INDUKSI KALUS TENGKAWANG (Shorea
stenoptera Burck)
DARI EKSPLAN DAUN PADA BEBERAPA KOMBINASI PIKLORAM
DAN 2,4-DIKHLOROFENOKSIASETAT SECARA KULTUR JARINGAN
Oleh :
Ahmad Parlaongan dibawah bimbingan
Ir. Neliyati, MSi.
dan Ir. Dede Martino, MP.
PS Agronomi Fakultas Pertanian
Universitas Jambi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi pikloram dan 2,4-Dikhlorofenoksiasetat (2,4-D) yang tepat dalam
mengiduksi kalus pada eksplan daun tengkawang (Shorea
stenoptera Burck.). Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Jurusan
Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Univesitas Jambi. Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan percobaan
3 bulan yaitu dari bulan Mei sampai bulan Juli 2012. Bahan tanaman berasal dari bibit berumur 2 tahun. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan
Rancangan Lingkungan Acak Lengkap (RAL) denga perlakuan kombinasi
pikloram dan 2,4-D yang terdiri atas 6 taraf perlakuan, diulang
sebanyak 4 kali. Setiap perlakuan ditambah 1 ppm BAP
kedalam media. Adapun konsentrasi yang dicobakan yaitu : M1 = 1 ppm Pikloram
tanpa 2,4-D; M2 = 1 ppm Pikloram + 1 ppm 2,4-D; M3= 3
ppm Pikloram tanpa 2,4-D; M4= 3 ppm Pikloram + 1 ppm 2,4-D; M5=
5 ppm Pikloram tanpa 2,4-D; M6 = 5 ppm Pikloram + 1 ppm 2,4-D. Variabel
yang diamati adalah waktu membentuk
kalus, persentase berkalus, dan karekteristik kalus (warna dan struktur
kalus). Hasil percobaan menunjukan pemberian masing-masing kombinasi pikloram dan 2,4-D sudah mampu membentuk kalus. Hasil terbaik dalam
menginisiasi kalus diperoleh dari kombinasi 5 ppm Pikloram + 1 ppm 2,4-D.
ABSTRACT
The objective of this research was
to study the appropriate of between Picloram and 2,4-D combinations for inducting
explants using tengkawang’s leaf. This experiment was carried out in the plant biotechnology
laboratory, institute of Agroecotechnology, Agriculture faculty, university of
Jambi and was conducted for 3 months untill finished that was may to june.
Plant materials used were originated from 2 years
old. This study was used completed redomized desaign
with factor was combination between Picloram and 2,4-D. The factor consisted of
6 level of treatment with there
replicates each treatments. Each the treatments was added BAP 1 ppm into
medium. The auxin combinations were M1 = Picloram 1 ppm without 2,4-D;
M2 = Picloram 1 ppm + 2,4-D 1 ppm; M3 = Picloram 3 ppm
without 2,4-D; M4 = Picloram 3 ppm + 2,4-D 1 ppm; M5
= Picloram 5 ppm without 2,4-D; M6 = Picloram 5 ppm + 2,4-D 1 ppm.
The observed variables were day of initial callus formation., percentage of
callus formation, and characteristic of callus (texture and colour).The result
showed that the each combination between picloram and 2,4-D could form callus.
The best combination of auxin for initiation callus was 5 ppm +2,4-D 1 ppm
PENDAHULUAN
Shorea stenoptera Burck adalah salah satu jenis
anggota Dipterocarpaceae penghasil
biji tengkawang terbaik dan produksi biji tertinggi. S. stenoptera ini juga memiliki
pertumbuhan yang sangat cepat diantara jenis tengkawang lainnya
(Sumarhani, 2007; Winarni et al.,
2005). Namun, tanaman ini makin sulit ditemukan sehingga
budidaya S. stenoptera mengalami
kendala dengan jumlah pohon induk yang terbatas. Hal ini diperjelas dengan
pernyataan International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) (2010) spesies ini termasuk kategori Endangered (EN).
