PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI DENGAN PERBEDAAN
UMUR BIBIT PADA METODA SRI (SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION)
Abstrak
Penelitian dilakukan untuk mendapatkan
umur bibit yang terbaik bagi pertumbuhan dan hasil padi pada metoda SRI. Penelitian
dilaksanakan selama lebih kurang 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai Juli
2008 di lahan sawah Balai Benih Induk (BBI) Padi Sukajaya Km. 37 Jalan Raya
Jambi – Muara Bulian, Desa Jembatan Mas Kabupaten Batang Hari Jambi. Rancangan
yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
5 perlakuan dan 3 kelompok. Perlakuan yang digunakan adalah umur bibit padi 5,
8, 11, 14 dan 17 hari, dengan varietas yang digunakan adalah varietas
Indragiri. Data hasil pengamatan dianalisis secara statistika dengan uji F dan
uji lanjutan DNMRT (Duncan’s New Multiple Range Test) pada taraf nyata 5
%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan umur bibit padi 5, 8,
11, 14 dan 17 hari varietas Indragiri pada metoda SRI tidak memberikan pengaruh
yang nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah anakan produktif,
panjang malai, jumlah gabah per malai, persentase gabah hampa, bobot 1000 butir
gabah bernas dan hasil padi
Kata kunci: tanaman pangan, Oryza sativa,
SRI (System of Rice
Intensification)
PENDAHULUAN
Dalam program peningkatan produksi
padi, pemerintah masih mengandalkan sawah sebagai tulang punggung pengadaan
beras daripada lahan kering. Hal ini mengingat lahan sawah mem-punyai kemampuan
untuk menghasilkan produktivitas lebih tinggi, selain ketersediaan teknologi
yang lebih banyak (Utomo
dan Nazaruddin, 2003).
Produktivitas padi sawah Indonesia masih
rendah, meskipun pada tahun 2006 terjadi pening-katan produksi sebesar
54.454.097 ton gabah kering giling (GKG) (0,56 persen) jika dibanding-kan
dengan produksi tahun 2005 sebesar 54.151.097 ton GKG (Badan
Pusat Statistik, 2007). Peningkatan produksi ini diharapkan akan
terus berlanjut.
Produksi padi harus terus ditingkatkan
melalui peningkatan produktivitas. Salah satu metoda yang bisa diaplikasikan
adalah metoda SRI (System of Rice Intensification). SRI mampu meningkatkan produksi padi dua kali lipat bahkan lebih
dari produksi padi yang ditanam secara konvensional. Hasil metoda SRI di
Madagaskar, pada beberapa tanah yang kurang subur yang produksi normalnya 2 ton
ha-1 dapat meningkat dengan SRI menjadi 8 ton ha-1 bahkan
ada yang lebih dari 20 ton ha-1 (Berkelaar,
2001).
Teknik
SRI merupakan modifikasi metoda budidaya padi sawah yang pertama berkembang di
Madagaskar dan saat ini telah menyebar ke berbagai negara termasuk Indonesia. Pola
SRI ini juga merupakan cara budidaya tanaman padi yang intensif dan efisien
dengan mengutamakan menajemen sistem perakaran dengan berbasis pada pengolahan
tanah, tanaman, air dan perilaku budidaya dibandingkan dengan budidaya cara
tradisional. Selain itu SRI merupakan sistem yang hemat air, input dari luar
rendah dan berkesinambungan atau low external input sustainable agriculture
(Berkelaar,
2001).
Keberhasilan
SRI berlandaskan pada hubungan yang sinergis antara perkembangan anak-an dengan
pertumbuhan akar. Tanaman dapat menyerap lebih banyak
hara dan air yang dibutuh-kan untuk menghasilkan lebih banyak anakan dan hasil Defeng
et al. (2002) sebagaimana diacu oleh Agustamar
et al. (Agustamar et al., 2006). SRI mencakup umur pindah lebih awal, jarak tanam lebar, tanam
satu-satu per lubang, aplikasi pupuk organik dan penggunaan air yang sedi-kit atau
50% dari metoda konvensional (Uphoff,
2001).
