-sitas
2 kali volume media. pH larutan diatur 5,6 - 5,8 dengan menambah HCl 0,1 N atau
KOH 0,1 N. Lalu masukkan bacto agar, larutan dipanaskan sambil diaduk dengan
teratur dan pema-nasan segera dihentikan bila larutan telah terlihat jernih.
Media tersebut dituangkan ke dalam
botol kultur masing-masing 20 mL, kemudian di-tutup dengan plastik tahan panas
dan diberi label sesuai perlakuan. Setelah itu media disterilisa-si dengan
menggunakan otoklaf pada suhu 121 oC dengan tekanan 17,5 psi, selama
30 menit. Sebelum digunakan media disimpan di ruang media selama seminggu untuk
menjamin keste-rilan media.
Persiapan dan penanaman eksplan
Penanaman eksplan dilakukan di dalam laminar air flow cabinet (LAFC) yang
telah disterilkan dengan sinar ultraviolet selama minimal satu jam dan
disemprot alkohol 70%. Semua bahan dan alat yang akan dimasukkan ke dalam LAFC
juga disemprot alkohol 70%.
Nodul pisang yang akan digunakan
sebagai eksplan dipotong menggunakan pisau scalpel menjadi beberapa bagian yang
berukuran 0,5 - 1 cm. Eksplan dipotong didalam petridish yang berisi sedikit
aquades steril dan beberapa tetes larutan Betadine. Setelah itu eksplan ditanam
menggunakan pinset steril pada media MS0 dan dipelihara selama 1
bulan untuk menghilangkan pengaruh hormon dari media perlakuan sebelumnya
karena eksplan ini merupakan hasil kultur in vitro. Selanjutnya eksplan
ditanam pada media MS dengan ZPT sesuai perlakuan. Pada saat penanaman mulut
botol menghadap ke bunsen. Untuk mencegah kontaminasi, sebelum maupun setelah
penanaman pinggir mulut botol didekatkan dengan api bunsen lalu media ditutup
kem-bali dengan plastik tahan panas dan diikat menggunakan karet gelang. Botol
diberi label sesuai dengan perlakuan. Setiap botol kultur berisi 1 eksplan.
Pemeliharaan
Botol kultur yang telah berisi eksplan
diletakkan pada rak kultur. penyinaran dilakukan dengan lampu neon 40 Watt 220
volt secara terus menerus yaitu 16 jam penuh setiap hari. Suhu ruangan
dipertahankan 26 - 28 oC. Untuk mencegah terjadinya kontaminasi
botol kultur disem-prot dengan alkohol 70% setiap hari selama penelitian.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap hari. Data
diambil dari seluruh eksplan pada setiap botol kemudian hasilnya
dirata-ratakan.
Parameter yang diamati
Respon awal
Pengamatan dilakukan dengan melihat
respon eksplan yang pertama kali muncul pada eksplan untuk setiap perlakuan.
Respon yang muncul dapat berupa pembengkakan, perubahan warna maupun
pembentukan tunas.
Persentase eksplan bertunas
Pengamatan dilakukan pada akhir
penelitian, yaitu dengan menghitung jumlah eksplan yang membentuk tunas dalam 1
unit percobaan dibagi dengan eksplan keseluruhan dikalikan 100%. Misalnya dalam
1 unit percobaan yang terdiri dari 5 botol (masing-masing 1 eksplan) diperoleh
3 eksplan yang membentuk tunas maka data persentase diperoleh dari penghitungan
eksplan yang membentuk tunas dibagi dengan jumlah eksplan dalam 1 unit
percobaan dikalikan 100%:
Persentase eksplan berakar
Pengamatan dilakukan pada akhir
penelitian, yaitu dengan menghitung jumlah eksplan yang membentuk akar dalam 1
unit percobaan dibagi dengan eksplan keseluruhan dikalikan 100%. Cara
penghitungannya sama seperti persentase jumlah tunas.