Salah satu alternatif
untuk mengatasi budidaya S. stenoptera tersebut adalah
melalui teknik kultur jaringan atau teknik in
vitro. Manfaat utama teknik kultur jaringan dapat menghasilkan jutaan klon
dalam waktu yang cukup singkat hanya dari sejumlah kecil materi awal dan teknik
kultur jaringan tidak tergantung musim (Zulkarnain, 2009).
Keseimbangan zat pengatur Tumbuh sangat diperlukan dalam kultur jaringan. Zat pengatur
tumbuh yang digunakan adalah sitokinin dan auksin (Maryani dan Jamroni, 2005).
Tanaman tahunan biasa membutuhkan
konsentrasi auksin lebih tinggi diantaranya 2,4-D dan pikloram. Pikloram merupakan auksin daya aktivitasnya kuat, sehingga apabila
dikombinasikan dengan 2,4-D pengaruhnya
sangat besar terhadap pembelahan sel. Dengan adanya sintesa protein maka dapat
digunakan sebagai sumber tenaga induksi kalus. Menurut hasil penelitian Pardal et
al. (2004) melaporkan pengunaan
Pikloram 5 ppm pada semua taraf 2,4-D (5, 15 dan 30 ppm) dapat menginduksi
kalus dengan struktur remah pada semua ekplan pada kultur salak pondoh yang
dikulturkan pada media WPM.
Hasil
penelitian Sumaryono dan Riyadi (2005)
dihasilkan inisiasi dan Proliferasai kalus terbaik diperoleh pada WPM padat dengan
Pikloram 15 µM (3,62 ppm), BAP 0,5 µM (0,11 ppm) dan floroglusinol 1 µM pada tanaman kina
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan kombinasi pikloram dan 2,4-D yang
tepat dalam menginduksi kalus eksplan daun S.
stenoptera
Penelilitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai pertumbuhan dan perkembangan eksplan yang berasal
dari potongan daun muda S.
stenoptera dari beberapa kombinasi pikloram dan 2,4-D secara kultur jaringan, serta dapat dipergunakan sebagai bahan untuk penelitian
selanjutnya tanaman S. stenoptera.
BAHAN DAN METODE
Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah daun muda S. stenoptera yang berasal dari Bibit berumur 2 tahun. Media Wood Plant Medium, zat pengatur tumbuh Benzyl Amino Purine (BAP), 2,4-D (dichlorophenoxyacetic), sukrosa 30 gL-1,
agar, alkohol 70% , alkohol 96%, aquadest,
spritus, NaOH 0,1 N dan HCl 0,1 N.
a.Tahap Persiapan
Semua
peralatan baik alat pembuatan media
(botol kultur) dan
alat inokulasi eksplan (cawan
petri, scalpel blade, gunting
eksplan, dan pinset) dilakukan sterilisasi. Sterilisasi dilakukan dengan
autoklaf dengan suhu 1210C tekanan
1,5 atm selama
1 jam.
b.Tahap Inokulasi
eksplan
Eksplan dicuci dengan air sabun cair pada air yang
mengalir, kemudian eksplan direndam dalam Benlox dan Agrept dengan masing-masing 2 % dari air steril , proses ini
dilakukan selama 3 jam, setelah itu dibilas dengan air steril sebanyak tiga
kali. Eksplan lalu direndam didalam NaOCl didalam LAFC dengan taraf 15 % selama 10 menit dan 10 % selama 10
menit. Setiap masing-masing tahap harus dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali dan
semua eksplan dicelupkan pada alkohol 70%, selanjutnya eksplan diinokulasi pada
media ke berbagai Kombinasi ZPT yaitu M1 = 1 ppm pikloram tanpa 2,4-D;
M2 = 1 ppm pikloram + 1 ppm 2,4-D; M3 = 3 ppm pikloram tanpa 2,4-D; M4
= 3 ppm pikloram + 1 ppm 2,4-D;
M5 = 5 ppm pikloram tanpa 2,4-D; M6 : 5 ppm pikloram + 1 ppm 2,4-D.
setiap media perlakuan ditambah 1 ppm BAP. Media yang telah ditanam selanjutnya
dipindahkan ke ruang inkubasi.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan
Lingkungan Acak Lengkap (RAL). kombinasi pikloram dan 2,4-D diatas
diperoleh 6 perlakuan dengan 4 ulangan, sehingga terdapat 24 satuan percobaan.