Djafar et al. (1996) mengemukakan bahwa bibit merupakan salah satu faktor penting da-lam
usaha budidaya tanaman padi. Bibit yang berasal dari varietas unggul dengan
pengelolaan yang baik sejak dini, akan mampu menghadapi hambatan dan persaingan
di lapangan sehingga dapat menghasilkan produksi yang tinggi. Mutu bibit yang
ditanam salah satunya dipengaruhi oleh umur bibit di persemaian sebelum
ditanam. Bibit yang ditanam terlalu tua akan memper-lambat pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, akibatnya hasil menjadi rendah. Sebaliknya, bila
pemindahan bibit terlalu cepat atau muda umurnya akan timbul resiko kegagalan
produksi karena bibit masih lemah dan belum kuat mengatasi pengaruh lingkungan
yang jelek dan akan rusak sewaktu dicabut.
Pada metoda SRI, bibit dipindahkan
lebih awal yaitu saat bibit berumur 7-15 hari di per-semaian. Hal ini
diharapkan agar bibit mampu beradaptasi dengan cepat terhadap lingkungan tumbuh
sehingga bibit dapat melewati fase pertumbuhan vegetatif tepat pada waktunya
dan da-pat menghasilkan jumlah anakan yang banyak sehingga mampu menghasilkan
produksi yang tinggi dibandingkan dengan bibit yang tua. Bibit yang tua
mengalami fase vegetatif yang lama di lapangan karena adaptasi lingkungan yang
lambat sehingga waktu pembentukan anakannya pun terlambat. Dengan demikian kemampuan tanaman untuk
menghasilkan anakan terbatas se-hingga jumlah anakan yang dihasilkan pun
sedikit (Mario
et al., 2005). Penelitian yang telah
dilakukan oleh Djafar et el. (1996), menunjukkan bahwa umur bibit 5 hari
dipersemaian mampu memberikan hasil yang tinggi.
Berdasarkan uraian diatas, telah dilaksanakan
penelitian dengan judul Pertumbuhan Dan
Hasil Padi Dengan Perbedaan Umur Bibit Pada Metoda SRI (System of Rice
Intensification). Tujuannya adalah untuk mendapatkan umur bibit yang
terbaik bagi pertumbuhan dan hasil padi pada metoda SRI.
METODA PENELITIAN
Penelitian ini telah dilaksanakan di
lahan sawah Balai Benih Induk (BBI) Padi Sukajaya Km. 37 Jalan Raya Jambi –
Muara Bulian, Desa Jembatan Mas Kabupaten Batang Hari Jambi. Jenis tanah adalah
alluvial dengan ketinggian tempat 10 m dpl, suhu 23,0 – 31,5 oC,
kelembaban udara rata-rata 83,25%. Areal persawahan yang dijadikan untuk lokasi
penelitian mendapat sumber air pengairan dari irigasi pompa. Penelitian dilaksanakan selama lebih
kurang 5 bulan, mulai dari bulan Maret sampai Juli 2008. Varietas yang digunakan adalah Indragiri.
Rancangan yang digunakan dalam
percobaan ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 3
kelompok, sehingga seluruh percobaan terdiri dari 15 plot/ petakan percobaan.
Dari masing-masing plot percobaan diambil secara acak 5 tanaman sampel. Perlakuan
adalah umur bibit (faktor W), yakni:
W1 = bibit umur 5 hari
W2 = bibit umur 8 hari
W3 = bibit umur 11 hari
W4 = bibit umur 14 hari
W5 = bibit umur 17 hari
Persemaian dilakukan
dengan seed bed yang telah diisi media persemaian berupa lumpur
sawah yang dicampur dengan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1 dan
ditempatkan di de-kat lokasi penelitian. Penyemaian
benih tidak serempak. Benih untuk bibit umur 17 hari disemai paling awal,
disusul 3 hari kemudian disemai pula benih untuk bibit umur 14 hari, 3 hari
kemu-dian disemai pula benih untuk bibit umur 11 hari, dilanjutkan 3 hari
kemudian disemai pula benih untuk bibit umur 8 hari dan terakhir benih untuk
bibit umur 5 hari disemai setelah penye-maian benih untuk bibit umur 8 hari.
