Pertumbuhan dan Hasil Kedelai (Glycine max
(L) Merill) Dengan Pemberian Kompos Sludge Pabrik Kelapa Sawit (PKS)
Tiara Octora1, Nyimas Myrna2
dan (Alm) Ali Muzar2
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan hasil kedelai
dengan pemberian kompos sludge. Rancangan penelitian yang digunakan
adalah rancanganAcak Kelompok (RAK) satu faktorial. Hasil penelitian menunjukan
pemberian kompos sludge dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil kedelai. Rata
– rata pertumbuhan yang terbaik pada tinggi tanaman, bobot kering pupus
tanaman, bobot kering akar, dan jumlah polong berisi terdapat pada pemberian
dosis kompos sludge 20 ton ha-¹.
Kata kunci :
Kompos Sludge
PENDAHULUAN
Kedelai (Glycine max
(L.) Merill) merupakan tanaman palawija penting setelah jagung dan ubi kayu.
Sebagai bahan pangan kedelai mengandung karbohidrat dan serat kasar. Dalam 100
g kedelai mengandung zat gizi berupa 34,8 g protein, 18,1 g lemak, 48, 7 g
karbohidrat, 227 mg kalsium, 585 mg fosfor, 8,0 mg zat besi, 110 S1
vitamin A, 107 ma vitamin B1, dan 7,5 air (Pitojo, 2003). Menurut
Rukmana (1996), selain sebagai bahan makanan, kedelai dapat di gunakan sebagai
pakan ternak, minyak nabati.
Produksi kedelai nasional pada
2009 yaitu 966.469 ton dengan luas panen 728.200 ha, berarti produktivitasnya
1,327 ton haˉ¹. Sedangkan produksi kedelai Provinsi Jambi pada tahun 2009
adalah 10.359 ton dengan luas panen 8147 ha dan produktivitasnya 1,272 ton haˉ¹
(Badan Pusat Statistik, 2009). Hal ini menunjukan bahwa produktivitas kedelai
nasional dan provinsi Jambi masih sangat rendah bila dibandingkan dengan
potensi produksi kedelai yang bisa mencapai 2,0 - 2,5 ton haˉ¹ apabila
dipelihara secara intensif (Rukmana dan Yuniarsih, 2001).
Melihat masih rendahnya
produktivitas kedelai nasional dan Jambi, maka perlu dilakukan berbagai upaya
untuk meningkatkan produksi kedelai. Namun untuk meningkatkan produksi kedelai
tersebut masih memiliki berbagai kendala, antara lain tidak menggunakan
varietas unggul, pemupukan tidak sesuai dengan rekomendasi dan cara bercocok
tanam masih bersifat tradisional. Selain itu juga dapat di akibatkan oleh
tingkat kesuburan tanah yang rendah. Dimana lahan usaha tani Jambi di dominasi oleh tanah Ultisol dengan luas
2.272.725 ha atau 42,56% dari luas provinsi Jambi (Dinas Pertanian Tanaman
Pangan, 2007). Tanah Ultisol merupakan tanah yang bermasalah, karena reaksi
tanah masam, kejenuhan basa yang rendah, kadar Al yang tinggi serta ketersedian
unsur hara yang rendah sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dan berproduksi
dengan baik (Hardjowigeno,1995).
Tanah yang memiliki kandungan
hara yang rendah menunjukkan bahwa tingkat kesuburan tanah dan produktivitas
tanah rendah. Untuk mempertahankan kesuburan tanah dan produktivitas tanah agar
tetap tinggi maka diperlukan teknik pengolahan tanah yang tepat.
Salah satu teknik pengelolaan
yang diharapkan adalah mampu meningkatkan kesuburan tanah dan produktivitas
tanah yaitu dengan penambahan bahan organik ke dalam tanah. Bahan organik
mempunyai arti penting dalam memperbaiki sifat tanah dan menyediakan hara dalam
jumlah berimbang dan terdapat korelasi positif antara kadar bahan organik dan
produktivitas tanah. Makin tinggi kadar bahan organik maka makin tinggi
produktivitas tanah (Karama, dkk,
1990). Hal ini sesuai dengan pendapat Suwardjo (1993) menyatakan bahwa bahan organik
merupakan kunci keberhasilan dalam meningkatkan produksi tanaman. Menurut
Sirappa (2000) bahan organik dapat berperan langsung sebagai sumber unsur hara
tanaman setelah mineralisasi dan secara tidak langsung menciptakan suatu
kondisi tanah yang baik sehingga meningkatkan ketersediaan unsur hara untuk
mendukung pertumbuhan tanaman. Bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik,
kimia, biologi tanah yang pada gilirannnya akan memperbaiki pertumbuhan dan
produksi tanaman.