Pada masing-masing satuan percobaan terdapat 3 botol kultur sehingga terdapat
72 botol kultur. Tiap botol masing-masing ditanam 1 eksplan dan semua populasi
diamati.
Data yang
didapatkan dianalisis dengan tabulasi
dan dirata-ratakan serta divisualisasikan dengan foto.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan terhadap muncul
kalus, rata-rata eksplan berkalus, warna kalus, dan struktur kalus pada eksplan daun S.
stenoptera pada kombinasi pikloram dan 2,4-D secara kultur jaringan dapat pada Tabel. 1 berikut.
Tabel 1. Respon eksplan daun muda s.
stenoptera pada kombinasi pikloram dan 2,4-D terhadap
waktu muncul kalus, rata-rata eksplan berkalus, warna kalus, dan struktur kalus
Perlakuan
|
Waktu
muncul kalus
(HSK)
|
Rata-rata eksplan berkalus
(%)
|
Warna
Kalus
|
Struktur
kalus
|
||
4 MSK
|
12 MSK
|
4 MSK
|
12 MSK
|
|||
M1
|
26,00
|
41,70
|
Putih
|
Krem
kecoklatan
|
Remah
|
Kompak
|
M2
|
18,75
|
58,35
|
Putih
|
Krem
kecoklatan
|
Remah
|
Kompak
|
M3
|
27,57
|
75,00
|
Putih
|
Krem
kecoklatam
|
Remah
|
Kompak
|
M4
|
14,75
|
91,65
|
Putih
|
Krem
kecoklatan
|
Remah
|
Kompak
|
M5
|
22,17
|
75,00
|
Putih
|
Krem
kecoklatan
|
Remah
|
Kompak
|
M6
|
11,08
|
91,65
|
Putih
|
Krem
kecoklatan
|
Remah
|
Kompak
|
keterangan: (1) perlakuan M1 = 1 ppm
Pikloram tanpa 2,4-D; M2 = 1 ppm Pikloram + 1 ppm 2,4-D; M3 = 3 ppm Pikloram tanpa 2,4-D; M4 = 3 ppm Pikloram + 1 ppm 2,4-D; M5 = 5 ppm
Pikloram tanpa 2,4-D; M6 : 5 ppm
Pikloram + 1 ppm 2,4-D dan (2)HSK (hari setelah kultur)
Muncul Kalus. Dari Tabel 1 di atas bahwa kombinasi pikloram dengan 2,4-D lebih cepat muncul kalus dibandingkan pikloram tanpa 2,4-D. Peningkatan konsentrasi pikloram pada
kombinasi 2,4-D 1 ppm dapat mempercepat waktu muncul kalus. Waktu yang paling
cepat muncul kalus diperoleh dari kombinasi 5 ppm pikloram + 1 ppm 2,4-D
yaitu 11,08 hari setelah kultur (HSK). Sedangkan waktu muncul kalus paling lama terdapat pada perlakuan pikloram tanpa 2,4-D yaitu 3 ppm pikloram tanpa
2,4-D, kalus muncul
pada perlakuan ini 27,57 HSK. Peningkatan 3 ppm
menjadi 5 ppm pada perlakuan pikloram tanpa 2,4-D mempercepat pembentukan kalus.
Berdasarkan
hasil pengamatan diketahui bahwa semua perlakuan baik pikloram tanpa
2,4-D maupun kombinasi pikloram dengan
2,4-D
mampu menginduksi kalus pada eksplan daun. kalus pertama kali terbentuk pada
tepi irisan eksplan daun (bagian yang digunting) atau dari bagian pelukaan
eksplan, karena kalus merupakan jaringan penutup luka untuk mempertahankan
dirinya yang meristematik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nisa
dan Rodina (2005) bahwa rangsangan luka menyebabkan
kesetimbangan pada dinding sel berubah arah, sebagian
mengalir ke luar sehingga mulai terbentuk kalus.