Selama pertumbuhan vegetatif sawah
tidak digenangi, air hanya diberikan untuk menjaga agar tanah tetap lembab.
Petak percobaan diairi setinggi 3 cm mulai pada umur tiga hari setelah tanam,
kemudian pintu masuk dan keluar nya air ditutup. Selanjutnya air dalam petakan
dibiar-kan sampai habis dan pada saat tanah sudah mulai menunjukkan gejala
retak, lahan diairi kem-bali. Demikian seterusnya sampai tanaman mencapai
stadia primordia bunga. Pada stadia gene-ratif mulai umur 60 hari yaitu pada
saat terjadi pembentukan malai bunga, air diberikan terge-nang setinggi 5 cm
kemudian dikeringkan kembali 25 hari sebelem panen. Pada saat pemupukan dan
pengendalian gulma dilakukan, petakan sawah dalam keadaan macak-macak.
Panen dilakukan satu kali yaitu pada
umur 101 hari yang ditandai dengan 80% bulir da-lam satu plot percoban telah
menguning (telah mencapai stadia masak fisiologis/masak penuh) yang ditandai
dengan ciri-ciri sebagai berikut: Daun bendera sudah tua, berwarna kuning dan
sebagian sudah kering (berwarna coklat).
Pengamatan dilakukan terhadap tinggi
tanaman, jumlah anakan, jumlah anakan per rum-pun, panjang malai, jumlah gabah
per malai, persentase gabah hampa, bobot 1000 butir gabah bernas dan hasil. Persentase
gabah hampa dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis statistik dengan uji F
terhadap pengamatan tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah anakan per rumpun,
panjang malai, jumlah gabah per malai, persentase gabah hampa, bobot 1000 butir
gabah bernas dan hasil. Pada analisis ragam tersebut terlihat bahwa perbedaan
umur bibit padi 5, 8, 11, 14, dan 17 hari memberikan pengaruh yang tidak
berbeda nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah anakan per rumpun,
panjang malai, jumlah gabah per malai, persentase gabah hampa, bobot 1000 butir
gabah bernas dan hasil padi dengan SRI. tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah
anakan per rumpun, panjang malai, jumlah gabah per malai, persentase gabah
hampa, bobot 1000 butir gabah bernas dan hasil padi dengan perbedaan umur bibit
yang digunakan dalam metoda SRI dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh umur bibit
terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah anakan per rumpun, panjang
malai, jumlah gabah per malai, persentase gabah hampa, bobot 1000 butir gabah
bernas dan hasil.
Umur Bibit
|
Tinggi tanaman (cm)
|
Jumlah anakan per rumpun
(batang)
|
Jumlah anakan produktif
(batang)
|
Panjang malai (cm)
|
Jumlah gabah per malai (butir)
|
Persentase gabah hampa (%)
|
Bobot 1000 butir (g)
|
Hasil
(ton ha-1)
|
5 hari
|
97,13 a
|
25,20 a
|
19,73 a
|
23,20 a
|
166,40 a
|
11,47 a
|
20,47 a
|
7,37 a
|
8 hari
|
100,67 a
|
22,20 a
|
16,87 a
|
21,80 a
|
168,67 a
|
9,84 a
|
21,67 a
|
6,56 a
|
11 hari
|
105,73 a
|
20,00 a
|
16,67 a
|
23,67 a
|
182,67 a
|
10,73 a
|
19,87 a
|
6,45 a
|
14 hari
|
101,73 a
|
26,13 a
|
17,53 a
|
22,07 a
|
184,27 a
|
11,37 a
|
20,57 a
|
7,50 a
|
17 hari
|
102,67 a
|
25,73 a
|
17,93 a
|
23,13 a
|
194,60 a
|
10,94 a
|
20,27 a
|
7,77 a
|
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama
tidak berbeda nyata pada uji Duncan pada taraf nyata 5 %.