Jumlah tunas
Pengamatan dilakukan dengan cara
menghitung jumlah tunas yang terbentuk setiap ming-gu. Misalnya dalam 1 unit
percobaan diperoleh 3 botol eksplan yang membentuk tunas dengan total 5 tunas
maka data jumlah tunas diperoleh dari penghitungan jumlah total tunas dalam 1
unit percobaan dibagi dengan banyaknya botol yang membentuk tunas yaitu 5/3 =
1,67 tunas. Kriteria tunas yang dihitung yaitu tunas yang memiliki pertumbuhan
yang sehat dimana warna tunas hijau, helaian daun yang muncul berbentuk lanset
memanjang. Jumlah tunas yang terben-tuk dari seluruh eksplan dihitung dan
ditotal pada akhir penelitian.
Jumlah akar
Pengamatan dilakukan dengan cara
menghitung jumlah akar yang terbentuk setiap ming-gu. Cara penghitungannya sama
seperti jumlah tunas. Kriteria akar yang dihitung yaitu memiliki bentuk akar
yang panjang dan besar serta memiliki percabangan dan bulu-bulu akar. Jumlah
akar yang terbentuk dari seluruh eksplan dihitung dan ditotal pada akhir
penelitian.
Analisis data
Data hasil pengamatan dianalisis
secara statistik dengan menggunakan analisis ragam kemudian dilanjutkan dengan
uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf a = 5%
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Respon awal
Eksplan nodul pisang yang dikultur
secara in vitro menunjukkan respon
perubahan sete-lah 1 minggu inisiasi. Kombinasi perlakuan yang memberikan
respon perubahan lebih awal adalah 3 mgL-1 BAP
tanpa pemberian IAA. Pada permulaannya eksplan berwarna kehijauan atau hijau
muda, setelah media diperkaya dengan zat pengatur tumbuh warna eksplan menjadi
lebih hijau. Pada pengamatan 1 minggu setelah inisiasi kultur, eksplan tampak
membengkak yang kemudian diikuti dengan merekahnya ujung eksplan. Selanjutnya
setelah 2 minggu inisiasi kultur, calon tunas mikro pisang dapat terbentuk pada
rekahan tersebut yang ditandai dengan munculnya ujung helaian daun. Pada
pengamatan 8 minggu setelah kultur, calon tunas mikro tersebut sudah berkembang
menjadi tunas mikro dengan 2-3 helai daun. Pembengkakan eksplan dan calon tunas
mikro yang terbentuk pada eksplan tampak pada Gambar 1.
Gambar 1. Respon awal.
Pembengkakan eksplan pada umur 1 minggu setelah inisiasi (A) dan calon tunas
mikro saat eksplan berumur 2 minggu setelah inisiasi (B).
Persentase eksplan bertunas
Hasil analisis ragam terhadap
persentase eksplan membentuk tunas menunjukkan bahwa pemberian BAP berpengaruh
nyata dalam memacu pembentukan tunas sedangkan konsentrasi IAA yang diberikan
bersama interaksinya dengan BAP tidak memberikan pengaruh terhadap persentase
eksplan membentuk tunas. Hasil pengamatan pengaruh konsentrasi IAA dan BAP
terhadap persentase eksplan membentuk tunas dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa
konsentrasi 3,0 mgL-1 BAP
tanpa IAA menghasilkan rata-rata persentase pembentukan tunas yang tinggi pada
semua taraf IAA. Pemberian BAP
sebanyak 3,0 mgL-1 BAP
tanpa IAA menghasilkan persentase membentuk tunas tertinggi (47,89%). Sementara
itu persentase eksplan membentuk tunas terkecil (13,92%) terjadi pada perlakuan
5,0 mgL-1 BAP tanpa IAA
dan 5,0 mgL-1 BAP + 0,2
mgL-1 IAA.
Tabel 1. Pengaruh berbagai
konsentrasi IAA dan BAP terhadap
persentase eksplan membentuk tunas (%)
IAA
(mgL-1)
|
BAP (mgL-1)
|
|||
0
|
3,0
|
4,0
|
5,0
|
|
0
|
23,41 A
|
47,89 B
|
29,72 AB
|
13,92 A
|
|
(a)
|
(b)
|
(a)
|
(a)
|
0,1
|
17,09 A
|
32,89 AB
|
42,12 B
|
26,56 A
|
|
(a)
|
(ab)
|
(b)
|
(ab)
|
0,2
|
26,58 A
|
29,46 A
|
20,24 A
|
13,92 A
|
|
(a)
|
(a)
|
(a)
|
(a)
|
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada uji beda nyata terkecil (BNT)
taraf 5%. Huruf dalam tanda kurung dibaca horizontal.