Tanaman tahunan umumnya memerlukan auksin
lebih tinggi diantaranya, 2,4-D (Sitinjak
el al., 2006) dan pikloram (Pardal et al., 2004) merupakan golongan auksin yang sifat lebih
stabil. Ditambahkan Pardal et al.
(2004) menyebutkan pikloram merupakan auksin daya aktivitasnya kuat,
sehingga apabila dikombinasikan 2,4-D pengaruhnya sangat besar terhadap
pembelahan sel. Sehingga kombinasi pikloram dengan 2,4-D lebih
banyak jumlah persentase kalus yang terbentuk dibandingkan
pikloram tanpa 2,4-D.
Kombinasi
pikloram dan 2,4-D juga diduga dapat mempengaruhi plastisitas
dan
pengembangan dinding sel yang mendorong pertumbuhan. Hal ini dijelaskan oleh
Wardani et al. (2004) bahwa
Plastisitas dan pengembangan dinding sel didorong oleh pemberian auksin, karena
auksin mengluarkan H+ kedalam dinding sel dan H+
menyebabkan pH dinding sel menurun sehingga terjadi pelonggaran struktur
dinding (berarti peningkatan plastisitas) dan terjadi pertumbuhan. Sehingga kombinasi
pikloram
dengan 2,4-D lebih baik dibandingkan pikloram tanpa 2,4-D.
Peningakatan
konsentrasi pikloram pada semua perlakuan dapat mempecepat waktu callogenesis pada eksplan daun S stenoptera, kecuali peningkatan 1 ke 3
ppm pikloram
pada perlakuan pikloram tanpa 2,4-D. Hal ini terjadi disebabkan karena sel
tumbuhan yang sangat alamiah bersifat autrotrof menjadi heterotrof dengan
adanya kandungan hara yang cukup kompleks serta zat pengatur tumbuh yang
terdapat di dalam media tumbuh (Yelnititis,
2008) .
Kombinasi pikloram 5 ppm + 2,4-D 1 ppm
adalah perlakuan tercepat, dalam 11,08 hari sudah dapat
menginduksi kalus pada eksplan. Hal sesuai dengan hasil penelitian Kiong et al.(2008), penggunaan pikloram pada
konsentrasi tertinggi (20 µM) pada induksi dari endosperm Cycas revolute memberikan
respon induksi terbaik dengan membentuk kalus 17,8 ± 0,5 setelah hari kultur.
Sedangkan Eksplan yang paling lama membentuk kalus diperoleh pada perlakuan pikloram 1 ppm
Tanpa 2,4-D yaitu 26 HSK. Hal ini
menunjukan bahwa eksplan yang diinduksi pada media induksi dengan penambahan
zat pengatur tumbuh pikloram dan 2,4-D menunjukan efesiensi iniasisi kalus
yang lebih tinggi dibandingkan dengan eksplan yang diinduksi dengan pikloram tanpa
2,4-D.
Rata-rata Eksplan Berkalus. Dari Tabel 1 diperoleh bahwa persentase eksplan berkalus tertinggi
(91,65%) diperoleh pada perlakuan 3 ppm pikloram + 1 ppm 2,4-D dan 5 ppm pikloram + 1 ppm 2,4-D. Sedangkan persentase eksplan terendah (41 %) terjadi pada eksplan yang dikulturkan
pada medium yang dilengkapi dengan 1 ppm pikloram tanpa 2,4-D. Penambahan konsentrasi pikloram dapat meningkatkan rata-rata eksplan berkalus.
Zat pengatur tumbuh dapat juga mempengaruhi persentase
eksplan berkalus. Pada percobaan ini, peningkatan konsentrasi pikloram tanpa
2,4-D dapat meningkatan jumlah eksplan berkalus, kombinasi pikloram pada konsentasi 1, 3 ppm dengan 2,4-D dapat juga dapat meningkatkan callogenesis, kecuali pada konsentrasi 5
ppm. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Khar et al. (2005) bahwa pemberian konsentrasi tertinggi pikloram 2
ppm dikombinasikan dengan 2,4-D 0,5 menunjukan persentase induksi kalus yang
sangat tinggi 83,6 % dibandingkan dengan media kombinasi yang lain.