Dari percobaan ini diperoleh hasil
bahwa perbedaan umur bibit tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman,
jumlah anakan per rumpun, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah
per malai, persentase gabah hampa per rumpun, bobot 1000 butir gabah bernas dan
hasil per petak. Pada perlakuan umur bibit diperoleh tinggi tanaman yang tidak
berbeda de-ngan deskripsi padi yang digunakan pada percobaan ini. Rata-rata
tinggi tanaman yang diper-oleh dari percobaan ini berkisar 97,13 – 105,73 cm. Hal
ini disebabkan karena keadaan faktor genetis, sehingga memberikan pengaruh yang
hampir sama pula terhadap tinggi tanaman padi. Seperti yang diungkapkan oleh
Siregar (1981), bahwa tinggi tanaman adalah faktor genetis dari tanaman itu
sendiri. Rata-rata tinggi tanaman yang diperoleh dari percobaan ini berkisar
97,13 – 105,73 cm.
Gardner et al. (1985) menambahkan bahwa pertumbuhan merupakan akibat adanya inter-aksi
antara berbagai faktor internal pertumbuhan dan unsur iklim, tanah dan
biologis. Pertum-buhan tinggi tanaman ini merupakan pertumbuhan vegetatif yang
ditandai dengan terjadinya pertambahan panjang ruas yang dipengaruhi oleh
tersedianya unsur hara terutama unsur nitro-gen, fosfor dan kalium. Pertambahan
tinggi tanaman juga sebagai akibat dari meningkatnya jumlah sel.
Umur bibit mempengaruhi jumlah anakan
per rumpun dan jumlah anakan produktif di mana tanaman padi yang ditanam pada
umur bibit yang lebih tua menyebabkan tanaman kurang mampu membentuk anakan
disebabkan oleh kondisi perakaran di persemaian yang semakin da-lam dan kuat
sehingga waktu pemindahan mengalami kerusakan yang cukup berat. Hal ini juga
dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh, di mana dengan kondisi tanah yang aerob
pada SRI me-mungkinkan perkembangan anakan menjadi lebih banyak dan akar berkembang
dengan baik. Hasil penelitian yang telah dilaksanakan dengan perlakuan umur
bibit 5 hari, 8 hari, 11 hari, 14 hari dan 17 hari tidak menunjukan perbedaan
yang nyata. Hal ini disebabkan karena umur bibit 5-17 hari memberikan pengaruh
yang sama terhadap jumlah anakan yang terbentuk. Mashur et al. (2002) menyatakan bahwa umur bibit tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap jumlah anakan produktif antara umur bibit 15 hari dengan umur bibit 21
hari. Sembiring et al. (2001) menambahkan bahwa umur bibit berpengaruh terhadap perkembangan
anakan sampai pada umur 15 hari setelah tanam, tetapi setelah itu jumlah anakan
tidak nyata.
Pada deskripsi terlihat bahwa jumlah
anakan produktif yang terbentuk berkisar antara 15 - 20 batang, ini sesuai
dengan jumlah anakan produktif yang terbentuk saat percobaan berlang-sung, kemungkinan
bisa jauh lebih banyak jika kondisi lingkungan tumbuh sesuai dengan meto-da
SRI. Hal ini terjadi karena pada fase vegetatif tanaman padi kondisi tanah yang
aerob jarang sekali terjadi dikarenakan curah hujan yang cukup tinggi (338 mm
per bulan denagn banyaknya hari hujan 14 hari) sehingga mengakibatkan tanaman
memiliki aerase yang buruk bagi akar ta-naman, dengan demikian kekurangan udara
mungkin dapat menjadi penghambat pertumbuhan tanaman.