Jumlah tunas
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
pemberian BAP berpengaruh sangat
nyata ter-hadap jumlah tunas per eksplan. Namun konsentrasi IAA yang diberikan
tidak menunjukkan pengaruh terhadap jumlah tunas per eksplan, demikan pula
dengan interaksi antara IAA dan BAP.
Perlakuan 3,0 mgL-1 BAP
tanpa IAA mampu memacu pertumbuhan tunas terbanyak (1,67) dan menghasilkan
rata-rata jumlah tunas yang tinggi pada semua taraf IAA dibandingkan perlakuan
lainnya. Sedangkan jumlah tunas paling sedikit (0,78) terjadi pada perlakuan
5,0 mgL-1 BAP + 0,2 mgL-1
IAA. Hasil pengamatan terhadap jumlah tunas pada eksplan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh berbagai
konsentrasi IAA dan BAP terhadap
jumlah tunas per eksplan.
IAA
(mgL-1)
|
BAP (mgL-1)
|
|||
0
|
3,0
|
4,0
|
5,0
|
|
0
|
0,86 A
|
1,67 B
|
0,89 A
|
0,85 A
|
|
(a)
|
(b)
|
(a)
|
(a)
|
0,1
|
0,88 A
|
1,23 A
|
1,11 A
|
0,89 A
|
|
(a)
|
(b)
|
(ab)
|
(ab)
|
0,2
|
0,83 A
|
1,28 A
|
0,99 A
|
0,78 A
|
|
(ab)
|
(b)
|
(ab)
|
(a)
|
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada uji beda nyata terkecil (BNT)
taraf 5%. Huruf dalam tanda kurung dibaca horizontal.
Persentase eksplan berakar dan jumlah
akar
Hasil pengamatan yang dilakukan sampai
dengan 12 minggu setelah inisiasi kultur menunjukkan bahwa pemberian IAA dan BAP pada eksplan belum mampu untuk memacu pembentukan
akar, sehingga pada variabel persentase eksplan berakar dan jumlah akar tidak
dapat dilakukan analisis ragam. Penambahan zat pengatur tumbuh tersebut belum
mampu memberikan pengaruh terhadap variabel pembentukan akar. Pertumbuhan tunas
tanpa disertai perkembangan akar dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Tunas yang
berkembang tanpa disertai pertumbuhan akar pada saat eksplan berumur 12 minggu
Pembahasan
Berdasarkan pengamatan dapat diketahui
bahwa eksplan yang dikulturkan mampu tum-buh dan berkembang menjadi tunas. Secara
umum pertumbuhan eksplan menunjukkan respon yang baik pada awal pertumbuhan.
Hal ini dapat dilihat dari adanya perubahan warna, pem-bengkakan eksplan,
hingga akhirnya pembentukan tunas. Adanya respon perubahan warna yang terjadi
pada eksplan diduga sebagai tanggapan terhadap rangsangan cahaya yang diberikan
dan berkembangnya klorofil. Salisbury and Ross (1992) menyatakan bahwa pada kondisi di bawah cahaya eksplan yang
dikulturkan mengalami perkembangan klorofil karena adanya rangsangan cahaya dan
dimulainya proses fotosintesis. Terjadinya proses fotosintesis ini juga
disertai de-ngan penyerapan unsur hara dan air dari media tanam sehingga
terjadi pembesaran dan pem-bengkakan. Hal tersebut juga didukung oleh hasil
penelitian Avivi dan Ikrarwati (2004) yang menggunakan tunas pisang abaka dari kultur steril, dimana pada
awal pengkulturan tunas mem-berikan respon berupa perubahan warna dan
pembengkakan.
Selain itu pembengkakan pada eksplan
juga diduga terjadi karena adanya aktivitas auksin. Diduga dalam eksplan masih terkandung
auksin endogen yang cukup untuk memobilisasi sel-selnya guna membentuk
individu-individu baru. Nodul in vitro
yang digunakan sebagai eksplan merupakan kelompok sel pada tempat tertentu
dalam kalus yang menyerupai sel kambium se-hingga hal ini memungkinkan sel
masih dapat aktif membelah (Gunawan,
1995). Hal yang sama juga terjadi
pada penelitian Erfa (2001) terhadap kemampuan pembentukan nodul dan embrio-somatik eksplan
bunga jantan pisang pada beberapa kultivar.