Selain limbah ternak (pupuk
kandang), limbah pertanian (sisa tanaman), pupuk hijau dan bahan mulsa atau
yang telah dikomposkan dalam jumlah cukup besar sulit untuk dipenuhi karena
jumlah yang tersedia terbatas di bandingkan dengan kebutuhan. oleh sebab itu
dicari sumber bahan organik alternatif, Salah satu sumber bahan organik
alternatif yang dalam jumlah besar dan belum banyak dimanfaatkan adalah sludge limbah pabrik kelapa sawit. Pabrik Pengelolaan Kelapa Sawit (PKS) jumlahnya semakin bertambah,
termasuk Provinsi Jambi, sehingga akan menyebabkan bertambahnya limbah yang
dihasilkan. Limbah yang dapat di hasilkan PKS per ton Tandan Buah Segar (TBS)
yaitu janjang kosong (250 kg), serabut(30kg),
abu cangkang (70 kg), Descantedsolid (40 kg), sludge dari limbah cair (30 kg), abu
jenjang (5 kg) dan limbah cair 600 m³ ( Gumbira, 1996).
Limbah ini merupakan hasil pengolahan buah sawit yang
terdiri dari 95% air, 0,5 - 1% kandungan minyak, 4 - 6,5% endapan lumpur yang
disebut sludge. Sludge merupakan bagian limbah cair berasal dari proses klarifikasi
pada station minyak dikutip, hasil minyak kutipan tersebut dialirkan ke proses,
sedangkan sludge dan air di buang
kekolam aeorobik. Keberadaan limbah ini jika tidak dikelola dengan baik akan
menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan, masalah penyediaan tempat
pembuangan dan juga mengganggu ekosistem sekitarnya (Sai’d,1996). Untuk
mengatasinya limbah pabrik kelapa sawit yang banyak mengandung unsur makro dan
mikro ini harus dapat dimanfaatkan sebagai bahan organik alternatif karena banyak tersedia dalam jumlah besar dan
dapat mengurangi pencemaran lingkungan serta dapat memperbaiki struktur tanah.
Menurut Sai’d (1996), sludge merupakan bahan organik yang terdiri dari golongan
polisakarida dari golongan lignosellulosa yaitu lignin selulosa dan hemisellulosa
yang memiliki potensi sebagai pupuk organik alternatif. Sludge mengandung protein, serat kasar, berturut
– turut sekitar 14,6%, 25,30%, dan 13,23% sehingga berpotensi untuk
dimanfaatkan.
Dari hasil komposisi unsur
hara KOMPOS Sludge yang dilakukan di Pusat
Penelitian Perkebunan (Puslitbun) Medan 1992, sampel diambil dari hasil olahan
sawit yang dikomposkan selama satu bulan ternyata bahan ini mengandung unsur
hara yang cukup baik, antara lain :
Karbon (34,16%), Nitrogen (2,10%), C/N (16,30%), P2O5 total
(0,44%), K2O (1,85%), MgO (0,64%). Hal ini
menunjukan bahwa sludge kelapa sawit
mengandung unsur makro dan unsur mikro, bila dimasukan dalam tanah dapat
memperbaiki produktivitas tanah baik fisik, kimia, maupun biologi tanah. Sludge berpotensi sebagai penyanggah
tanah yang dapat memperbaiki sifat fisik tanah, seperti merangsang agrerasi
tanah menjadi lebih baik, dan juga distribusi tanah akan lebih baik, sehingga
akan meningkatkan aerasi dan kapasitas air serta permebilitas tanah (Steveson,
1994 dalam Siregar, 2004).
Hasil penelitian Dian (2006), menunjukan bahwa pemberian
kompos sludge pengaruh nyata pada
bobot pipilan kering jagung terbaik diperoleh pada pemberian kompos sludge 30 kg/petak yaitu sebesar 8,58
kg/petak , serta memperbaiki sifat fisika tanah khususnya pembentukan dan
stabilitas agregat pada tanah ultisol. Percobaan Tarigan (1992), tentang
pemanfaatan sludge pada tanaman kubis
menunjukkan bahwa sludge dapat
menggantikan pupuk kandang sapi sebagai sumber bahan organik. Pemberian kompos sludge sebanyak 15 ton haˉ¹ memberikan
hasil bobot bersih crop kubis per tanaman 1,46 kg dan pemberian pupuk kandang
30 ton haˉ¹ memberikan hasil yang hampir sama yaitu 1,52 kg crop per tanaman.