Persentase eksplan yang berkalus yang diperoleh dari
kombinasi pikloram dengan 2,4-D lebih
banyak dibandingkan dengan perlakuan pikloram tanpa 2,4-D. Hal
ini diduga kombinasi 2,4-D dan pikloram dapat meningkatkan
sel untuk menyerap unsur hara, sehingga semangkin tinggi konsentrasi auksin
yang diberikan semankin besar pula jumlah eksplan daun S. stenoptera membentuk kalus. Perbedaan laju pertumbuhan juga dipengaruhi oleh
kemampuan jaringan untuk menyerap unsur hara yang tersedia, hal ini banyak
dipengaruhi oleh aerasi dan tektur kalus (Wardani
et al., 2004).
Warna
Kalus. Dari Tabel 1 di atas bahwa kalus
yang dibentuk pada umur 4 MST adalah berwana putih sampai krem dengan
bertambahnya umur kultur warna kalus kecoklatan (12 MST). Perubahan warna kalus
ini menunjukan perkembangan sel kalus mulai terhenti. Pernyataan ini sejalan
dengan Sukmawati dan Efendi (2009) Pembesaran kalus berhenti ditandai dengan perubahan
warna kalus dari bening kekuningan menjadi coklat.
Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian
Rahayu et al. (2003) yang
menyatakan meningkatnya hasil konsentrasi 2,4-D yang ditambahkan dalam media
mengakibatkan warna kalus cenderung mengunging.
Perubahan ini diduga karena adanya perubahan pigmentasi pada kalus yaitu
berkurangnya pigmen hijau (klorofil). Pada perlakuan ini kalus menampakan adanya
pencoklatan. Warna kalus menguning ini menandakan
bahwa adanya indikasi sifat-sifat embriogenik yang
mengarah kepada perkambangan embrio somatik (Zulkarnain
dan Lizawati, 2011) . Dengan kata lain hasil percobaan ini
menunjukan bahwa warna kalus terbentuk dari
eksplan S. stenoptera mempunyai sifat-sifat
embriogenik.
Kalus yang berwarna putih menunjukan sel-sel muda
masih aktif membelah. Kalus yang berwarna coklat merupakan sel yang tidak aktif
membelah dan kemungkinan banyak mengandung senyawa fenol (Nurbaiti, 2007). Hal ini sesuai dengan
peryataan Nisa dan Rodina (2005), Nurbaiti (2007), Rantih (2012), Sriyanti dan
Wijayani (1994), dan Wardani et at.
(2004). Penurunan penyerapan air menyebabkan pasokan hara berkurang sehingga
pembentukan metabolik primer untuk keperluan pertumbuhan terhambat (Darwati, 2007).
Pemberian dan peningkatan auksin baik Kombinasi
pikloram tanpa 2,4-D maupun dikombinasikan 2,4-D diduga dapat meningkatkan
senyawa metabolik sekunder sehingga kalus menjadi coklat. Hal ini sejalan
dengan Rahayu et al. (2003)
menyatakan bahwa penambahan 2,4 D dalam media meningkatkan senyawa kimia alami
flavonoid pada eksplan.
Struktur
Kalus. Dari Tabel 1 di atas bahwa semua
perlakuan menghasilkan struktur kalus pada 4 MST remah dan tekstur kasar,
selanjutnya kalus berkembang struktur dominan kompak. Menurut Fatimah et
al. (2010) menyatakan bahwa kalus
dengan struktur remah merupakan kalus yang terbentuk dari sekumpulan sel yang
mudah lepas sedangkan kalus remah kompak terdiri dari sekumpulan sel yang kuat.
Struktur kalus remah sangat berkorelasi dengan kecepatan daya tumbuh kalus
sehingga produksi metabolik sekunder tertentu yang yang ingin diperoleh lebih
cepat lebih dicapai.
Kalus yang terlalu padat dan kompak mempunyai
kemampuan menyerap zat hara lebih rendah daripada tektur kalus yang tidak
terlalu padat (Wardani et al., 2004).
Embrio somatik hanya diperoleh dari kalus kompak kuning yang menunjukan sebagai
kalus embriogenik kompak (compact
embryogenic callus atau CEC) dan tidak dari kalus kompak putih pada induksi
kalus embriogenik Alstroemeria cv.