Wattimena (1988) menambahkan bahwa salah satu fungsi auksin yaitu merangsang pem-besaran
sel. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa membesarnya sel dikarenakan auksin
merang-sang ATP-ase untuk memompa ion H+ pada dinding sel yang
menyebabkan pH dinding sel tu-run. Penumpukan ion H+ pada dinding sel
menyebabkan dinding sel menjadi renggang, akibat-nya tekanan dinding sel
berkurang dan air masuk ke dalam sel sehingga terjadi pembesaran sel. Pembengkakan
juga terjadi pada eksplan hipokotil dan epikotil kacang kedelai dalam
penelitian yang dilakukan oleh Annisa (2007).
Berdasarkan hasil analisis statistik
diketahui bahwa nilai maksimal persentase eksplan yang bertunas (47,89%)
diperoleh dari media dengan pemberian 3,0 mgL-1 BAP tanpa tambahan IAA. Hal ini menunjukkan bahwa
tingginya persentase pembentukan tunas pada konsentrasi BAP
yang rendah dimungkinkan karena secara fisiolgis kandungan BAP endogen dari eksplan bakal buah (jantung
pisang) ini sudah mencukupi untuk pembentukan tunas. Sehingga pada per-lakuan BAP dalam konsentrasi yang rendah, eksplan tetap
mampu membentuk tunas. Selain itu hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa
dibandingkan dengan IAA (auksin), BAP
(sitoki-nin) lebih berperan dalam pertumbuhan tunas mikro pisang. Hasil ini
sesuai dengan pendapat Wattimena (1988) bahwa sitokinin berperan dalam memacu
pertumbuhan dan perkembangan tanaman, khususnya menginduksi tunas adventif.
Selanjutnya Marlin (2005) dalam penelitian-nya terhadap eksplan tunas jahe menyatakan bahwa
peningkatan pemberian taraf konsentrasi sitokinin (BAP)
ke dalam media kultur akan mempercepat pertumbuhan tunas, pertumbuhan yang
dipacu oleh BAP mencakup
pembelahan dan pembesaran sel yang lebih cepat.
Berdasarkan hasil analisis statistik
pengamatan terhadap jumlah tunas per eksplan ter-dapat pengaruh yang sangat
nyata dengan BAP yang diberikan.
Jumlah maksimal tunas mikro yang dihasilkan per eksplan (1,67) diperoleh pada
media dengan pemberian 3,0 mgL-1 BAP
tanpa tambahan IAA. Hal ini berarti jumlah maksimal tunas mikro yang dihasilkan
sesuai de-ngan persentase eksplan yang bertunas. Artinya eksplan yang
persentase pembentukan tunasnya tinggi juga menghasilkan tunas paling banyak.
Sementara itu pada perlakuan pemberian IAA 0,2 mgL-1 dan BAP 5,0 mgL-1 menghasilkan jumlah tunas
hanya 0,78 sampai akhir pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
konsentrasi auksin dan sitokinin yang tinggi akan menekan laju pembentukan
tunas pada eksplan. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Rainiyati (2005) terhadap eksplan pisang dari anakan yang memperoleh jumlah tunas
paling sedikit pada kombinasi IAA 0,2 mgL-1 dan BAP 5,0 mgL-1 yaitu 1,0 tunas.
Persentase pembentukan tunas dan
jumlah tunas mikro yang dihasilkan per eksplan cenderung semakin menurun dengan
meningkatnya konsentrasi IAA, hal ini juga terjadi pada perlakuan dengan
penambahan BAP dengan konsentrasi
4,0 sampai dengan konsentrasi 5,0 mgL-1 BAP.
Menurut Fereol et al. (2002), auksin umumnya menghambat pertumbuhan tunas, sedangkan kombinasi
konsentrasi sitokinin yang tinggi dengan auksin rendah penting dalam
pembentukan tunas dan daun. Dalam kultur jaringan kedua golongan zat pengatur
tumbuh ini terbukti berperan dalam menunjang pertumbuhan jaringan apabila
digunakan pada konsentrasi yang tepat. Bhojwani (1980) menambahkan kebanyakan tanaman membutuhkan sitokinin untuk
pembentukan tunas, sebaliknya auksin bersifat menghambat.