BAHAN
DAN METODE
Tempat dan
Waktu
Penelitian ini di laksanakan di kebun percobaan Fakultas
Pertanian Universitas Jambi kampus Mendalo Darat, dengan lokasi penelitian
berada pada ketinggian 35 meter diatas permukaan laut dan jenis tanah Ultisol. Waktu penelitian ini dilaksanakan selama
tiga bulan yang di mulai dari bulan September sampai dengan bulan Desember
2010.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam
peneltian ini adalah : Benih kedelai varietas Anjasmoro Larutan EM-4, Kompos sludge limbah (PKS), Pupuk Urea, SP-36, KCl, Dithane M-45, Decis
2,5 EC.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
cangkul, parang, meteran, tali, tugal,
ajir, oven, timbangan analitik, hand spayer, kertas label, dan alat tulis.
Rancangan Percobaan
Percobaan ini akan
dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), satu faktor
yaitu dengan perlakuan Kompos Sludge
dengan lima taraf perlakuan dan lima ulangan. Adapun perlakuan tersebut adalah
sebagai berikut :
S0 : Tanpa Pemberian Kompos Sludge
(di berikan pupuk Urea, SP-36, KCl),S1 : Dosis Kompos Sludge 5 ton ha-¹ (1,6 kg/petak),S2 :
Dosis Kompos Sludge 10 ton ha-¹ (3,2
kg/petak),S3 : Dosis Kompos Sludge 15 ton ha-¹ (4,8 kg/petak),S4 : Dosis
Kompos Sludge 20 ton ha-¹ (6,4
kg/petak). Setiap perlakuan diulang sebanyak lima kali, dengan demikian
terdapat 25 petak percobaan, ukuran petak percobaan 2 m x 1,6 m, jarak antar
petakan dalam kelompok 50 cm dan jarak antar ulangan 75 cm, jarak tanam yang
digunakan adalah 40 cm x 20 cm, sehingga jumlah tanaman dalam tiap petak
percobaan adalah 40 tanaman. Banyaknya tanaman sampel yang diamati tiap petak
percobaan adalah 4 tanaman sampel dan 2 sampel tanaman destruktif yang diambil
secara acak.
Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan areal penelitian : Areal penelitian terlebih dahulu
dibersihkan dari gulma
dan
kotoran lainnya, kemudian tanah dicangkul sedalam ± 20 – 25 cm sampai gem
bur
Kemudian dibuat petak percobaan sebanyak 25 petakan dengan ukuran 2x1.6m
2. Pemberian kompos sludge : kompos sludge diberikan pada setiap petak percobaan
sesuai
dengan perlakuan masing - masing. Kompos sludge disebar secara
merata di
atas
permukaan tanah pada masing – masing petak percobaan setelah dilakukan pe
ngolahan
tanah, kemudian diaduk dan diinkubasi selama ± 1 minggu. Pada perlaku
an tanpa
kompos sludge diberikan pupuk Urea 50 kg ha-¹ (N : 46%) , SP-36 100 kg
ha-¹ (P :
36%) , dan KCl 50 kg ha-¹ (K : 54%)
3. Penanaman Penanaman benih dilakukan dengan cara
menugal tanah dengan tugal
sedalam2-3 cm, setelah itu benih
kedelai dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm dima
sukan
kedalam lubang tanam sebanyak 2 butir untuk tiap lubangnya. Sesudah itu lu
bang
kembali di tutup dengan tanah.
4. Pemeliharaan tanaman: Penyiraman, penyiangan,
pengendalian hama dan penyakit.
5. Panen: Kriteria panen tanaman kedelai adalah
batang sudah mulai mengering berw
arna
cokelat tua, jumlah daun yang tersisa pada tanaman hanya sekitar 5-10%, kulit
polong
telah mengering dengan warna kulit berubah menjadi cokelat kekuningan.