Perlakuan umur bibit tidak berpengaruh
terhadap panjang malai ini diduga lebih dominan dipengaruhi oleh genetis
tanaman itu sendiri dibandingkan dengan pengaruh lingkungan. Manu-rung dan
Ismunadji (1988) menyatakan bahwa panjang malai tergantung pada varietas padi yang
ditanam dan keadaan lingkungan. Ukuran panjang malai dibedakan menjadi tiga
ukuran, yaitu 1) malai pendek yang berukuran kurang dari 20 cm, 2) malai sedang
yang berukuran an-tara 20-30 cm, dan 3) malai panjang yang berukuran lebih dari
30 cm. Berarti tanaman padi yang digunakan pada percobaan ini termasuk malai
sedang. Semakin panjangnya malai berpe-ngaruh terhadap jumlah gabah per malai. Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilaksanakan dengan perlakuan umur bibit 5 hari, 8
hari, 11 hari, 14 hari dan 17 hari tidak memberikan pe-ngaruh yang nyata
terhadap panjang malai. Hal ini disebabkan oleh faktor genetis tanaman itu
sendiri. Selain faktor genetis, faktor lingkungan juga memberikan pengaruh
terhadap panjang malai karena keadaan lingkungan yang relatif sama pada tiap
plot percobaan
Jumlah gabah yang terbentuk pada
masing-masing malai menurut Darwis (1979) ditentu-kan oleh panjang malai dan jumlah cabang malai, di mana
masing-masing akan menghasilkan gabah. Perkembangan jaringan pembuluh sumbu
utama malai ke cabang malai dan dari cabang malai ke gabah dipengaruhi oleh
ketersediaan air dan unsur hara yang diserap dari tanah. Sema-kin kuat jaringan
pembuluh maka semakin banyak gabah yang terbentuk dan perkembangan ga-bah lebih
cepat. Soemartono et al. (1985) menyatakan bahwa hasil-hasil fotosintesis dan asimi-lasi yang
disimpan pada daun akan ditranslokasikan ke malai melalui pembuluh floem dengan
bantuan air yang diserap oleh akar tanaman. Namun banyaknya jumlah gabah per
malai tidak mempengaruhi persentase gabah hampa melainkan mempengaruhi bobot
1000 butir tanaman padi.
Persentase gabah hampa yang rendah
disebabkan karena pemupukan kalium dan fosfor diberikan sesuai dengan
rekomendasi umum sehingga diduga tanaman tidak kekurangan unsur hara. Menurut
Soegiman (1969), bahwa kalium pada tanaman padi berperan dalam pembentuk-an butir
gabah padi, sehingga dengan pemberian kalium yang cukup pada tanaman padi dapat
mengurangi resiko gabah hampa.
Sedangkan untuk bobot 1000 butir gabah
bernas lebih rendah (20,57 g) jika dibandingkan dengan deskripsi (24-25 g) hal
ini diduga karena ukuran gabah yang kecil sehingga mempenga-ruhi berat dari
gabah tersebut. Semakin beratnya gabah diduga disebabkan oleh semakin baik-nya
proses terbentuknya lemma dan pallea, sehingga terjadi peningkatan ukuran
gabah. Menurut Manurung dan Ismunaji (1988), berat 1000 biji gabah tergantung kepada ukuran lemma dan palleanya.
Darwis (1979) juga menambahkan bahwa berat 1000 biji gabah biasanya merupakan
ciri yang stabil dari suatu varietas, besarnya biji juga ditentukan oleh ukuran
kulit yang terdiri dari lemma dan pallea.
Meskipun bobot 1000 butir gabah bernas
lebih rendah dengan deskripsi, namun hasil ta-naman padi jauh lebih tinggi (7,13
ton ha-1) dibandingkan dengan deskripsi (4,5-5,5 ton ha-1).
Hal ini terjadi dikarenakan padi yang ditanam pada percobaan ini menggunakan metoda
SRI, di mana dengan metoda SRI tanaman berkemampuan untuk menghasilkan anakan
dan anakan pro-duktif yang lebih banyak karena kondisi lingkungan yang aerob
sehingga kemampuan tanaman melakukan fotosintesis jauh lebih tinggi dan
asimilasi yang terbentuk juga lebih banyak sehing-ga bulir yang terbentuk dapat
memberikan hasil yang banyak pula.