Sementara itu, pemberian IAA dan BAP pada eksplan belum mampu untuk memacu pembentukan
akar. Terhambatnya pembentukan akar pada eksplan ini diduga karena zat peng-atur
tumbuh yang diberikan maupun yang tersedia di dalam eksplan belum mencapai
rasio dan konsentrasi yang tepat sehingga belum efektif untuk menginduksi
terjadinya morfogenesis be-rupa pembentukan akar. Hal yang sama juga diperoleh
dalam penelitian Radian (1992) terhadap eksplan pisang kepok dan pisang candi, dimana sampai
dengan 8 minggu setelah kultur akar pi-sang yang diharapkan tidak dapat tumbuh.
Tingginya konsentrasi sitokinin (BAP) diduga merupakan salah satu penyebab terham-batnya
pembentukan akar. Menurut Ambarwati (1987) media tanpa tambahan sitokinin lebih baik jika dibandingkan dengan
media yang mengandung sitokinin untuk pembentukan akar. Skoog dan Miller (1975) menyatakan dalam penelitiannya pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum) bahwa kalus tidak
berdiferensiasi jika media mengandung 2,0 mgL-1 IAA dan 0,01 mgL-1
kinetin, namun bila kinetin diturunkan sampai 0,02 mgL-1 tanpa
merubah IAA, dari kalus akan terbentuk banyak akar.
Selain itu, konsentrasi auksin yang
digunakan dalam penelitian ini juga relatif rendah yakni 0,0 sampai 0,2 mgL-1
IAA, sedangkan untuk perakaran tambahan dibutuhkan tambahan auksin 1-5 mgL-1
(Syahid
dan Mariska, 1991). Hal
ini sesuai dengan pendapat Skoog dan Miller (1975) bahwa untuk perakaran secara in
vitro biasanya digunakan auksin dalam konsentrasi tinggi.
Tunas yang terbentuk setelah 12 minggu
inisiasi kultur dari berbagai kombinasi perlakuan dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan
gambar tersebut dapat dilihat tunas yang dihasilkan dari berbagai kombinasi
perlakuan. Pada perlakuan pemberian IAA tanpa tambahan BAP
jum-lah tunas yang dihasilkan lebih sedikit serta bentuk tunas dan helaian daun
yang dihasilkan lebih kurus bila dibandingkan dengan perlakuan yang ditambah
zat pengatur tumbuh (IAA dan BAP).
Keadaan ini diduga disebabkan peningkatan konsentrasi IAA dapat menghambat
pertumbuhan daun. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tambahan BAP sangat diperlukan untuk membentuk tunas pada
eksplan karena apabila dibandingkan dengan IAA (auksin), BAP (sito-kinin) lebih berperan dalam pertumbuhan
tunas mikro pisang. Hasil yang sama juga terjadi pada penelitian Karjadi dan
Buchory (2007) pada penumbuhan jaringan meristem bawang putih kul-tivar Lumbu
Hijau yang mendapatkan bahwa tanpa tambahan sitokinin (BAP)
tunas yang tum-buh dalam media cenderung memperlihatkan keabnormalan berupa
menggulungnya daun-daun.
Gambar 3. Tunas yang terbentuk
setelah berumur 12 minggu dari beberapa kombinasi perlakuan IAA + BAP (mgL-1).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Eksplan
menunjukkan tanggapan positif dalam pembentukan tunas mikro, namun pemben-tukan
tunas ini hanya dipengaruhi oleh penambahan BAP.
2. Nilai
maksimal persentase eksplan yang membentuk tunas (47,89%) dan nilai maksimal
jumlah tunas per eksplan (1,67) diperoleh dari kombinasi 3,0 mg L-1 BAP tanpa IAA.
3. Adanya
penambahan zat pengatur tumbuh ternyata belum mampu untuk memacu pemben-tukan
akar.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai konsentrasi IAA dan BAP
yang sesuai agar diperoleh media yang terbaik dalam perbanyakan pisang secara
kultur in vitro.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, A. D.