Variabel Yang Diamati
1. Tinggi Tanaman pengukuran tinggi tanaman mulai
di amati pada minggu kedua se
telah tanam dengan interval waktu satu minggu sekali, sampai akhir masa
pertumb
uhan vegetatif atau tanaman mulai berbunga.
Dekat pangkal batang diberi ajir 10
cm dari permukaan tanah, untuk mengurangi
kesalahan dalam pengukuran. Satuan
pengukuran yang digunakan adalah cm.
2. Bobot Kering Pupus Tanaman,Penimbangan bobot
kering pupus tanaman dilakuka
n pada
akhir fase pertumbuhan vegetatif dengan cara memotong bagian pangkal bat
ang
tanaman sampel destruktif.kemudian tanaman dikeringkan dalam oven dengan
suhu 60º
C selama 2 x 24 jam. Pengovenan dan penimbangan dilanjutkan kembali
hingga
mencapai berat konstan. Satuan yang digunakan adalah gram.
3. Bobot Kering Akar, Penimbangan bobot kering
akar dilakukan pada akhir fase per
tumbuhan
vegetatif dengan cara membongkar tanaman destuktif. Selanjutnya
akar
dibersihkan
dari kotoran yang melekat dan dimasukan kedalam amplop. Kemudian
diovenkan pada suhu 60º C
selama 24 jam. Setelah diovenkan dimasukan kedalam
desikator
kemudian ditimbang hingga mencapai berat konstan gram.
4. Jumlah Polong Pertanaman,Pengamatan dilakukan
dengan cara menghitung jumlah
seluruh polong yang ada pada setiap tanaman. Penghitungan ini
dilakukan setelah
panen.
5. Jumlah Polong Berisi, Jumlah polong dihitung
pada saat panen berdasarkan banyak
nya
polong yang berisi pada tanaman tiap petak percobaan. Polong dikatakan berisi
jika
dalam satu polong sekurang – kurangnya terdapat satu biji dan jika dipencet
te
rasa
keras. Hasil perhitungan setiap tanaman dijumlahkan kemudian dirata-ratakan.
6. Bobot 100 Biji, Bobot 100 biji dihitung dengan
cara menimbang 100 biji kedelai
dari
setiap tanaman petak hasil percobaan, setelah biji dikering anginkan dengan te
rik
sinar matahari selama 10 hari hingga kadar air mencapai 14%.
7. Hasil, Hasil tanaman
pada akhir penelitian yang diperoleh dengan cara menimbang
hasil
tanaman pada petak ubinan. Hasil
dikonversikan kedalam ton/ha. Dengan rum
us : Hasil ton/ha : Luas 1 ha
(m² ) X Hasil setiap petak hasil (g). 10-6
Luas petak hasil (m²)
Analisis Data
Data dianalisis dengan
menggunakan analisis sidik ragam kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut BNT
pada taraf α = 5%.
Data Penunjang
Data Penunjang untuk
penelitian ini meliputi : analisis tanah awal dan analisis tanah akhir
pH,N,P,K. analisis kandungan unsur kompos sludge, suhu dan curah hujan
selama percobaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Tinggi Tanaman (cm)
Hasil analisis ragam pemberian
kompos sludge tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman kedelai
setelah 5 MST.
Tabel
1. Tinggi Tanaman Kedelai 5 MST Dengan Pemberian Kompos Sludge
Dosis
Kompos Sludge (ton.
ha-¹)
|
Tinggi Tanaman (cm)
|
Tanpa kompos sludge
5
10
15
20
|
56.96 a
57.45 a
58.25 a
57.45 a
60.25 a
|
Keterangan : Angka - angka yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda nyata pada taraf α 5 % Uji BNT
Tabel 1 menunjukan bahwa pemberian kompos sludge
tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman kedelai. Untuk melihat grafik
pertumbuhan tinggi tanaman kedelai dari 2 MST sampai 5 MST setelah tanam.
2. Bobot Kering Pupus Tanaman
Hasil analisis ragam pemberian kompos sludge
berbeda nyata terhadap bobot kering pupus tanaman. Bobot kering pupus tanaman
dengan pemberian kompos sludge disajikan pada tabel 2.