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilaksanakan diperoleh hasil dengan rata-rata 7,13 ton ha-1
dengan jumlah anakan antara 15-20 anakan per rumpun, ini lebih rendah jika dibanding-kan
dengan Sumatera Barat (9,96 ton ha-1) dan Sukamandi (9,5 ton ha-1)
yang juga ditanam pada metoda SRI menggunakan varietas Batang Piaman (Sumatera
Barat) dan varietas Cisokan (Sukamandi), dengan jumlah anakan yang terbentuk berkisar
antara 44 - 74 anakan per rumpun. Hal ini diduga karena pada percobaan yang
telah dilaksanakan menggunakan padi varietas Indragiri, yang secara genetis
mempunyai kemampuan yang berbeda bila dibandingkan dengan varietas Cisokan dan Batang
Piaman yang bersifat amfibi (lebih adaptif terhadap lingkungan dengan metoda
SRI).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari percobaan yang telah dilaksanakan
serta pengolahan data pengamatan dari perbeda-an umur bibit padi pada metoda
SRI (System of Rice Intensification) dapat disimpulkan bahwa perbedaan
umur bibit 5, 8, 11, 14 dan 17 hari tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah anakan produktif, panjang malai,
jumlah gabah per ma-lai, persentase gabah hampa, bobot 1000 butir gabah bernas dan
hasil padi dengan metoda SRI.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut untuk mendapatkan umur bibit yang terbaik bagi metoda SRI dengan varietas
yang berbeda dari yang telah dicobakan.
DAFTAR PUSTAKA
Agustamar, M.,
Kasim, Agustian dan Z. Syarif. 2006. Berbagai bahan organik terhadap
pertumbuhan dan produksi padi dengan metode SRI (The System Of Rice
Intensification) pada sawah bukaan baru. Jurnal
Tanaman Tropika 9: 60-69.
Badan Pusat Statistik. 2007. www.bps.go.id.
Diakses November 2007.
Berkelaar, D. 2001. Sistem
Intensifikasi Padi (The System of Rice
Intensification): Sedikit Dapat Memberi Banyak, Madagaskar.
Buckman, H. O. dan N. C. Braddy. 1969.
The Nature and Properties of Soil (terjemahan Soegiman). Bhatara Karya Aksara,
Jakarta.
Darwis, S. N. 1979. Agronomi Tanaman
Padi. Lembaga Pusat Penelitian Pertanian Perwakilan Padang, Padang.
Djafar, Z. R., H. Rosida dan F.
Sulaiman. 1996. Pengaruh Umur Bibit terhadap Komponen Hasil dan Hasil Padi (Oryza sativa L). Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Ilmu Pertanian BKS-PTN
Wilayah Barat. Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang.
Gardner, F. D., R. B. Pearce dan R. L.
Mitchell. 1985. Physiology of Crops Plants. Iowa State University Press, Ames,
USA.
Manurung, S. O. dan Ismunadji. 1988.
Morfologi dan Fisiologi Padi dalam Padi (Buku 1). Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian Tanaman dan Pengembang Tanaman Pangan,
Bogor.
Mario, M. D., R. H. Anasiru, I. G. P.
Sarasutha dan H. Hasni. 2005. Introduksi model TT dalam meningkatkan produksi
dan pendapatan petani padi di Sulawesi Tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 8: 192-205.
Mashur, D. Praptomo, L. Wirajaswadi
dan A. Muzani. 2002. Pengembangan Program Peningkatan Produktivitas Padi
Terpadu (P3T) untuk Meningkatkan Pendapatan Petani di Nusa Tenggara Barat.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat, Mataram.
Sembiring, L. Wirajaswadi, A. Hipi,
Sirajuddin dan H. M. Toha. 2001. Pengelolaan Tanaman Terpadu Budidaya Padi
Sawah di Kabupaten Lombok Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa
Tenggara Barat, Lombok Barat.
Siregar, H. 1981. Budidaya Tanaman
Padi di Indonesia. Sastra Udaya, Jakarta.
Soemartono, B. Samad dan R. Harjono.
1985. Bercocok Tanam Padi. CV. Yasaguna, Jakarta.
Uphoff, N. 2001. The System of Rice
Intensification: Agricultural Opportunities for Small Farmers. ILEIA
Newsletter.
Utomo, M. dan Nazaruddin. 2003.
Bertanam Padi Sawah tanpa Olah Tanah. Penebar Swadaya, Jakarta.
Masukkan Komentar di bawah