Fuego (Khaleghi et al., 2008). Hal
ini menunjukan bahwa pikloram memberikan efek CEC pada semua kalus yang ada.
Menurut hasil penelitian Mariel et al. (2010) konsentrasi auksin 2,4-D
dan pikloram
pada media kultur diperlukan untuk induksi kalus struktur embrionik nodular
pada Palem persik selama induksi embryogenesis. Selanjutnya hasil penelitian
Khaleghi et al. (2008) menunjukan pikloram 2 mg/L
menunjukan efek pembentukan CFC yang
lebih besar daripada 2,4-D pada konsentrasi yang sama pada Alstroemeria cv.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1.
Pemberian beberapa kombinasi zat
pengatur tumbuh (pikloram dan 2,4-D)
sudah mampu memacu terbentuknya kalus eksplan daun S. stenoptera
2.
Waktu muncul kalus paling
cepat diperoleh dari perlakuan terbaik 5 ppm pikloram + 1 ppm 2,4-D yaitu 11,08 HSK dan perlakuan terendah
menginduksi kalus adalah 1 ppm pikloram tanpa 2,4-D
yaitu 26 HSK. Persentase tertinggi dalam pembentukan kalus adalah 3 ppm pikloram + 1 ppm 2,4-D
dan 5 pmm pikloram + 1 ppm 2,4-D dan persentase terendah
ialah 1 ppm pikloram Tanpa 2,4-D
3.
Warna kalus yang muncul awalnya putih sampai krem kekuningan
dan selajutnya dengan bertambah umur
kultur warna kalus berubah kearah kecoklatan.
4.
Struktur kalus yang terbentuk
dari eksplan daun S.
stenoptera yang dikulturkan dengan berbagai kombinasi pikloram dan 2,4-D, semua perlakuan
menghasilkan struktur kalus yang awalnya remah, selanjutnya kalus berkembang
lebih dominan kompak
DAFTAR PUSTAKA
Darwati Ireng. 2007. Kultur Kalus dan Kultur Akar Rambut
Purwoceng (Pimpinella prautjan molk) untuk menghasilakan metabolik sekunder. Disertasi Doktor pada Program Studi Agronomi.
Sekolah Pascasarjana Institut Pernaian Bogor. Bogor.
Fatimah S, Kristina NN dan
Seswita D. 2010. Pengaruh komposisi media terhadap pertumbuhan
kalus dan kadar tanin dari daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) secara in vitro. Balai Penelitian Tanaman
Obat dan Aromatik. Bogor. Jurnal
Littri 16 (1): 1-5
IUCN 2011. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2011.2.<www.iucnredlist.org>. Diakses 26 Maret 2012
Kiong, Thing, Gansau, dan Hussein. 2008. Induction and multiplication of
callus from endosperm of Cycas revoluta. Department
of Bioscience, Faculty of Engineerinng and Science, Unversity Tunku Abdul
Rahman, Kuala Lumpur, Malaysia. African Journal of Biotechnology 7 (23) : 4272-
4284. < http :// www.academicjournals.org/AJB>. Diakses
Januari 2012
Khaleghi Alireza, Khaghi A dan Azadi P dan
Mii. 2008. Induction of embryogenic callus and plant regeneration from nodes of
greenhouse grown plants of Alstroemeria
cv Fuego. Departement of Horticulture. Collage of Agriculture and Natural
Resource, University of Tehren. Iran. Journal
of Food, Agriculture &Environment 6 (3&4): 374 -377.
Khar A, Bhutan D R, Yadav N, dan Chowdhury K
V. 2005. Efect of explant and genotype on callus culture and regeneration in
onion (Allium cepa L). Department of
Vegetable Crops, Haryana Agricultural University India. Akdeniz Universitites Ziraat Fakultesi Dergisi: 397- 404.
Mariel A de S, Junior F P C Paulo, Silva De
A R, dan Pereira S E J. 2010. Morpho-anatomical charactererization of
embryogenic calluses from immature zygotic embryo of peach palm during somatic
embryogenesis. Programa de Pos Graduacao em Agronomia, Universidade Federal do
Acre, Rio Branco Brazil. Acta
Scientiarum Agronomi Maringa 32(2): 263-267.