Tabel
2. Bobot Kering Pupus Tanaman Dengan Pemberian Kompos Sludge Pada Umur 5 MST
Dosis
Kompos Sludge (ton.
ha-¹)
|
Bobot
Kering Pupus Tanaman (gr)
|
Tanpa kompos sludge
5
10
15
20
|
25.70 b
33.68 ab
30.92 ab
35.69 ab
41.00 a
|
Keterangan : Angka - angka yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda nyata pada taraf
α 5 % Uji BNT
Tabel 2 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
bobot kering pupus tanaman dengan
pemberian kompos sludge. setelah dosis ditingkatkan menjadi 15
ton ha-¹ terjadi perbedaan terhadap bobot kering pupus tanaman dengan tanpa
pemberian kompos sludge. bobot kering pupus tanaman tertinggi terdapat
pada dosis kompos sludge 20 ton
ha-¹.
3. Bobot Kering Akar
Hasil analisis ragam pemberian kompos sludge berbeda
nyata terhadap bobot kering akar tanaman kedelai. Bobot kering akar dengan
pemberian kompos sludge disajikan pada tabel 3.
Tabel
3. Bobot Kering Akar Dengan Pemberian Kompos Sludge Pada Umur 5 MST
Dosis
Kompos Sludge (ton.
ha-¹)
|
Bobot Kering Akar (gr)
|
Tanpa kompos sludge
5
10
15
20
|
3.28 b
3.34 b
3.71 b
4.72 a
5.28 a
|
Keterangan : Angka - angka yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf α 5 % Uji BNT
Tabel 3 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
bobot kering akar dengan pemberian kompos sludge sampai dengan dosis 20
ton ha-¹ , bobot kering akar tertinggi terdapat pada pemberian kompos sludge
20 ton ha-¹.
4. Jumlah Polong Pertanaman
Hasil analisis ragam pemberian kompos sludge
berbeda nyata terhadap jumlah polong pertanaman. Jumlah polong pertanaman
dengan pemberian kompos sludge disajikan pada tabel 4.
Tabel
4. Jumlah Polong Pertanaman Dengan Pemberian Kompos Sludge Setelah Panen
Dosis
Kompos Sludge (ton.
ha-¹)
|
Jumlah Polong Pertanaman
|
Tanpa kompos sludge
5
10
15
20
|
65.45 b
72.25 b
70.80 b
87.30 a
85.70 a
|
Keterangan : Angka - angka yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda nyata pada taraf α 5 % Uji BNT
Tabel 4 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
jumlah polong pertanaman dengan pemberian kompos sludge sampai dengan 15
ton ha-¹ , tetapi ketika dosis ditingkatkan menjadi 20 ton ha-¹ mulai terjadi
penurunan terhadap jumlah polong pertanaman. Jumlah polong pertanaman tertinggi
terdapat pada dosis 15 ton ha-¹.
5. Jumlah Polong Berisi
Hasil analisis ragam pemberian kompos sludge
berbeda nyata terhadap jumlah polong berisi. Jumlah polong berisi dengan pemberian
kompos sludge disajikan pada tabel 5.
Tabel
5. Jumlah Polong Berisi Dengan Pemberian Kompos Sludge Setelah Panen
Dosis
Kompos Sludge (ton.
ha-¹)
|
Jumlah Polong
Berisi (pertanaman)
|
Tanpa kompos sludge
5
10
15
20
|
50.85 d
60.15 c
66.40 bc
72.70 ab
76.25 a
|
Keterangan : Angka - angka yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda nyata pada taraf α 5 % Uji BNT
Tabel 5 menunjukkan dengan pemberian kompos sludge
terjadi peningkatan jumlah polong berisi sampai dengan dosis 20 ton ha-¹.
Jumlah polong berisi tertinggi terdapat pada dosis kompos sludge 20 ton
ha-¹.
6 Bobot 100 Biji
Hasil analisis ragam pemberian kompos sludge tidak berbeda nyata
terhadap bobot 100 biji. Bobot 100 biji dengan pemberian kompos sludge
disajikan pada tabel 6.
Tabel 6. Bobot 100 Biji Dengan Pemberian
Kompos Sludge
Dosis
Kompos Sludge (ton.
ha-¹)
|
Bobot 100 Biji (gr)
|
Tanpa kompos sludge
5
10
15
20
|
20.28 a
19.14 a
18.82 a
18.58 a
19.36 a
|
Keterangan : Angka - angka yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda nyata pada taraf α 5 % Uji BNT
Tabel 6 menunjukkan bahwa pemberian beberapa dosis
kompos sludge dan tanpa kompos sludge tidak berbeda nyata
terhadap bobot 100 biji. Pada pemberian tanpa kompos sludge menunjukkan
bobot 100 biji meningkat sebesar 20.28 gr.