1987. Induksi Kalus dan Diferensiasi pada Kultur Jaringan Gnetum gnemon L. Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Annisa. 2007. Pengaruh Berbagai
Konsentrasi NAA dan BAP terhadap Perkembangan Eksplan Kotiledon, Hipokotil dan Epikotil
Tanaman Kedelai (Glycine max L.
Merill). Skripsi Sarjana. Fakultas
Pertanian Universitas Jambi, Jambi.
Avivi, S. dan Ikrarwati. 2004.
Mikropropagasi Pisang Abaca (Musa
textillis) melalui Teknik Kultur Jaringan. Jurnal Ilmu Pertanian 2: 27-34.
Bhojwani, S. S. 1980. In Vitro propagation of garlic (Allium sativum L) by shoot
proliferation. Scientia Horticulturae
13: 47-52.
Erfa, L. 2001. Kemampuan pembentukan
nodul dan embrio somatik pada beberapa kultivar dan posisi eksplan bunga jantan
pisang. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian 8:
349-356.
Fereol, L., V. Chovelon, S. Causse, N.
Michaux-Ferriere dan R. Kahane. 2002. Evidence of somatic embryogenesis process
for plant regeneration in garlic (Allium
sativum L). Plant Cell Reports
21: 197-203.
Food and Agriculture Organization.
2007. Statistic on Bananas and Plantains: Banana and Plantain Production. http://www.Inibap.org/network/statisticseng.htm.
George, E. F. dan P. D. Sherrington.
1984. Plant propagation by tissue culture. Exegetics Limited, England.
Gunawan, L. W. 1987. Teknik kultur
jaringan. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gunawan, L. W. 1995. Teknik Kultur In Vitro dalam Hortikultura. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Karjadi, A. K. dan A. Buchory. 2007.
Penambahan auksin dan sitokinin terhadap pertumbuhan tunas bawang putih. Jurnal Hortikultura 17: 314-320.
Marlin. 2005. Regenerasi in vitro plantlet jahe bebas penyakit
layu bakteri pada beberapa taraf konsentrasi BAP dan NAA. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 7: 8-14.
Pierik, R. L. M. 1997. In Vitro Culture of Higher Plants.
Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, The Netherlands.
Priyono, S. D dan Matsaleh. 2000.
Pengaruh zat pengatur tumbuh IAA dan 2-IP pada kultur jaringan bakal buah
pisang. Jurnal Hortikultura 10:
183-190.
Radian. 1992. Penggunaan Air Kelapa
dalam Media Kultur Jaringan (Musa
paradisiaca L). Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Rainiyati. 2005. Produksi Bibit Pisang
Raja Nangka (Musa sp.) secara Kultur
Jaringan dengan Eksplan yang Bersumber dari Anakan. Disertasi Doktor. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Ram, H. Y., Mohan dan F. C. Steward.
1964. The induction of growth in explanted tissue of the banana fruit. Canadian Journal of Botany 42:
1559-1579.
Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1992.
Plant Physiology (diterjemahkan oleh Lukman, D. R dan Sumaryono). Institut
Teknologi Bandung, Bandung.
Satuhu, S. dan A. Supriadi. 2002.
Pisang: Budidaya Pengolahan dan Prospek Pasar. Penebar Swadaya, Jakarta.
Skoog, F. dan C. O. Miller. 1975.
Chemical regulation of growth and organ formation in plant tissue cultured in vitro. Symposium of Society of Experimental Biotechnology 11: 118-131.
Sunarjono, H. 2002. Budidaya Pisang
dengan Bibit Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Syahid, S. F. dan Mariska. 1991.
Kultur Meristem pada Tanaman Tembakau. Prosiding
Seminar Bioteknologi Perkebunan dan Lokakarya Biopolimer untuk Industri,
385-394. Bogor, 10-11 Desember 1991. PAU Bioteknologi Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Wattimena, G. A. 1988. Zat Pengatur
Tumbuh Tanaman. PAU Bioteknologi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wijayanti, N. 1995. Pengaruh Kombinasi
BAP dan 2iP Terhadap Multiplikasi Tunas Pisang Ambon Kuning (Musa acuminata (AAA group)) melalui
Kultur In Vitro. Skripsi Sarjana Pertanian. Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Masukkan Komentar di bawah