Maryani Y, dan Zamroni. 2005. Penggandaan Tunas Krisan Melalui Kultur
Jaringan. Fakultas Pertanian Universitas Sarjanawijaya Taman Siswa Yogyakarta.
Ilmu Pertanian 12 (1) : 51 – 55.
Nisa Chitumatun dan Rodina. 2005. Kultur
jaringan beberapa kultivar buah pisang (Musa
paradisiaca L) dengan pemberian campuran NAA dan Kinetin. Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat.
Banjarbaru. Kalimantan Barat. Bioscientiae
2(2): 23-36.
Nurbaiti. 2007. Perbanyakan
Tanaman Jarak Pagar (Jatropha Curcas L) dengan Manipulasi Zat Pengatur
Tumbuh dan Eksplan Secara In Vitro. Tesis Magister Sain pada program studi Agronomi. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Pardal J. S, Mariska Ika, Lestari G.E, dan Slamet. 2004. Regenerasi
tanaman dan transformasi genetik salak pondoh untuk rekayasa buah partenokarpi.
Balai Besar penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik
pertanian. Jurnal Bioteknologi Pertanian 9 (2) : 49 – 55.
Rahayu B, Solicatun, dan Anggarwulan E 2003.
Pengaruh asam 2,4-Diklorofenoskiatetat (2,4-D)
terhadap pembentukan dan pertumbuhan kalus serta kandungan Flavonoid kultur
kalus Acalypha indica L. Biofarmasi1
:1-6.
Sukmawati F dan Efendi Darda. 2009. Induksi
embrio somatik melon (Cucumis melo L)
pada berbagai media dan zat pengatur tumbuh. Fakultas Pertanian-Institut
Pertanian Bogor. Makalah seminar Departemen
Agronomi dan Hortikultura.
Sitinjak R. R, Rostiana O, Karyono, dan Supriantun T. 2006. Pengaruh 2,4
D dan BA terhadap induksi kalus embriogenik pada kultur meristem jahe (Zinggiber
officianale Rosc.). Fakultas Pertanian Universitas Prima Indonesia. Medan.
Berita Biologi 8 (2) : 115 – 120.
Sriyanti P. D. Ir dan Wijayani A. Ir. 1994. Teknik Kultur Jaringan
Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif-Modern. Kanisius.
Yogyakarta.
Sumarhani. 2007. Pemanfaatan dan konservasi jenis meranti merah penghasil
biji tengkawang. Pusat Litbang dan Konservasi Alam. Bogor
Sumaryono dan Riyadi Imron. 2005. Pertumbuhan biak kalus dan suspensi sel
tanaman kina (Cinchona ledgeriana Moens.).
Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor. Menara Perkebunan 73
(1) : 1 - 11.
Wardani P D, Solichatun, dan Setyawan D A.
2004. Pertumbuhan dan produksi saponin kultur kalus Talinum paniculatum Gaertn. pada Variasi penambahan asam 2,4-Dikklorofenoksi asetat (2,4-D) dan
kinetin. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta. Biofarmasi 2(1): 1693-2242
Winarni Ina, Sumadiwangsa S.E, dan Setyawan Deny.
2005. Beberapa catatan pohon penghasil biji tengkawang. Info Hasil Hutan 11(1):
17 – 25.
Yelnititis. (2008). Regenerasi tanaman Shorea pinaga melalui embriogenesis
somatik. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemulian Tanaman Hutan, Sleman
Yogyakarta. Jurnal Penelitian Tanaman
Hutan: 33-44.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Solusi Perbanyakan
Tanaman Budidaya. Bumi Aksara. Jakarta.
Zulkarnain dan Lizawati. (2011).
Proliferasi kalus dari eksplan hipokotil dan kotiledon tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L) Pada pemberian 2.4 D.
Program
Studi Agronomi Fakultas Pertanian, Universitas Jambi. Jambi. Jurnal Natur Indonesia 14
(1): 19-25
Masukkan Komentar di bawah