7. Hasil
Hasil analisis ragam pemberian kompos sludge
berbeda nyata terhadap hasil. Hasil analisis ragam dengan pemberian dosis
kompos sludge disajikan pada tabel 7.
Tabel 7. Hasil ton/ha Dengan Pemberian
Kompos Sludge
Dosis
Kompos Sludge (ton.
ha-¹)
|
Hasil hasil ton/ha
|
Tanpa kompos sludge
5
10
15
20
|
1.07 c
1.25 c
1.46 bc
1.67 ab
1.91 a
|
Keterangan : Angka - angka yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda nyata pada taraf α 5 % Uji BNT
Tabel 7 menunjukkan bahwa pemberian kompos sludge
meningkatkan hasil tanaman kedelai. Terjadi peningkatan hasil kedelai sampai
dengan dosis 20 ton ha-¹. hasil kedelai
tertinggi terdapat pada dosis 20 ton
ha-¹.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian kompos sludge tidak berbeda nyata terhadap tinggi
tanaman, dan bobot 100 biji, Sedangkan bobot kering pupus tanaman, bobot kering
akar, jumlah polong pertanaman, jumlah polong berisi dan hasil berbeda nyata.
Hasil Pengamatan terhadap
tinggi kedelai pada (Tabel 1) menunjukkan bahwa pemberian dosis kompos
sludge tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman. Pertumbuhan tinggi
mempunyai pola yang sama pada setiap perlakuan. Hal ini disebabkan karena bahan
organik dalam tanah lambat beraksi dibandingkan dengan pemberian pupuk buatan
karena sebagian besar zat – zat makanan harus mengalami dekomposisi terlebih
dahulu sebelum diserap oleh tanaman sehingga haranya berangsur – angsur
tersedia bagi tanaman.
Pada analisis kompos sludge
menunjukan pH sekitar 6.79. Hasil analisis pH tanah awal sebelum diberi
perlakuan bahan organik sebesar 5,42, pH tersebut masih tergolong rendah dan
belum sesuai untuk budidaya kedelai. Dimana pH yang sesuai untuk bertanam
kedelai adalah sebesar 6 – 6,5. Syarief
(1989) menyatakan bahwa kondisi pH tanah merupakan faktor yang mempengaruhi
daya larut dan mempengaruhi ketersediaan nutrisi tanaman. Ditambahkan oleh
Gardner, Pwarce dan Mitchell (1991), pada reaksi tanah netral unsur hara berada
dalam jumlah yang cukup, apabila rendah unsur hara yang dikandungnya juga
ketersediaannya sedikit, sehingga berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan
tanaman.
Pada tabel 2 menunjukkan bahwa
pemberian kompos sludge berbeda nyata terhadap bobot kering pupus
tanaman. Hal ini dilihat dari deskripsi bahwa varietas Anjasmoro memiliki
tinggi tanaman sekitar 64 – 68 cm, Percabangan 2,9 – 5,6 cabang, dan jumlah
buku batang utama 12,9 – 14,8. pertumbuhan tanaman yang lebih tinggi dan
perkembangan luas daun yang lebih baik akan menyebabkan bobot kering pupus
tanaman lebih besar. Bobot kering pupus tanaman merupakan petunjuk untuk
menentukan pertumbuhan tanaman, apabila pertumbuhannya baik maka berat keringnya
akan meningkat. Menurut Hardjowigeno (1995) Mg berperan dalam pembentukan
karbohidrat, minyak dan lemak. Selain itu unsur Mg merupakan bahan pembentuk
klorofil (Kuswandi, 2002). Dengan meningkatnya jumlah klorofil dan jumlah daun
yang terbentuk maka proses fotosintesis berjalan dengan baik dan fotosintat
yang dihasilkan akan lebih tinggi maka pertumbuhan pun semakin baik. Dengan
demikian peningkatan laju pertumbuhan tanaman akan cenderung menghasilkan bobot
kering pupus tanaman yang lebih banyak. Selanjutnya Gardner, et al (1991)
menyatakan bahwa untuk memperoleh laju pertumbuhan tanaman yang maksimal harus
terdapat cukup banyak daun dalam tajuk untuk menyerap sebagian besar radiasi
matahari jatuh keatas tajuk tanaman yang digunakan untuk proses fotosintesis.
Pada tabel 3 menunjukkan bahwa
pemberian kompos sludge berbeda nyata terhadap bobot kering akar. Hal
ini disebabkan dilihat dari hasil analisis kompos sludge unsur C
18,20% yang cukup tersedia untuk
pembentukan akar, apabila zat ini tidak ada maka pertumbuhan ujung dan bulu –
bulu akar akan terhenti. Menurut Sutedjo
(1999) unsur Ca dan Mg merupakan unsur hara esensial. Penyediaan unsur Ca akan
membantu pembentukan akar. Selanjutnya Salisbury dan Ross (1995) menyatakan
bahwa selain unsur Ca, akar juga menyerap unsur Mg yang merupakan unsur penting
dalam proses fotosintesis.
Pada tabel 4 menunjukkan bahwa
pemberian kompos sludge berbeda nyata terhadap jumlah polong pertanaman.
Semakin banyak percabangan maka jumlah polong yang dihasilkan juga semakin banyak.
Jumlah polong pertanaman yang terbentuk beragam. Jumlah polong pertanaman
dikendalikan oleh faktor lingkungan, terutama fotoperiode dan temperatur,
maupun oleh faktor genetik atau internal, terutama pengatur pertumbuhan, hasil
fotosintesis, dan pasokan nutrisi dan mineral (misalnya, nitrogen).
Pada tabel 5 menunjukkan bahwa
pemberian kompos sludge berbeda nyata terhadap jumlah polong berisi.
Proses pembentukan jumlah polong berisi dikendalikan oleh faktor lingkungan,
terutama fotoperiode dan temperatur, maupun oleh faktor genetik atau internal,
terutama pengatur pertumbuhan, hasil fotosintesis, dan pasokan nutrisi dan
mineral (misalnya, nitrogen).
Pada tabel 6 menunjukkan bahwa
pemberian kompos sludge tidak berbeda nyata terhadap bobot 100 biji. Hal
ini disebabkan oleh faktor curah hujan yang terlalu tinggi dan bervariasi.
Secara umum stadium pertumbuhan kedelai memerlukan ketersediaan air dalam
kedaan kapasitas lapang, terutama pada saat perkecambahan (0-5 HST), stadium
awal vegetatif (15-20 hari), masa pembungaan (umur 35-60 hari), dan masa
pengisian biji (umur 55-65 hari). Pada awal penanaman curah hujan 239,3
.mm/bulan, memasuki stadium awal masa vegetatif dan masa pembungaan curah hujan
yang turun sebesar 352,8 .mm/bulan selama 22 hari lebih tinggi bila
dibandingkan dengan curah hujan optimum untuk budidaya kedelai. Curah hujan
pada pengisian biji sebesar 275,8 .mm/bulan selama 21 hari masih tergolong
tinggi dari curah hujan optimum.
Pada tabel 7 menunjukkan bahwa
pemberian kompos sludge berbeda nyata terhadap hasil. Hal ini disebabkan
karena adanya peningkatan seperti bobot 100 biji, bobot kering pupus tanaman,
jumla polong berisi, dan tinggi tanaman akan mempengaruhi peningkatan hasil
kedelai. Dimana dengan meningkatnya variabel dengan baik maka hasil pun akan
baik. Ini berarti bahwa pertumbuhan dan perkembangan tanaman merupakan proses
yang penting dalam kehidupan perkembangbiakan suatu tanaman. Menurut Hakim
(1986), hasil tanaman yang baik dapat dicapai bila lingkungan yang mempengaruhi
pertumbuhan berimbang dan menguntungkan. Bila satu faktor tersebut tidak
seimbang dengan faktor yang lain, maka dapat menekan atau menghentikan
pertumbuhan tanaman. Prinsip ini dapat disebut sebagai faktor pembatas, dimana
tingkat hasil produksi tidak akan lebih tinggi dari apa yang dapat dicapai oleh
tanaman yang tumbuh dalam keadaan dengan faktor – faktor yang paling minimum.
Konsep ini sangat penting dan selalu harus diperhitungkan dan dipertimbangkan,
dimana tidak hanya penyediaan unsur hara saja yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan, lingkungan juga dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman kedelai.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian
tentang ” Pertumbuhan dan Hasil Kedelai (Glycine max (L) Merill) Dengan
Pemberian Kompos Sludge Pabrik Kelapa Sawit”, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :Pemberian kompos sludge dapat meningkatkan pertumbuhan
dan hasil kedelai.Rata-rata pertumbuhan yang terbaik pada tinggi tanaman, bobot
kering pupus tanaman, bobot kering akar, dan jumlah polong berisi terdapat pada
pemberian dosis kompos sludge 20 ton ha-¹.
DAFTAR PUSTAKA
Apnan. 1997. Pedoman
Penggunaan EM-4 Bagi Negara – Negara Asia
Pasifik Marture Agriculture Network.
Seminar Nasional Pertanian Organik.
Badan Pusat Statistik Jambi. 2009. www. Data Tahunan Produksi Kedelai. BPS
Jambi. go.id (Diakses 3 April 2010)
Balai Penelitian Tanaman Kacang – Kacangan dan Umbi – umbian. 2005. Agro
Inovasi
Darusman. 1999. Dampak Pemberian Sludge Pada Tanah
san Evaluasi Sifat Disika Tanah. Agrista
Dian.Angraini. 2006. Pengaruh Kompos Sludge Trichoderma. SPP.
Terhadap Pembentukan dan Stabilitas Agregat Ultisol Serta Hasil Jagung. Skripsi
Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Tidak Dipublikasikan.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 2007. Laporan
Tahunan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Propinsi Jambi.
Gumbira, E.S. 1992. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Kelapa
Sawit. Trubus Agri Wijaya. Unggaran.
Hakim, N.M.Y. Nyakpa, Lubis, A.M.,S.G. Nugroho, Saul,
M.H., Diha, G.B. Hong dan Baely. 1986. Dasar – dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung.
Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu
Tanah. Mediyatamasarana Perkasa. Jakarta.
Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu
Tanah Akademi Presindo. Jakarta.
Herwawan, 2001. Respon Tanaman Jagung Pada Tanah
Ultisol yang Diberi Campuran Abu Janjang dan Limbah Lumpur Pabrik Kelapa Sawit.
Skripsi Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya. Sumatra
Selatan.
Idriani, 2003.
Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya, Jakarta.
Karama, A. S. A. Rasyid
Marzuki dan Ibrahim Manwan. 1990. Penggunaan Pupuk Organik Tanaman Pangan. Hal :
395-425. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk. Cisarua 12-13
November 1990.
Kuswandi. 2002. Pengapuran Tanah Pertanian Konsius. Yogyakarta
Lamina. 1989. Kedelai dan
Pengembangannya. Simplex. Jakarta.
Pijoto, S. 2003. Benih
kedelai. Kanisius. Yogyakarta
PT. Perkebunan Nusantara
III. 2003. Budidaya Kelapa Sawit. Medan
Rochdjatun, S
I,Saubari,M.M, Bintoro M 2000. Pengaruh Sludge dan Inokulum Mikoriza Vaskuler
Arbukular Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung. Universitas Brawijaya. Malang .
Rukmana, R dan Yuniarsih.
Y. 2001. Kedelai dan Budidaya Pengembangannya. Kanisius. Yogyakarta
Sa’id, G. 1996, Penanganan
dan Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit. Majalah Trubus Agriwijaya. Bogor
Sirappa, M. P. 2000. Kajian
Pemanfaatan Belotong Sebagai Sumber Bahan Organik dan Hara Serta Pengaruhnya
Terhadap Beberapa Sifat Kimia Tanah Lahan Kering. Jurnal Argoland 7 (3) :
209-220.
Siregar, H. 2004. Pengaruh
Pemberian Kompos Sludge Kelapa Sawit Terhadap Pertumbuhan Bibit Kopi Arabika
(coffea arabica) di Polybag. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas
Jambi. Tidak Dipublikasikan
Suprapto. 1995. Bertanam
Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta
Sutedjo, MM dan
Kartasapoetra, A.G. 1987. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta
Suwardjo. 1993. Peranan
Sisa Tanaman Dalam Konservasi Tanah dan Air
Pada Lahan Usaha Tani Tanaman Semusim. Skripsi Pasca Sarjana
Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Syarief, E. S. 1989.
Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung
Tarigan, 1992. Pemanfaatan
Limbah Pabrik Kelapa Sawit (Sludge) sebagai Pengganti Pupuk Kandang Sapi Pada
Tanaman Kubis Bulat. Warta Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Dep.
Pertanian, Agung Jaya, Bogor. Volume XIV No 6:4-5
Masukkan Komentar di bawah